AL-QUR’AN SEBAGAI METODOLOGI HUKUM ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul
fiqih
yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I.
Oleh Kelompok 1:
Ach Sudis Alwi : 20170703021005
Amirul Rijalur Rahman :
20170703021028
Edi Subianto :
20170703021045
Edi Wahyudi :
20170703021046
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN 2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji Syukur Alhamdulillah penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, maunah serta inayahnya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
penyusunan Makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang mungkin sangat sederhana.
Shalawat serta salam penyusun haturkan kepada junjungan sang
baginda Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah mengangkis kita dari alam
kejahiliyahan menuju ke alam yang serba dengan keilmuan serta memberikan nuansa
baru bagi kehidupan umat manusia.
Dalam menyelesaikan
penyusunan makalah ini, banyak hambatan atau kendala-kendala yang harus penyusun
hadapi, namun semuanya dapat teratasi. Penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai
pihak, sehingga kendala-kendala yang penyusun hadapi dapat teratasi. Maka
penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang ikut serta
membantu atau memberi masukan dalam penyusunan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya
bahwa dalam penyusunan makalah ini pasti ada kekurangan baik dari segi tata
bahasa maupun aspek-aspek yang lain, karena penyusun juga insan yang tak luput
dari kesalahan. Oleh karena itu, dengan lapang dada dan tangan terbuka penyusun
membuka selebar-lebarnya bagi para pembaca untuk kritik dan sarannya bagi penyusun.
WassalamualaikumWr.Wb.
Pamekasan,05 Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang................................................................................... 1
- Rumusan Masalah.............................................................................. 1
- Tujuan Penyusunan............................................................................ 1
BAB II PEMABAHASAN
- Pengertian Al-qur’an ......................................................................... 2
- Kehujjahan Alqur’an menurut Pandangan Ulama Imam Mazhab .... 3
- Metodologi Formasi Hukum Islam.................................................... 5
- Al-Qur’an sebagai metodologi sumber islam .................................... 6
- Keunggulan-keunggulan Al-Qur’an dan ciri khas al-quran............... 7
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan........................................................................................ 9
- Saran.................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah sebuah al-kitab yang ada didunia ini yang langsung
benar benar dijaga oleh allah swt. Sehingga tidak salah apabila Al-Qur’an
ditunjuk sebagai hukum untuk agama dan bersosialisasi kepada semua ummat, buku
yang dikemas dengan memori memori indah dalam al-quran (berupa teguran,
peringatan dan cara-cara hidup) sehingga terdapat aturan yang tersirat maupun
yang tersurat sehingga perlu pengkajian untuk memanfaatkan hal hal yang
tersirat lebih dalam.
Dan
alhamdulillah pada kesempatan kali ini kami dapat membuat makalah tentang AL-QUR’AN
SEBAGAI METODOLOGI HUKUM ISLAM dan kami akan membahasnya secara singkat dan
padat.
B.
Rumusan
Masalah
Ada
beberapa rumusan yang kami bawa tentang :
1.
Apa yang dimaksud Al-Qur’an ?
2.
Bagaimana pandangan kehujjahan Al-Qur’an
menurut Ulama Imam mazhab ?
3.
Apa yang dimaksud metodologi formasi hukum
islam ?
4.
Apa yang dimaksud Al-Qur’an sebagai metodologi sumber islam ?
5.
Apa
yang terdapat dalam Al-Qur’an (keunggulan dan ciri khas) ?
6.
C.
Tujuan penyusunan
Tujuan penyusunan makalah ini berupa :
1.
Untuk mengetahui apa itu Al-Qur’an.
2.
Untuk mengetahuipandangan kehujjahan Al-Qur’an
menurut Ulama Imam mazhab.
3.
Untuk mengetahuimetodologi formasi hukum islam.
4.
Untuk mengetahuiAl-Qur’an sebagai metodologi sumber islam.
5.
Untuk mengetahui ke unggulan Al-Qur’an dan ciri khas Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-Qur’an
Secara etimologi,kata Al-qur’an merupakan bentuk masdar yang
berasal dari kata قَرَأَ, يَقْرَأُ, قِرَاءَةً, وَقُرْآنًاyang berarti bacaan.[1]
Adapun secara terminologi, terdapat beberapa definisi Al-qur’an
yang dikemukakan para ulama:
1.
Ulama
Ushul Fiqh
القران
هو كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربي المنقول
الينا بالتواتر المكتوب في المصاحف المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة الفاتحة المختوم
بسورة الناس
Al-qur’an adalah firman Allah
SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, berbahasa arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, termaktub di
dalam mushaf, membacannya merupakan ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah dan
diakhiri dengan surah an-Nas.[2]
2.
Muhammad
Ali ash-Shabuni
القران
هو كلام الله المعجز المنزل على خاتم الانبياء والمرسلين بواسطة الامين جبريل عليه
السلام المكتوب في المصاحف المنقول الينا بالتواتر المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة
الفاتحة المختتم بسورة الناس
Al-qur’an
adalah firman Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada “Penutup
para nabi dan rasul”(Muhammad SAW)melalui malaikat jibril, termaktub di dalam
mushaf, yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.[3]
3.
Ali
Hasbullah
القران
هو كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم بلسان عربي مبين تبيانا
لما به صلاح للناس في دنياهم واخراهم
Al-qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, berbasa arab yang nyata, sebagai penjelasan untuk
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat[4]
4.
Abdul
Wahhab Khallaf
Kalam
Allah yang diturunkannya dengan perantara malaikat jibril ke dalam hati rasulullah
muhammmad ibnu abdulllah dengan bahasa arab dan maknanya benar supaya menjadi
bukti bagi rasul tentang kebenarannya sebagai rasul, menjadi aturan bagi
manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk, di pandang beribadah membacanya,
dan ia dibukukan diantara dua kulit mushaf,diawali dengan surah al-fatihah dan
diakhiri dengan surah an-nas di sampaikan kepada kita secara mutawattir baik
secara tertulis maupun hafalan dari generasi ke generasi dan terpelihara dari
segala perubahan daan penggantian, sejalan dengan kebenaran jaminan Allah SWT
yang tercantum surah al-hijr ayat 9 yang artinya:sesungguhnya kamilah yang
menurunkan al-quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.
B.
kehujjahan al-quran menurut pandangan ulama imam
mazhab
1.
Pandangan imam Abu
Hanifah
Imam abu hanifah
sependapat dengan jumhur ulama bahwa al-quran merupakan sumber hukum islam.
Namun menurut sebagian besar ulama, imam abu hanifah berbeda pendapat dengan
jumhur ulama mengenai al quramn itu mencakup lafazh dan maknyan atau maknanya
saja.
Di antara dalil
yanag menunjukkkan pendapat imam abu hanifah bahwa al-qyran hanayaa amakananya
saja adalah ia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab. Dengan
bahasa persi misalnya.
1.
Pandangan imam malik
Menurut imam
malik, hakikat al-quran adalah kalam alllah yang lafazh dan maknyan dari allah
SWT. Ia bukan makhluk karena kalam alllah termasuk sifat allah. Sesuatu yang
termasuk sifat allah tidak di katakam makhluk, bahkan dia memberikan predikat
kafir zindiqh terhadap orang yang menyatakan al-quran itu makhluk.
2.
Pandangan imam
asy-syafii
Imam as-syafii
sebagai mana para ulama lainnya. Menetapkan bahwa al-quran merupakan sumber
hukum islam yang paling pokok, bahakan beliau berpendapat “ tidak ada yang di
turunkan kepada penganut agam manapun kecuali petunjuknya terdapat dalam
al-quran (Asy-Syafii, 1309:20) oleh karena itu imam asy-syafii senantiasa
mencantumkan pendapatnya sesuai metode yang di gunakannya, yakni deduktif.
3.
pandangan imam ahmad
ibnu hambal
Al-Quran merupakan
sumber dan tiangnya syariat islam. Yang didalamnya terdapat berbagai kaidah
yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-Quran juga
mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, di
samping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama islam.
Ahmad ibnu hambal berpendapat bahwa
al-quran itu sebgai sumber pokok islam, kemudian disusul oleh as-sunnah namaun
seperti halnya imam as-syafii imam ahmad memendang bahwa as-sunnah mempunyai
kedudukan yang kuat di samping al-quran sehingga tidak jarang beliau
menyebutkanbahwa sumber hukum itu adalah nash, tanpa menyebutkan al-quran
terlebih dahulu atau as-sunnah dahulu tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah
al-quran dan as-sunnah.
4.
petunjuk (dilalah )
Al-Quran
Kaum muslimin
sepakat bahwa al-quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepkat bahwa
semua ayat al-quran dari segi warud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya
adalah qathh’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita secra
mutawattir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada
mushafnya yang tidak ada pada qira’ah mutawattir. Hal itu hanyan merupakan
penjelas dan penafsiran terhadap Al-Quran yang di dengar dari nabi SAW.[5]
C.
Metodologi Formasi
Hukum Islam
Hukum
dalam pengertian ulama fiqh ialah “Apa yang dikehendaki oleh syari’الشارع (pembuat hukum).”
Dalam hal ini, syari’ adalah Allah.
Kehendak syari’ itu dapat ditemukan
dalam Al-Qur’an dan penjeasannya dalam sunnah. Pemahaman akan kehendak syari’ itu tergantung sepenuhnya kepada
pemahaman ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an dan hadist-hadist hukum dalam Sunnah.
Usaha pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut
dikalangan ulama disebut istibath (الاستنباط). Jadi istibath adalah usaha dan cara
mengeluarkan hukum dari sumbernya.
Adapun
metode dan cara memahami, menetapkan, dan mengeluarkan hukum dari segi
sumbernya terdiri dari dua cara:
1. Memahami
hukum dari nash atau teks syara’ (Al-Qur’an atau hadis) secara
langsung (tertulis atau terbaca) atau tidak secara langsung (tersirat dibalik
apa yang tertulis atau terbaca). Pemahaman nash
secara tekstual ini disebut menggunakan kaidah kebahasaan (القواعداللغوية) atau mengetahui
arti teks. Inilah cara atau metode yang digunakan ulama ushul fiqh dari awal.
2. Memahami
hukum tidak dari nashsyara’, baik
tertulis secara langsung ataupun tidak, tetapi dari jiwa nashsyara’ itu yang mana jiwa nash
itu dapat diketahui dari maksud Allah dalam menetapkan hukum yang terkandung
dalam teks hukum tersebut. Metode atau caa memahami dan menetapkan hukum
menurut cara ini disebut mengikuti kaidah makna nash (اعدالمعنويةالق). Cara ini banyak
digunakan ulama ushul fiqh kontemporer.
Ø Pemahaman
Teks Al-Qur’an dan Sunnah
Teks
Al-Qur’an adalah berbahasa Arap, karena Nabi yang menerima dan menjelaskan Al-Qur’an
itu menggunakan bahasa Aarap. Oleh sebab itu, setiap usaha memahami dan
menggali hukum dari teks kedua sumber hukum (Al-Qur’an dan hadis) tersebut
sagat tergantung kepada kemampuan memahami bahasa Arap. Untuk maksud itu para
ahli Ushul menetpkan bahwa pemahaman
teks dan penggalian hukum harus berdasarkan kaidah tersebut. Dalam hal ini
mereka berpegang pada dua hal:
1. Pada
petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arap dari teks tersebut dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an dan sunah.
2. Pada
petunjuk Nabi dalam memahami hukum-hukum Qur’ani itu. Dalam hal ini lafaz
‘Arabi dipahami dalam ruang lingkup hukum syara’.[6]
D.
Al-Qur’an sebagai metodologi sumber islam
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’.
Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan)
dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i.hal ini
karenasemua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. kalaupun
ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-Nya,yang
tidak ada qira’ah mutawatir, haln itu merupakan penjelaan dan penafsiran
terhadap Al-Quran yang didengarkan oleh Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka
dengan jalan membawa nash mutlaq pada
muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri.
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Quran
dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Nash yang qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya,
tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak
tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan di
sini, adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba,
pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan
sebagainya. Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut , maknanya jelas dan
tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu dan dalam memahaminya tidak
memerlukan ijtihad. Abdul Wahab Khalaf, 1972 : 35)
2.
Nash
yang zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yang
menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil atau nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik
karena lafazhnya musytarak (homonim) ataupun karena susunan
kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah
isyarat-nya, iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama,
selain berbeda pendapat tentang nash Al-Quran mengenai penetapan yang qath’i
dan zhanni dilalah, juga berbeda mengenai jumlah ayat yang termasuk qath’i
atau zhanni dilalah
Premis-premis yang dimaksud asy-syatibi adalah:
a. Proses
penggunaan bahasa dan berbagai persoalan ilmu nahwu.
b. Keterbatasan
dari isytirak.
c. Keterbatasan
dari majaz
d. Proses
penggunaan secara syara’ atau tradisi.
e. Persoalan
penggunaan dhamir.
f. Adanya
takhsisterhadap lafazh ‘amm
g. Adanya
taqyid terhadap lafaz muthlaq
h. Keterbatasan
dari nasikh.
i.
Kejelasan taqdim dan
takhir
j.
Ketiadaan pertentangan
dengan pemikiran logis.
E.
Keunggulan-keunggulan Al-Qur’an dan ciri khas al-quran
Ø
Keunggulan-keunggulan Al-Qur’an :
1.
Lafad dan maknanya dari Allah SWT. Rosulullah SAW. Hanya
menyampaikan dan membacakan saja. Karenanya, terjemah dan tafsir Al-Qur’an
meskipun menggunakan kata yang sinonim dengan lafad Al-Qur’an bukan Al-Qur’an,
sehingga ia tidak dapat dijadikn hujjah. Akan tetapi apabila terjemah dan tafsir
Al-Qur’an tersebut dilakukan oleh ahlinya, ia dapat dijadikan sebagai penjelas
maksud Al-Qur’an.
2.
Al-Qur’an dinukil
secara tawatir, yakni diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin sepakat
berdusta, mulai dari grenerasi pertama sampai kegenerasi kita. Karena itu yang
tidak mutawattir seperti Qiro’ah syadzdah tidak termasuk
Al-Qur’an.[7]
Ø Ciri
khas al-quran, antara lain sebagai :
1.
Al-quran merupakan
kalam alllah yang di turunkan kepada muhammad SAW. Dengan demikian, apabila
bukan kalam allah dan tidak di turunkan kepada muhammad SAW tidak dinamakn
Al-Quran.seperti zabur,taurat dan injil.
2.
Bahasa al-quran adalah
bahasaa quraisy. Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat Al-Quran antara lain: asy-syuara (26) 192-195;Yusuf(12) :2;
Az-zumar (39) :28; An-Nahl (16) :103; dan ibrahim (14) :4. Maka para ulama
sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan al-quran tidak dinamakan al-quran serta
tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak sah shalat dengan hanya membaca
tafsir atau terjemahan al-quran. Sekalipun ulama hanafiyyah membolehkan sholat
dengan bahasa persi tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsah (keringanan
hukum)
3.
Al-quran itu dinukilkan
kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir. Tanpa perubahan dan
penggantian satu kata pun (Al-Bukhari :24)
4.
Membaca setiap kata
dalam al-quran itu mendapatkan pahala dari allah, baik bacaan itu berasal dari
hafalan sendiri maupun dibaca langsung mushaf Al-Quran.
Al-quran dimulai dari surah
alfatihah dan diakhiri dengan surah an-nas, tat urutan surat yang terdapat
dalam Al-quran disusun sesuai dengan petunjuk allah melalui malaikat jibril
kepada nabi Muhammad SAW.
F.
KEDUDUKAN QIRA’AH
Semua
ulama sepakat menyatakan, qira’ah mutawatirah adalah Al-qur’an dan merupakan
hujjah. Sebaliknya, jumhur ulama sepakat, qira’ah syadzadzah tidak dapat
dipandang sebagai Al-qur’an. Sementara itu, tetrjadi perbedaan pendapat tentang
kedudukan qira’ah masyhurah. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah memandangnya
sebagai hujjah, sementara ulama lainnya tidak berpendapat seperti itu.
Perbedaan pendapat ini, antara lain, terlihat dalam kasus-kasus sebagai
berikut:
1. Dalam
kasus kafarat sumpah, jumhur ulama tidak menetapkan persyaratan berturut-turut
dalam berpuasa selama tiga hari. Jumhur ulama berpegang pada teks ayat
sebagaimana yang terdapat dalam Mushaf Usmani:
فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ ثَلَثَةِ أَيَّامٍ
“maka barang siapa yang tidak mampu, maka berpuasa tiga hari”
Sedangkan ulama Hanafiyah
mensyaratkan puasa tiga hari itu mesti berturut-turut. Mereka mendasarkan
pendapat mereka pada qira’ah Ibnu Mas’ud yang berbunyi:
فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتِ
“maka barang siapa yang tidak mampu maka berpuasa tiga haari
berturut-turut”
Sebagaimana terlihat di atas, pada qiro’ah
ibnu mas’ud terdapat kata-kata mutatabi’an. Sementara jumhur ulama tidak
mengakui adanya kata-kata tersebut, karena mereka menolak qira’ah Ibnu
Mas’ud.
2. Jumhur
ulama berpendapat, pencuri yang mengurangi perbuatan mencurinya, setelah pernah
dijatuhi hukuman potong tangan pada tangan kanannya, maka tangan kirinya
dipotong. Jumhur ulama berpegang pada teks yang terdapat pada mushaf Usmani
yang berbunyi:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِ يَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ
اللَّهِ .وَاللَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ .
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka
potonglah tangan kanan keduanya (sebagai) pembalasan bagi yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.”
Sedangkan ulama Hanafiyah
berpendapat, pencuri yang pernah dijatuhi hukuman potong tangan kanan, tidak
dijatuhi hukuman potong tangan kiri, jika ia mengulangi perbuatan mencuri. Hal
ini didasarkan kepada qira’ah Ibnu Mas’ud yang tidak diakui oleh jumhur.
وَالسَّارِقٌ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْمَانَهُمَا
“dan laki-laki dan
perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan kanan keduanya.”
Berkaitan dengan qira’ah
masyhurah dan syadzdzah, perlu ditegaskan dua hal. Pertama, para
ulama’ sepakat semua ayat Al qur’an yang terdapat didalam mushaf ustmani yang
ada pada kita sekarang ini bersifat qath’I ast-tsubut. Artinya,
keberadaannya bersifat pasti berasal dari wahyu yang disampaikan kepada
Rasulullah SAW, tanpa ada tambahan atau pengurangan sedikitpun, sebagaimana
yang disampaikan Rasulullah SAW kepada para sahabat beliau. Hal itu dibuktikan
melalui periwayatannya yang semuanya bersifat mutawatir.
G.
HUKUM
YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN
Hukum-hukum
yang terdapat dalam Al-qur’an secara garis besar dapat dikelompokkan kepada
tiga macam yaitu:
1. Hukum
I’tiqadiyyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keyakinan atau
akidah seperti masalah keimanan kepada Allah, masalah kenabian, kitab suci,
malaikat, hari kemudian dan takdir serta hal-hal yang berhubungan dengan
doktrin akidah. Hukum-hukum ini menjadi lapangan kajian ilmu tauhid atau
ushuluddin.
2. Hukum
Khuluqiyyah, yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia,
mengenai berbagai sifat utama yang harus menjadi perhiasan diri seseorang dan
menjauhkan diri dari berbagai sifat yang membawa kepada kehinaan. Hukum-hukum
yang terkait dalam hal-hal ini merupakan ruang lingkup kajian ilmu akhlak.
3.
Hukum amaliyyah, yaitu
ketentuan hukum tentang tingkah laku manusia dalam hubungan dengan Allah dan
dalam hubungannya dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini dikaji dan
dikembangkan dalam disiplin ilmu syariah. Dari hukum-hukum amaliyyah ini
berkembangnya ilmu fiqh. Hukum-hukum amaliyyah yang terdapat dalam Al-qur’an
dapat dibagi kepada dua macam, yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya disebut dengan hukum ibadah yang meliputi shalat, puasa, zakat, haji
nazdr, sumpah, kurban dan sebagainya. Yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya disebut dengan hukum mu’amalah yang meliputi hukum keluarga (al-ahwalus syakhshiyyah), hukum perdata (al-ahkamul madaniyyah), hukum pidana (al-ahkamul jinaiyyah), hukum acara (ahkamul murafa’ah), hukum konstitusional
(al-ahkamul dusturiyyah), hukum
internasional (al-ahkamud duwaliyyah),
dan hukum ekonomi dan keuangan (al-ahkamul
iqtshadiyyah wal maliyyah).
H.
DALALAH
AL-QUR’AN TENTANG HUKUM-HUKUM
Semua umat islam
mengakui bahwa Al-qur’an diturunkan secara mutawatir, sehingga dari sisi ini
Al-qur’an disebut qath’I al-tsubut. Namun,
dari sisi dalalah Al-qu’an tentang hokum tidak semuanya bersifat qath’i, tetapi
ada yang bersifat zanni.
Cukup banyak
ayat-ayat qath’i dalam al qur an. Pengertian qath’i pula yang banyak diuraikan
dalam kitab-kitab ushul fiqh, seperti yang dijelaskan wahbah al-zuhaili
berikut:
فالنص القطعى الدلالة هو اللفظ الورد فى القران الذى
يتعين فهمه ولا يحتمل الامعنى واحدا
Nash qath’i dalalah ialah lafad yang terdapat di dalam
Al-qur’an Yang dapat dipahami dengan jelas dan mengandung makna tunggal
Definisi qath’i ini menggambarkan suatu ayat disebut qath’i manakala
dari lafad ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tunggal sehingga tidak
mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafad itu. Dalam
hal ini, takwil tidak berlaku.
Di antara ayat-ayat al-qur’an yang termasuk dalam kategori qath’i adalah
ialah ayat ayat tentang ushul fiqh al-syariah yang merupakan ajaran-ajaran
pokok agama islam,seperti sholat,zakat,haji,perintah meneggak kan yang ma’rufan
mencegah yang mungkar, meegak kan keadilan dan kewajiban mensucikan diri dari
hadas. Disamping itu, termasuk kelompok
qath’i adalah ayat yang berbicara tentang akidah, akhlak dan ssebagian masalah
muamalat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-qur’an adalah firman Allah SWT
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, berbahasa arab, diriwayatkan
kepada kita secara mutawatir, termaktub di dalam mushaf, membacannya merupakan
ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Al-quran merupakan sumber pertama dan utama dalam islam. Hukum
dalam pengertian ulama fiqh ialah “Apa yang dikehendaki oleh syari’الشارع (pembuat hukum).”
Dalam hal ini, syari’ adalah Allah.
Kehendak syari’ itu dapat ditemukan
dalam Al-Qur’an dan penjeasannya dalam sunnah. Pemahaman akan kehendak syari’ itu tergantung sepenuhnya kepada
pemahaman ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an dan hadist-hadist hukum dalam Sunnah.
Usaha pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut
dikalangan ulama disebut istibath (الاستنباط). Jadi istibath adalah usaha dan cara
mengeluarkan hukum dari sumbernya.
B.
Saran
Mohon maaf sebesar besarnya apabila terdapat kata-kata yang salah
atau pengetikan yaag salah karena dari tim penyusun sendiri menyadari banyak
kekurangan akan makalah ini. Dan mohon saran dan kritikan yang bersifat
membangun untuk kami terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004).
Dahlan Abd Rahman. Ushul Fiqh. ( jakarta: Amzah. 2010).
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia,
1998).
Syarifudin Amir, Ushul figh
jilid 2 (Jakarta: logos, 1976).
Rusydi Kholil, Usul Fiqh, (Pamekasan: Bata-bata pers,
2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar