TASAWUF AKHLAKI
MAKALAH
DisusununtukmemenuhitugasmatakuliahAkhlakTasawuf
Yang diampuolehBapakMoch.CholidWardi, M. HI.
Oleh :
Musarrofah (201703022146)
WinaQonitaJamil (20170703022223)
HosnolHotimah (20170703022077)
PROGRAM STUDI
PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EBIS
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan hidayahnya kami biasa menyelesaikan makalah kmi yang berjudul
“Tasawuf Akhlaki” untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu holeh
Bapak Moch. Cholid Wardi, M. HI.
Makalah
ini telah di sesuaikan dengan materi dan ilmu yang bersangkutan dengan pokok behasan
makalah yang telah ditentukan. Adapaun tujuan pembuatan makalah ini selain sebagai
penyelesaikan tuagas, juga sebagai cara untuk
kami selaku mahasiswa untuk memahami dan mengerti tentang materi yang diberikan
oleh dosen.
Di
dalam makalah ini kami menyadari masih ada kekhilafan dan kesalahan karena kesmpurnaan
hanayalah milik Allah SWT semata, maka dari itu kami mengharap kepada pembaca memberikan
saran dan kritikan yang positif yang dapat membangun materi makalah ini, untuk kebaikan
tugas-tugas kami selanjutnya.
Harapan
kami sebagai penulis, semoga makalah ini menjadi suatu karya yang bermanfaat dan
menjadi amal shaleh bagi kami.Amin.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang...................................................................................... 1
B.
RumusanMasalah.................................................................................. 1
C.
TujuanPembahasan............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
DefinisidanKonsepTasawufAkhlaki.................................................... 2
B.
Tokoh-TokohTasawufAkhlaki.............................................................. 7
BAB III PENUTUP
C.
Kesimpulan........................................................................................... 14
D.
Saran .................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak
sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan perilaku baik ia sebagai manusia yang beragama, maupun
sebagai makhluk individual dan sosial.
Dampak
negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan yang
dialaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya
yang membahagiakan hidupnya adalah nilai material.Manusia cenderung selalu
dikendalikan oleh hawa nafsunya.
Jika
manusia telah dikendalikan oleh hawa nafsunya maka dia telah mempertuhankan
nafsunya tersebut.Dengan pengusahaan nafsu tersebut didalam diri seseorang maka
berbagai penyakitpun timbul didalam dirinya seperti sombong, membanggakan diri,
buruk sangka, maksiat dengki, dan lain-lain sebagainya.
Maka
dengan metode-metode tertentu yang dirumuskan, tasawuf akhlaki berkonsentrasi
pada upaya-upaya menghindarkan diri dari ahklak yang tercela (mazmumah) sekaligus mengujutkan akhlak
terpuji (mahmudah) didalam hati dan
jiwa manusia.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa Definisi dan Konsep Tasawuf Akhlaki
?
2.
Siapakah Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki ?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk
mengetahui Definisi Tasawuf Akhlaki.
2. Untuk
mengetahui siapakah Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi dan Kosep Tasawuf Ahklaki.
Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari
sudut bahasa merupakan bentuk frase atau dalam kaidah bahasa Arab dikenal
dengan sebutan jumlah idhofah.Frase
atau jumlah idhofah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan
makna yang utuh dan menentukan realitas khusus.Dua kata itu adalah “tasawuf”
dan “akhlak”.Arti dari kata tasawuf dalam Bahasa Arab adalah bisa membersihkan
atau saling membersihkan.Kata “membersihkan” merupan kata kerja transitif yang
membutuhkan objek.Objek dari tasawuf ini adalah akhalak manusia.
Kemudian,”Akhlak” juga berasal dari Bahasa arab. Kata akhlaq merupakan bentuk jamak dari khuluq yang secara Bahasa bermakna pembuatan dan penciptaan.Akan
tetapi, dalam konteks agama akhlak bermakna perangai, budi, tabiat, adap, atau
tingakah laku.[1]
Menurut istilah tasawuf akhlaki
adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa
diformulasikan pda pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku
secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal.[2]
Pada tasawuf akhlaki, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang
tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk),
tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (yaitu
terbukanya dinding penghalang hijab yang membatasi manusia dengan tuhan,
sehingga nur ilahi tampak jelas padanya ).[3]
1.
Takhalli
Takhalli berarti membersihkan diri
dari sifat tercela, dari maksiat lahir dan batin. Takhalli juga berarti mengosongkan
diri dari akhlak tercela.Membersihkan diri dari sifat tercela, oleh kaum sufi
dipandang penting karena sifat-sifat ini merupakan najis maknawi (najasah maknawiyah). Adanya najis-najis
ini pada diri seseorang, menyebabkan tidak dapat dekat dengan tuhan.Kemaksiatan
pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu maksiat lahir dan batin. Maksiat
lahir adalah segala sifat tercela yang di anggota lahir, seperti tangan, mulut,
dan mata.Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang diperbuat
oleh anggota batin, yaitu hati.[4]
2.
Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi atau
menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak
terpuji.Tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengkosongkan jiwa dari
akhlak-akhlak tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan perbuatan baik, baik yang bersifat “luar” maupunyang
bersifat “dalam”.
Aspek luar adalah kewajiban-kewajiban
yang bersifat normal, seperti shalat, puasa, dan haji, sedangkan aspek dalam
seperti iman, ketaatan, dan kecintaan kepada tuhan.Menurut Al-Ghazali jiwa
manusia dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan di bentuk sesuai dengan kehendak
manusia itu sendiri.Perbuatan baik yang sangat penting diisikan kedalam jiwa
manusia dan dibiasakan dalam perbuatan agar menjadi manusia paripurna(insan
kamil). Perbuatan baik itu antara lain sebagai berikut.[5]
a.
Tobat
Menurut Qomar Kailani dalam bukunya Fi At-Tashawwuf Al-Islam, tobat adalah
rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta
meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa.
b.
Cemas dan Harap (khauf dan raja’)
Menurut Al-Bashri, yang dimaksud
dengan cemas atau takut adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat
salah dan sering lalai kepada Allah. Rasa takut itu akan mendorong seseorang
untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap (raja’), ampunan
dan anugerah Allah. Oleh karena itu, ajaran khauf dan raja’ merupakan sikap mental
yang bersifat introspeksi, mawas diri, dan selalu memikirkan kehidupan yang
akan datang yaitu kehidupan abadi.
c. Zuhud
Secara umun zuhud dapat diartikan
sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.Menurut Hasan Al-Basri mengatakan
bahwa zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia, karena dunia ini tidak ubahnya
seperti ular, licin apabila dipegang tetapi racunnyadapat membunuh. Meskipun
didefinisikan dengan redaksi yang berbeda inti dan tujuan zuhud sama, yaitu
tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.[6]
d.
Fakir
Fakir berarti kekurangan harta yang
diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan didunia. Fakir bermakna tidak
menuntut lebih banyak dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehinggga
tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental fakir merupakan benteng yang kuat
dalammenghadapi pengaruh kehidupan materi.Sikap fakir dapat memunculkan sikap
wara’, yaitu sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang
jelas masalahnya.
e. Sabar
Sabar adalah kemampuan seseorang
dalam mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang disenangi
maupun yang di benci. Menurut Al-Ghazali, sabar adalah suatu kondisi jiwa yang
terjadi karena adanya dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa
nafsu.Sabar berarti konsisten dalam melaksanakan perintah Allah, menghadapi kesulitan,
dan tabahdalam menghadapi cobaan selama dalam perjuangan untuk mencapai
tujuan.Oleh Karena itu, sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap,
dan emosi. Apabila seseorang telah mampu mengendalikan nafsunya, maka sifat
sabar akan tercipta.
Al-Ghazali membedakan tingkatan
sabar, menjadi, qana’ah iffah hilm, dan saja’ah.Iffah ialah kemampuan mengatasi
hawa nafsu.Hilm merupakan kesanggupan seseorang menguasahi diri agar tidak
marah.Qana’ah yaitu ketabahan hati untuk menerima nasib.Terakhir, saj’ah yaitu
sifat pantang menyerah.[7]
f.
Rida
Menurut Ibnu Ajibah, ridha adalah
menerima ha-hal yang tidak menyenangkan dengan wajah senyum ceria. Sikap mental
rida merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar.
Istilah rida mengandung pengertian menerima dengan lapang dada dan hati terbuka
terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta
melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah
nasib dirinya.
g. Muraqabah
Muraqabah adalah mawas
diri.Muqorobah mempunyai arti yang mirip dengan intropeksi. Dengan kata lain,
muraqabah adalah siap dan siaga setiap saat untuk meneliti keadaan sendiri.
Seorang calon sufi sejak awal sudah di ajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas
dari pengawasan Allah. Seluruh aktifitas hidupnya di tunjukkan untuk berada
sedekat mungkin dengan-NYA.Ia sadar bahwa Allah “memandang”-nya. Kesadaran itu
membawanya pada satu sikap mawas diri atau muraqabah.
3.
Tajalli
Tajalli ialah hilangnya hijab dari
sifat-sifat ke-basyariyyah-an (kemanusiaan).Kata tajalli bermakna terungkapnya
nur ghaib.Setiap calon sufi perlu melakukisn mengadakan latihan-latihan jiwa
(riyadhah), berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat tercela,
menggosokkan hati dari sifat-sifat keji, dan melepaskan segala sangkut paut
dengan dunia.[8]
Setelah
itu mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, segala tindakannya selalu dalam
rangka ibadah, memperbanyak dzikir, dan menghindarkandiri dari segala yang
dapat mengurangi kesucian diri baik lahir maupun batin.
Apabila tuhan telah menembus hati
hambanya deng nurnya, maka berlimpahruahlah rahmat dan karunianya.Pada tingkat
ini seorang hamba akan memperoleh cahaya yang terang benderang, dadanya lapang,
dan terangkatnya tabir rahasia alam
malakut.Para sufi sependapat bahwa satu-satunya cara untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa, yaitu
dengan mencintai Allah dan memperdalam rasa cinta tersebut.[9]
B.
TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAKI
Tokoh-tokoh tasawuf akhlaki, antara lain Hasan Al-Bashri,
Al-Muhasibi, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali.
1. Hasan
Al-Bashri
a. Riwayat hidup Al-Bashri
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan
bin Yasar adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabi’in. Ia
dilaharkan di madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari kamis,
tanggal 10 bulan Rajab 110 H (728 M). Ia di lahirkan dua malam sebelum Khalifah
Umar bin khattab wafat. Ia di kabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang
turut menyaksikan perang badar dan 300 sahabat lainnya.[10]
Dialah
yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memper bincangkan ilmu-ilmu
kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Masjid
Bashrah.Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa di dasarkan pada sunah
Nabi.Sahabat-sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itupun mengakui
kebesarannya.Karier pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru
hampir kepda seluruh ulama’ di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah
bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Basyri. Puncak ke
ilmuannya memperoleh disana.
b. Ajaran-ajaran
tasawufnya
Hamka mengemukakan ajaran tasawuf Hasan Al Basyri sebagai
ajaran berikut:
1. Rasa
takut yang mengemukakan hatimu tenteram lebih baik dari pada rasa tenteram yang
menimbulkan rasa taku.
2. Dunia
adalah negri tempat beramal barang siapa menemui dunia dengan perasaan benci
dan zuhud, ia akan bahagia dan memperoleh faedah.
3. Tafukur
membawa kita kebaikan dan berusaha mngerjakannya.
4. Dunia
ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali di tinggal
mati suaminya.
5. Orang
beriman senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara
dua perasaan takut, Yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut
memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
6. Hendaklah
setiap orang sadar akan kematian senantiasa mengancamnya, hari kiamat akan
menagihnya.
7. Banyak
duka cita di dunia mempemteguh semangat amal shaleh.[11]
2.Al-Muhasibi
a. Riwayat hidup Al-Muhasibi
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Al-Harits bin As’ad
Al-bashri Al-Muhasibi. Ia lahir di Bashrah 165 H dan wafat 243 H (857 M). Ia di
kenal dengan nma Al-Muhasibi karena ia termasuk orang yang sangat menyukai
perhitungan atas dirinya agar tidak terjatuh kepada perbuatan-perbuatan yang
merugikan.
Al-Muhasibi termasuk pembesaran sufi, ahli ilmu ushul,
dan teologi. Beberapa karyanya menunjukkan ia suka berpolemik dengan kelompok mu’tazilah. Al-Muhasibi wafat di Baghdad
pada 243 H (857 M) dengan meninggalkan beberapa karya tulis.Al-Muhasibi
dianggap menjadi penghulu para sufi dan menjadi guru para ulama’ seperti
Junaidi Al-Baghdadi.[12]
b. Pandangan Al-Muhasibi tentang makrifat
Al-Muhasabi mengatakan bahwa makrifat harus ditempuh
melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. Al-muhasibi
menjelaskan tahapan-tahapan makrifat sebagai berikut.
1. Taat.
Sikap itu merupakan awal kecintaan kepada Allah yang di buktikan dengan
perilaku.
2. Aktivitas
anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan
tahap makrifat selanjutnya.
3. Pada
tahap ke tiga ini Allah menyingkapakan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban
kepada setiap orang menyaksikan berbagi rahasia yang selama ini di simpen-Nya.
4. Fana’
yang menyebabkan baqa’.[13]
Fana’
artinya hilang, hancur sedangkan baqa’ artinya tetap, terus hidup.[14]
c.
Pandangan hidup Al-Muhasibi tentang khauf dan raja’
Dalam pandangan Al-muhasibi tentang,khauf(rasa takut) dan raja’
(pengharapan)menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan
jiwa.Ia mememasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika keagamaan lainnya,
yaitu ketika disifati dengan dua sifat di atas.Khauf dan raja’, menurut
Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Raja’, dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan
amal shaleh Tatkala telah melakukan amal shaleh, seseorang berhak mengharap
dari Allah.Inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi
Muhammad.[15]
3. Al-Qusyairi
a. Riwayat hidup Al-Qusyairi
Nama lengkap adalah Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin
Hawazin bin Abdul malik bin Thallah bin Muhammad An-Naisaburi. Ia lebih di
kenal dengan nama Abdul Karim Al-Qusairi karena ia berasal dari keturunan
kabilah Arab Al-Qursyairi bin Ka’ab yang pindah ke Khurasan pada masa dinasti
umami. AL-Qusairi lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan pada masa Nishafur
yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia
bertemu pada gurunya, Abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusairi
wafat tahun 456 H.
b.
Ajaran-ajaran tasawuf Al-Qusyairi
pandangan dan ajaran Al-Quran tentang tasawuf tertua
dalam karya monumentalnya risalah Al-Qusyairiyyah. Kitab ini merupakan kitab
yang banyak dikutip dalam membicarakan tasawuf.[16]
Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya
yang gemar menggunakan pakaian mereka.Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan
berpegang teguh pada Al-Quran dan sunnah, lebih penting dibandingkan dengan
pakaian lahiriah.
Al-Qusyairi menyatakan ia menulis risalahnya karena
dorongan perasaan sedihnya ketika melihat hal-hal menimpa tasawuf. Ia tidak
bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelempok tersebut dengan
mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu,
menurutnya, hanya ”pengobat keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada
masanya.
4. Al-Ghazali
a.Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi
Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat di panggil Al-Ghazali atau Abu
Hamid Al-Ghazali. Ia di panggil
Al-Ghozali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada
tahun 450 H (1085 M), tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan
di Baghdad.
Muhammad, ayah Al-Ghazali adalah pengusaha kecil yang
berpenghasilan rendah sehingga keluarganya hidup dalam kemiskinan.Meskipun
hidup serba kekurangan, Al-Ghazali adalah seorang pencinta ilmu yang mempunyai
cita-cita besar.Muhammad, ayah Al-Ghazali meninggal dunia ketika Al-ghazali dan
saudaranya, Ahmad, masih kecil.Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad
bin Muhammad Ar-Riskani. Kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhammiyah di
Naisabur. [17]
Disinilah
ia berguru kepada Iman Haramain (Al-Juwaini, w. 478 H/1086 M) hingga mengusai
ilmu nantik, ilmu kalam, fiqh ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika
perdebatan.Al-Ghazali menghebuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal
19 Desember 1111 (14 Jumadil Akhir 505) dengan meninggalkan banyak karya
tulisannya.
b. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali memilih tasawafuh sunni yang berdasarkan
Al-quran dan sunnah Nabi ditambah dengan dokter Ahlul As-Sunnah Wa Al-Jama’ah.
Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostik yang
memengaruhi para filsut Islam, seperti setke Isma’iliyyah, Syi’ah, dan Ikhwan
Ash-Shafa.
Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan
Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan itulah sebabnya, dapat dikatakan
bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah
pesiko moral yang mengutamakan moral. Hal ini dapat di lihat dalam
karya-karyanya, Ihya’ Ulum Ad-Din, Minhaj
Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Miraj As-Salikin, dan Ayyuha Al-walad.
c. Pandangan Al-Ghazali tentang ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat ialah mengetahui rahasia
Allah dan mengetahui peraturan-peraturanNya tentang segala yang ada. Alat
memperoleh ma’rifat berdasarkan pada sir,
kalbu, dan roh.Setelah kalbu dan roh
menjadi kosong dan suci, kemudian di limpahi cahaya Tuhan, maka seseorang dapat
mengetahui hakikat segala yang ada.Ia menerima iluminasi (kasyat) dari Allah
sehingga yang di lihat hayalah Dia. Pada saat itulah, ia sampai ketingkat
ma’rifat. Al-Ghazali dalam kitabnya, ihya’
Ulum Ad-Din, membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan orang
awam, ulama, dan orang orang arif
(sufi).[18]
d. Pandangan Al-Ghazali
tentang As-Sa’adah (Kebahagiaan)
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagian yang paling
tinggi adalah melihat Allah (ru’yatulla).
Di dalam kitab kmiya As-Sa’adah, ia
menjelaskan bahwa kebahagian itu sesuai dengan watak. Sementara watak itu
sesuai dengan ciptaannya kenikmatan kalbu sebagai alat memperoleh ma’rifat
terletak ketika melihat Allah.Melihat-Nya merupakan kenikmatan paling agung
yang tiada taranya, karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulai.[19]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf akhalaki merupakan gabungan
antara ilmu tasawuf dan Ilmu akhlak.Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan
kegiatan manusia dalam interaksi social pada lingkungan tempat tinggalnya.Jadi,
tasawuf akhlaki dapat terealisasi secara utuh, jika pengetahuan tasawuf dan
ibadah kepada Allah SWT.Dibuktikan dalam kehidupan sosial.
Tasawuf akhlaki ini juga dikenal
dengan tasawuf sunni,yaitu bentuk
tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Quran dan Al-Hadissecara ketat, serta
mengaitkan ahwal (keadaan) dan magamat (tingkatan rohaniah) mereka pada
dua sumber tersebut.Al-Bashri(w. 110H/728 M), Al-Muhasibi (w. 241 H),
Al-Qusyairi (w. 405), dan Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M).
B.
Saran
Mengingat
terbatasnya pengetahuan kami, begitu pula kurangnya rasa ingin tahu dari
kelempok kami.berbarap pembaca bisa memaklumi jika terhadap adanya Adapun
kebenaran itu datangnya dari Allah SWT dan kekurangannya datangnya dari
kelompok kami. Kelompok kami berharap pembaca tidak puas dengan makalah yang
kelompok kami buat ini dan pada akhirnya pembaca akan terus memper dalam
pengetahuan yang sangat luas. Dalam makalah ini juga, kelompok kami butuh
kritikan dan saran guna perbaikan di makalah yang akan datang.
·
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
·
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012.
·
Tim Reviewer MKD 2014, Akhlak Tasawuf, Surabaya: UIN Sunan
Ampel, 2014.
·
Drs. H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2014
·
M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia,
2008.
[1].Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2010, hlm. 229-230.
[2]. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012, hlm.
209.
[3]. Tim Reviewer MKD 2014, Akhlak Tasawuf, Surabaya: UIN Sunan
Ampel, 2014, hlm. 20.
[4]. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012, hlm.
212.
[5].M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia,
2008, hlm. 115.
[6]. Ibid. hlm.115-117.
[7]. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012, hlm.
218.
[8]. Ibid. hlm. 219-220.
[9]. Ibid. hlm.221.
[10]. Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2010, hlm.231.
[11] . Ibid. hlm. 231-233.
[12]. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012, hlm.
225.
[13] . Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2010,hlm.234-235.
[14] . Drs. H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2014, hlm. 259
[15]. Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2010,hlm. 235-237.
[16]. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012, hlm.
229-230.
[17]. Ibid. hlm. 231-233.
[18] .
Ibid. hlm.233-238
[19]. Ibid. hlm.239.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar