Selasa, 12 Desember 2017

Makalah Taswuf akhlaki



TASAWUF AKHLAKI




MAKALAH
DisusununtukmemenuhitugasmatakuliahAkhlakTasawuf
Yang diampuolehBapakMoch.CholidWardi, M. HI.



Oleh :
MitaDwiPebriyaniMulyati (20170703022123)
Musarrofah (201703022146)
WinaQonitaJamil (20170703022223)
HosnolHotimah (20170703022077)



STAIN-Logo








PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EBIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017

KATA PENGANTAR


                     Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya kami biasa menyelesaikan makalah kmi yang berjudul “Tasawuf Akhlaki” untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu holeh Bapak Moch. Cholid Wardi, M. HI.
            Makalah ini telah di sesuaikan dengan materi dan ilmu yang bersangkutan dengan pokok behasan makalah yang telah ditentukan. Adapaun tujuan pembuatan makalah ini selain sebagai penyelesaikan tuagas,  juga sebagai cara untuk kami selaku mahasiswa untuk memahami dan mengerti tentang materi yang diberikan oleh dosen.
            Di dalam makalah ini kami menyadari masih ada kekhilafan dan kesalahan karena kesmpurnaan hanayalah milik Allah SWT semata, maka dari itu kami mengharap kepada pembaca memberikan saran dan kritikan yang positif yang dapat membangun materi makalah ini, untuk kebaikan tugas-tugas kami selanjutnya.
            Harapan kami sebagai penulis, semoga makalah ini menjadi suatu karya yang bermanfaat dan menjadi amal shaleh bagi kami.Amin.



Pamekasan, 03 Oktober 2017

Penyusun



DAFTAR ISI


HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang...................................................................................... 1
B.     RumusanMasalah.................................................................................. 1
C.     TujuanPembahasan............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    DefinisidanKonsepTasawufAkhlaki.................................................... 2
B.     Tokoh-TokohTasawufAkhlaki.............................................................. 7
BAB III PENUTUP
C.     Kesimpulan........................................................................................... 14
D.    Saran .................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 15

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan perilaku  baik ia sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai makhluk individual dan sosial.
            Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan yang dialaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang membahagiakan hidupnya adalah nilai material.Manusia cenderung selalu dikendalikan oleh hawa nafsunya.
            Jika manusia telah dikendalikan oleh hawa nafsunya maka dia telah mempertuhankan nafsunya tersebut.Dengan pengusahaan nafsu tersebut didalam diri seseorang maka berbagai penyakitpun timbul didalam dirinya seperti sombong, membanggakan diri, buruk sangka, maksiat dengki, dan lain-lain sebagainya.
            Maka dengan metode-metode tertentu yang dirumuskan, tasawuf akhlaki berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari ahklak yang tercela (mazmumah) sekaligus mengujutkan akhlak terpuji (mahmudah) didalam hati dan jiwa manusia.
                                  
B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Definisi dan Konsep Tasawuf Akhlaki ?
2.      Siapakah Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki ?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Untuk mengetahui Definisi Tasawuf Akhlaki.
2.      Untuk mengetahui siapakah Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki.

 


BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Kosep Tasawuf Ahklaki.
            Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa merupakan bentuk frase atau dalam kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhofah.Frase atau jumlah idhofah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas khusus.Dua kata itu adalah “tasawuf” dan “akhlak”.Arti dari kata tasawuf dalam Bahasa Arab adalah bisa membersihkan atau saling membersihkan.Kata “membersihkan” merupan kata kerja transitif yang membutuhkan objek.Objek dari tasawuf ini adalah akhalak manusia. Kemudian,”Akhlak” juga berasal dari Bahasa arab. Kata akhlaq merupakan bentuk jamak dari khuluq yang secara Bahasa bermakna pembuatan dan penciptaan.Akan tetapi, dalam konteks agama akhlak bermakna perangai, budi, tabiat, adap, atau tingakah laku.[1]
            Menurut istilah tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa diformulasikan pda pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal.[2] Pada tasawuf akhlaki, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (yaitu terbukanya dinding penghalang hijab yang membatasi manusia dengan tuhan, sehingga nur ilahi tampak jelas padanya ).[3]
1. Takhalli
            Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat tercela, dari maksiat lahir dan batin. Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari akhlak tercela.Membersihkan diri dari sifat tercela, oleh kaum sufi dipandang penting karena sifat-sifat ini merupakan najis maknawi (najasah maknawiyah). Adanya najis-najis ini pada diri seseorang, menyebabkan tidak dapat dekat dengan tuhan.Kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu maksiat lahir dan batin. Maksiat lahir adalah segala sifat tercela yang di anggota lahir, seperti tangan, mulut, dan mata.Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.[4]
2. Tahalli
            Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji.Tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengkosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan perbuatan baik, baik yang bersifat “luar” maupunyang bersifat  “dalam”.
            Aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat normal, seperti shalat, puasa, dan haji, sedangkan aspek dalam seperti iman, ketaatan, dan kecintaan kepada tuhan.Menurut Al-Ghazali jiwa manusia dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan di bentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.Perbuatan baik yang sangat penting diisikan kedalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan agar menjadi manusia paripurna(insan kamil). Perbuatan baik itu antara lain sebagai berikut.[5]
            a. Tobat
            Menurut Qomar Kailani dalam bukunya Fi At-Tashawwuf Al-Islam, tobat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa.
           


b. Cemas dan Harap (khauf dan raja’)
            Menurut Al-Bashri, yang dimaksud dengan cemas atau takut adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. Rasa takut itu akan mendorong seseorang untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap (raja’), ampunan dan anugerah Allah. Oleh karena itu, ajaran khauf dan raja’ merupakan sikap mental yang bersifat introspeksi, mawas diri, dan selalu memikirkan kehidupan yang akan datang yaitu kehidupan abadi.
            c. Zuhud
            Secara umun zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.Menurut Hasan Al-Basri mengatakan bahwa zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia, karena dunia ini tidak ubahnya seperti ular, licin apabila dipegang tetapi racunnyadapat membunuh. Meskipun didefinisikan dengan redaksi yang berbeda inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.[6]
            d. Fakir
            Fakir berarti kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan didunia. Fakir bermakna tidak menuntut lebih banyak dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehinggga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental fakir merupakan benteng yang kuat dalammenghadapi pengaruh kehidupan materi.Sikap fakir dapat memunculkan sikap wara’, yaitu sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya.
            e. Sabar
            Sabar adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang disenangi maupun yang di benci. Menurut Al-Ghazali, sabar adalah suatu kondisi jiwa yang terjadi karena adanya dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa nafsu.Sabar berarti konsisten dalam melaksanakan perintah Allah, menghadapi kesulitan, dan tabahdalam menghadapi cobaan selama dalam perjuangan untuk mencapai tujuan.Oleh Karena itu, sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap, dan emosi. Apabila seseorang telah mampu mengendalikan nafsunya, maka sifat sabar akan tercipta.
            Al-Ghazali membedakan tingkatan sabar, menjadi, qana’ah iffah hilm, dan saja’ah.Iffah ialah kemampuan mengatasi hawa nafsu.Hilm merupakan kesanggupan seseorang menguasahi diri agar tidak marah.Qana’ah yaitu ketabahan hati untuk menerima nasib.Terakhir, saj’ah yaitu sifat pantang menyerah.[7]
            f. Rida
            Menurut Ibnu Ajibah, ridha adalah menerima ha-hal yang tidak menyenangkan dengan wajah senyum ceria. Sikap mental rida merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Istilah rida mengandung pengertian menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya.
            g. Muraqabah
            Muraqabah adalah mawas diri.Muqorobah mempunyai arti yang mirip dengan intropeksi. Dengan kata lain, muraqabah adalah siap dan siaga setiap saat untuk meneliti keadaan sendiri. Seorang calon sufi sejak awal sudah di ajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Seluruh aktifitas hidupnya di tunjukkan untuk berada sedekat mungkin dengan-NYA.Ia sadar bahwa Allah “memandang”-nya. Kesadaran itu membawanya pada satu sikap mawas diri atau muraqabah.
3. Tajalli
            Tajalli ialah hilangnya hijab dari sifat-sifat ke-basyariyyah-an (kemanusiaan).Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib.Setiap calon sufi perlu melakukisn mengadakan latihan-latihan jiwa (riyadhah), berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat tercela, menggosokkan hati dari sifat-sifat keji, dan melepaskan segala sangkut paut dengan dunia.[8]
            Setelah itu mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, segala tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak dzikir, dan menghindarkandiri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri baik lahir maupun batin.
            Apabila tuhan telah menembus hati hambanya deng nurnya, maka berlimpahruahlah rahmat dan karunianya.Pada tingkat ini seorang hamba akan memperoleh cahaya yang terang benderang, dadanya lapang, dan terangkatnya tabir rahasia alam malakut.Para sufi sependapat bahwa satu-satunya cara untuk mencapai  tingkat kesempurnaan kesucian jiwa, yaitu dengan mencintai Allah dan memperdalam rasa cinta tersebut.[9]
B. TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAKI
            Tokoh-tokoh tasawuf akhlaki, antara lain Hasan Al-Bashri, Al-Muhasibi, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali.
1. Hasan Al-Bashri
            a. Riwayat hidup Al-Bashri
            Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabi’in. Ia dilaharkan di madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari kamis, tanggal 10 bulan Rajab 110 H (728 M). Ia di lahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin khattab wafat. Ia di kabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan perang badar dan 300 sahabat lainnya.[10]
            Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memper bincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Masjid Bashrah.Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa di dasarkan pada sunah Nabi.Sahabat-sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itupun mengakui kebesarannya.Karier pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepda seluruh ulama’ di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Basyri. Puncak ke ilmuannya memperoleh disana.
b. Ajaran-ajaran tasawufnya
            Hamka mengemukakan ajaran tasawuf Hasan Al Basyri sebagai ajaran berikut:
1.      Rasa takut yang mengemukakan hatimu tenteram lebih baik dari pada rasa tenteram yang menimbulkan rasa taku.
2.      Dunia adalah negri tempat beramal barang siapa menemui dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan bahagia dan memperoleh faedah.
3.      Tafukur membawa kita kebaikan dan berusaha mngerjakannya.
4.      Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali di tinggal mati suaminya.
5.      Orang beriman senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut, Yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
6.      Hendaklah setiap orang sadar akan kematian senantiasa mengancamnya, hari kiamat akan menagihnya.
7.      Banyak duka cita di dunia mempemteguh semangat amal shaleh.[11]
2.Al-Muhasibi
            a. Riwayat hidup Al-Muhasibi
            Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Al-Harits bin As’ad Al-bashri Al-Muhasibi. Ia lahir di Bashrah 165 H dan wafat 243 H (857 M). Ia di kenal dengan nma Al-Muhasibi karena ia termasuk orang yang sangat menyukai perhitungan atas dirinya agar tidak terjatuh kepada perbuatan-perbuatan yang merugikan.
            Al-Muhasibi termasuk pembesaran sufi, ahli ilmu ushul, dan teologi. Beberapa karyanya menunjukkan ia suka berpolemik dengan kelompok mu’tazilah. Al-Muhasibi wafat di Baghdad pada 243 H (857 M) dengan meninggalkan beberapa karya tulis.Al-Muhasibi dianggap menjadi penghulu para sufi dan menjadi guru para ulama’ seperti Junaidi Al-Baghdadi.[12]
            b. Pandangan Al-Muhasibi tentang makrifat
            Al-Muhasabi mengatakan bahwa makrifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. Al-muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan makrifat sebagai berikut.
1.    Taat. Sikap itu merupakan awal kecintaan kepada Allah yang di buktikan dengan perilaku.
2.    Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap makrifat selanjutnya.
3.    Pada tahap ke tiga ini Allah menyingkapakan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang menyaksikan berbagi rahasia yang selama ini di simpen-Nya.
4.    Fana’ yang menyebabkan baqa’.[13]
Fana’ artinya hilang, hancur sedangkan baqa’ artinya tetap, terus hidup.[14]
            c. Pandangan hidup Al-Muhasibi tentang khauf dan raja’
            Dalam pandangan Al-muhasibi tentang,khauf(rasa takut) dan raja’ (pengharapan)menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa.Ia mememasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika keagamaan lainnya, yaitu ketika disifati dengan dua sifat di atas.Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
            Raja’, dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh Tatkala telah melakukan amal shaleh, seseorang berhak mengharap dari Allah.Inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi Muhammad.[15]
3. Al-Qusyairi
            a. Riwayat hidup Al-Qusyairi
            Nama lengkap adalah Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul malik bin Thallah bin Muhammad An-Naisaburi. Ia lebih di kenal dengan nama Abdul Karim Al-Qusairi karena ia berasal dari keturunan kabilah Arab Al-Qursyairi bin Ka’ab yang pindah ke Khurasan pada masa dinasti umami. AL-Qusairi lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan pada masa Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia bertemu pada gurunya, Abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusairi wafat tahun 456 H.
           
            b. Ajaran-ajaran tasawuf Al-Qusyairi
            pandangan dan ajaran Al-Quran tentang tasawuf tertua dalam karya monumentalnya risalah Al-Qusyairiyyah. Kitab ini merupakan kitab yang banyak dikutip dalam membicarakan tasawuf.[16]
            Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya yang gemar menggunakan pakaian mereka.Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan sunnah, lebih penting dibandingkan dengan pakaian lahiriah.
            Al-Qusyairi menyatakan ia menulis risalahnya karena dorongan perasaan sedihnya ketika melihat hal-hal menimpa tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelempok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya, hanya ”pengobat keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya.
4. Al-Ghazali
            a.Riwayat Hidup Al-Ghazali
            Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad  bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat di panggil Al-Ghazali atau Abu Hamid  Al-Ghazali. Ia di panggil Al-Ghozali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H (1085 M), tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
            Muhammad, ayah Al-Ghazali adalah pengusaha kecil yang berpenghasilan rendah sehingga keluarganya hidup dalam kemiskinan.Meskipun hidup serba kekurangan, Al-Ghazali adalah seorang pencinta ilmu yang mempunyai cita-cita besar.Muhammad, ayah Al-Ghazali meninggal dunia ketika Al-ghazali dan saudaranya, Ahmad, masih kecil.Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Riskani. Kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhammiyah di Naisabur. [17]
            Disinilah ia berguru kepada Iman Haramain (Al-Juwaini, w. 478 H/1086 M) hingga mengusai ilmu nantik, ilmu kalam, fiqh ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika perdebatan.Al-Ghazali menghebuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 (14 Jumadil Akhir 505) dengan meninggalkan banyak karya tulisannya.
            b. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
            Al-Ghazali memilih tasawafuh sunni yang berdasarkan Al-quran dan sunnah Nabi ditambah dengan dokter Ahlul As-Sunnah Wa Al-Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostik yang memengaruhi para filsut Islam, seperti setke Isma’iliyyah, Syi’ah, dan Ikhwan Ash-Shafa.
            Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah pesiko moral yang mengutamakan moral. Hal ini dapat di lihat dalam karya-karyanya, Ihya’ Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Miraj As-Salikin, dan Ayyuha Al-walad.


            c. Pandangan Al-Ghazali tentang ma’rifat
            Menurut Al-Ghazali, ma’rifat ialah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturanNya tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat berdasarkan pada sir,  kalbu, dan roh.Setelah kalbu dan roh menjadi kosong dan suci, kemudian di limpahi cahaya Tuhan, maka seseorang dapat mengetahui hakikat segala yang ada.Ia menerima iluminasi (kasyat) dari Allah sehingga yang di lihat hayalah Dia. Pada saat itulah, ia sampai ketingkat ma’rifat. Al-Ghazali dalam kitabnya, ihya’ Ulum Ad-Din, membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan orang awam, ulama, dan orang orang arif (sufi).[18]
d. Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah (Kebahagiaan)
            Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagian yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatulla). Di dalam kitab kmiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa kebahagian itu sesuai dengan watak. Sementara watak itu sesuai dengan ciptaannya kenikmatan kalbu sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah.Melihat-Nya merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya, karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulai.[19]


BAB III
PENUTUP
            A. Kesimpulan
            Tasawuf akhalaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan Ilmu akhlak.Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi social pada lingkungan tempat tinggalnya.Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasi secara utuh, jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah SWT.Dibuktikan dalam kehidupan sosial.
            Tasawuf akhlaki ini juga dikenal dengan tasawuf sunni,yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Quran dan Al-Hadissecara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan magamat (tingkatan rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut.Al-Bashri(w. 110H/728 M), Al-Muhasibi (w. 241 H), Al-Qusyairi (w. 405), dan Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M).
            B. Saran
            Mengingat terbatasnya pengetahuan kami, begitu pula kurangnya rasa ingin tahu dari kelempok kami.berbarap pembaca bisa memaklumi jika terhadap adanya Adapun kebenaran itu datangnya dari Allah SWT dan kekurangannya datangnya dari kelompok kami. Kelompok kami berharap pembaca tidak puas dengan makalah yang kelompok kami buat ini dan pada akhirnya pembaca akan terus memper dalam pengetahuan yang sangat luas. Dalam makalah ini juga, kelompok kami butuh kritikan dan saran guna perbaikan di makalah yang akan datang.  



DAFTAR PUSTAKA
·         Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
·         Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012.
·         Tim Reviewer MKD 2014, Akhlak Tasawuf, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2014.
·         Drs. H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2014
·         M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008.


[1].Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010, hlm. 229-230.
[2]. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012, hlm. 209.
[3]. Tim Reviewer MKD 2014, Akhlak Tasawuf, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2014, hlm. 20.
[4]. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012, hlm. 212.
[5].M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008, hlm. 115.
[6]. Ibid. hlm.115-117.
[7]. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012, hlm. 218.

[8]. Ibid. hlm. 219-220.
[9]. Ibid. hlm.221.
[10]. Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010, hlm.231.
[11] . Ibid. hlm. 231-233.
[12]. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012, hlm. 225.
[13] . Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010,hlm.234-235.
[14] . Drs. H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2014, hlm. 259
[15]. Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010,hlm. 235-237.
[16]. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012, hlm. 229-230.

[17]. Ibid. hlm. 231-233.
[18] . Ibid. hlm.233-238
[19]. Ibid. hlm.239.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar