Selasa, 05 Juni 2018

IJTIHAD


IJTIHAD

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI

Oleh :
SALMA NIAWATI                                       (NIM 20170703022189)
SIFAUR RODIYAH                                                 (NIM 20170703022194)
SITTI  MUTMAINNAH                                (NIM 20170703022202)
SULFATUL ISNIATI                                   (NIM 20170703022208)
WINA QONITA JAMIL                               (NIM 20170703022223)
ARINAL LAILATUL MAGHFIROH         (NIM 20170703022223)
HALIMATUL ZAHROH                              (NIM 182014020200780)



PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGAERI
2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., keluarga, sahabat, dan seluruh kaum muslimin dan muslimat yang setia istiqomah mengikuti petunjuknya.
Berkat rahmat dan pertolongan Allah SWT., penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ushul Fiqh”.
Penyusun menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Besar harapan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Pamekasan, 16 April 2018

Penyusun



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A.      Latar Belakang............................................................................. 1
B.       Rumusan Masalah........................................................................ 1
C.       Tujuan Penulisan.......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
A.      Pengertian ijtihad......................................................................... 3
B.       Syarat-Syarat Mujtahid................................................................ 3
C.       Tingkatan Mujtahid...................................................................... 7
D.       Lapangan Ijtihad.......................................................................... 9
E.        Metode Ijtihad............................................................................ 11
F.        Hukum Berijtihad....................................................................... 19
BAB III PENUTUP...................................................................................... 21
A.      Kesimpulan................................................................................. 21
B.       Saran........................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 23












BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari belenggu kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan yang harus dilakukan secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap actual dan dapat dipertahankan dalam kehidupan praktis.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian ijtihad, syarat-syarat mujtahid, tingkatan-tingkatan mujtahid, lapangan ijtihad, metode ijtihad dan hukum mujtahid.

B.       Rumusan Masalah
1.        Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
2.        Apa saja syarat-syarat menjadi seorang mujtahid?
3.        Apa saja tingkatan-tingkatan mujtahid?

4.        Apa yang dimaksud dengan lapangan ijtihad?
5.        Apa saja metode ijtihad?
6.        Apa hukum berijtihad?

C.      Tujuan Penulisan
1.        Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2.        Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid.
3.        Untuk mengetahui tingkatan-tingkatan mujtahid.
4.        Untuk mengetahui lapangan ijtihad.
5.        Untuk mengetahui metode ijtihad.
6.        Untuk mengetahui hukum berijtihad.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, “ijtihad” berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “ijtihad” dipakai mengikuti wazan Ifti’al yang berarti bersangatan dalam pekerjaan. Oleh sebab itu, kata “ijtihad” berarti mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbutaan. Dengan demikian kata “jihad” dan “ijtihad” berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata “ijtihad” bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata “jihad” bergerak dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.[1]
Menurut istilah agama, ijtihad adalah mencurahkan kesanggupan yang ada dalam membahas (menyelidiki) suatu masalah untuk mendapatkan suatu hukum yang sulit bertitik tolak kepada Kitab dan Sunnah.[2]

B.       Syarat-Syarat Mujtahid
Orang-orang yang melakukan ijtihad dinamakan Mujtahid. Dan seorang mujtahid harus memiliki beberapa persyaratan, baik yang bersifat umum, utama maupun pendukung, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1.        Persyaratan umum
Seorang mujtahid pertama-tama harus memiliki persyaratan umum, yaitu sebagai berikut:
a.         Baligh
Persyaratan baligh bersifat mutlak, sebab untuk menjadi seorang mujtahid diperlukan kematangan dalam berpikir, sedangkan anak-anak belum memiliki kematangan berpikir. Itulah sebabnya anak-anak itu tidak dibebani tanggung jawab hukum (tidak mukallaf).
b.         Berakal

c.         Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan abstrak. Sebab, kegiatan ijtihad tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan nalar yang tinggi.
d.        Memiliki keimanan yang baik, dalam arti, keimanannya tidak berdasarkan taqlid, sebagaimana keimanan orang yang awam. Sebab, orang yang tidak memiliki persyataran ini, tidak memiliki kedalaman spiritual dan integritas moral. Akan tetapi, persyaratan yang keempat ini banyak diperdebatkan ulama, terutama jika yang dimaksudkan dengan keimanan yang baik adalah menguasai ilmu kalam secara mendalam.
2.        Persyaratan utama
a.         Mengerti bahasa Arab
Syarat ini disepakati oleh ulama, karena kedua dasar hukum yakni Al-Qur’an dan Hadits adalah berbahasa Arab. Al-Ghazali mewajibkan mengertahui perkataan/ kalam yang sarfih dan zahir, mujmal, hakikat, majaz, ‘am, khas, muhkamah, mutsyabihat, muthlaq, muqayyad mafhum dan lain-lain.
b.         Memahami tentang Al-Qur’an dan Nasikh Mansukh
Yang mensyaratkan demikian termasuk Imam Syafi’i, mengingatkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tidak semuanya jelas dan terperinci. Lagi pula untuk membedakan ayat hukum dengan yang bukan, tentu harus mengetahui secara keseluruhan, demikian kata Imam Asnawi. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’I mensyaratkan harus hafal seluruh ayat Al-Qur’an, sedang sebagian ulama tidak mensyaratkan yang demikian.[3]
c.         Mengerti tentang Sunah
Syarat ini di sepakati oleh ulama dan harus mengetahui pula jalan riwayat dan kekuatan perawinya. Tetapi karena sekarang sudah banyak kitab mengelompokkan hadits yang sah dan yang tidak, maka mujtahid cukup mengetahui riwayat dan keadaannya secara global. Demikian Abu Zuhra.
Para ulama sepakat tentang syarat ini, tetapi tidak mesti harus menghafal semua masalah yang sudah di-ijma’-kan. Yang penting adalah mengetahui masalah-masalah yang di-ijma’-kan dan yang di-ikhtilaf-kan. Walaupun demikian Imam Syafi’I mewajibkan untuk mengetahui pendapat-pendapat mujtahid yang menyalahinya.
Menurut Imam Syafi’i, syarat ini sangat penting karena qiyas sangat identik dengan ijtihad, bahkan ijtihad sering disebut qiyas. Karena mujtahid harus mengetahui kaidah qiyas dan berhubungan dengannya.
Seorang mujtahid harus mengerti tentang maksud dan tujuan syariat, yang mana harus bersendikan pada kemaslahatan umat. Syarat demikian ini sangat di dukung oleh Asyatiby.
Syarat ini bertujuan untuk lebih mengarahkan dalam membedakan pendapat yang kuat dan yang lemah. Dalam hal ini Imam Asnawi menambahkan bahwa mujtahid harus pula menguasai ilmu mantiq agar terhindar dari kesalahan dalam mengemukakan cara-cara atau metode berpikir.
3.        Persyaratan pendukung
Selain beberapa persyaratan utama di atas, seorang dipandang memiliki keahlian sebagai mujtahid jika telah melengkapi dirinya dengan beberapa persyaratan pendukung sebagai berikut:
a.         Mengetahui ada atau tidak ada dalil al-qath’i yang mengatur hukum masalah yang sedang dibahas.
Dengan kata lain, seorang mujtahid haruslah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang didasarkan atas an-nashsh al-qath’i atau ijma’ (ma’rifat mawadhi’ al-ijma’), khususnya yang berkaitan dengan masalah yang menjadi objek ijtihad.
b.         Mengetahui persoalan-persoalan hukum yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama (ma’rifah mawardhi’ al-khilaf).
Sejalan dengan persyaratan pendukung yang pertama di atas, maka dengan mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama, seorang akan terhindar dari kegiatan ijtihad yang bersifat tahshil al-hashil (mengulangi penemuan yang telah di temukan hukumnya).
c.         Memiliki sifat taqwa dan keshalihan (shalah al-mujtahid wataqwah)
Persyaratan ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan kegiatan ijtihad, tetapi justru terhadap hasil ijtihad itu sendiri. Dalam hal ini, hasil ijtihad yang di-fatwa-kan akan dengan mudah diterima masyarakat, jika si mujtahid memiliki sifat shaleh dan taqwa yang tinggi. [5]
Beberapa syarat bagi mujahid yang diperselisihkan ulama di antaranya seperti syarat tentang:
a.         Pengetahuan tentang ilmu furu' atau fiqh.
Al-Ghazali rnencantumkan syarat ini untuk orang yang akan berijtihad di masa kini, meskipun tidak diperlukan pada masa sahabat. Menurut Salam Madzkur, di antara ulama yang tidak mempersyaratkan penguasaan ilmu fiqh adalah Abu Ishak al-Asfarini dan Abu Manshur. Pendapat ini memang masuk akal karena ilmu fiqh merupakan hasil karya ijtihad.[6]
b.         Pengetahuan tentang ilmu manthiq, untuk dapat menghasilkan kesahihan pemahaman dan kebaikan perhitungan. Namun sebagian ulama tidak mensyaratkannya dengan alasan bahwa kalangan sahabat, tabi'in dan imam-imam mujahid dapat melakukan ijtihad padahal pada waktu itu ilmu manthiq itu belum populer.[7]
c.         Pengetahuan tentang ilmu ushul al-Din juga ada yang menganggapnya sebagai salah satu syarat dalam ijtihad. Ulama Mu'tazilah cenderung kepada pendapat ini. Namun ulama jumhur tidak mensyaratkannya. Al-Amidi dalam haI ini mengatakan bahwa disyaratkannya ilmu ushul al-Din adalah untuk yang bersifat dharuriyat seperti tentang adanya Allah SWT. dengan segala sifat-Nya, tetapi tidak diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang ilmu tersebut.[8]

C.      Tingkatan Mujtahid
Mujtahid dibagi menjadi dua tingkatan, antara lain sebagai berikut:
1.        Mujtahid Muthlaq
Sebelum menjelaskan tentang mujtahid muthlaq, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu ijtihad muthlaq. Ijtihad Muthlaq ialah, kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri dalam berijtihad menemukan ‘illah-‘illah hukum dan ketentuan hukumnya dari nash Al-Qur’an dan Sunah, dengan menggunakan rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara’, baik rumusan-rumusan tersebut merupakan hasil karyanya sendiri ataupun karena mengikuti (ittaba’) metode mujtahid lain, serta setelah terlebih dahulu mendalami persoalan-persoalan hukum, dengan bantuan disiplin ilmu-ilmu lain. Dengan kata lain. Ijtihad muthlaq ialah, kemampuan untuk menggali hukum-hukum yang bersifat parsial (furu’) dari dali-dalilnya, dan kemampuan untuk menggunakan perangkat ushul fiqh yang dijadikan landasan ijtihadnya. Orang yang mempunyai kemampuan tersebut disebut mujtahid muthlaq. Mujtahid muthlaq dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a.         Mujtahid Muthlaq Mustaqil, yaitu mujtahid yang secara mandiri merumuskan dan menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh madzhabnya, tanpa bertaqlid dan mengikuti (duna taqlid wa la ittiba’) kepada mujtahid lainnya. Di samping itu, ia berijtihad menemukan hukum syara’ dengan cara menerapkan sendiri ushul fiqh yang dirumuskannya. Yang termasuk dalam kelompok mujtahid muthlaq mustaqil ini antara lain, imam madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’I dan Ahmad bin hambal), Imam al-Laits bin Sa’ad, al-Awza’I dan Sufyan ats-Tsauri.
b.         Mujtahid Muthlaq Muntasib, ialah mujtahid yang melakukan ijtihad secara mandiri dalam menemukan hukum-hukum syara’ yang bersifat parsial, tanpa taqlid dan mengikuti mujtahid lainnya tetapi tidak merumuskan sendiri metode istinbath hukumnya, melainkan mengikuti istinbath hukum yang telah dirumuskan mujtahid kelompok pertama mujtahid muthlaq mustaqil. Yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain: dari madzhab Hanafi: Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan  asy-Syaibani dan Zufar. Dari mahzab Maliki: Abdurrahman bin al-Qasim dan Abdullah bin Abdul Wahhab. Dari madzhab asy-Syafi’i: al-Buwaithi, az-Za’farani, dan al-Muzani.
2.        Mujtahid fi al-Madzhab
Sebelum menjelaskan tentang mujtahid fi al-Madzhab, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu ijtihad fi al-Madzhab Adapun yang dimaksud dengan ijtihad fi al-Madzhab ialah, suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang ulama’ mengenai hukum syara’, dengan menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh mujtahid muthlaq mustaqil (imam madzhab). Secara lebih sempit ijtihad fi al-Madzhab dikelompokkan kepada tiga tingkatan.
a.         Mujtahid at-Takhrij
Pada tingkatan ini, mujahid terbatas hanya pada masalah-masalah yang di-fatwa-kan imam madzhabnya, ataupun yang belum pernah di-fatwa-kan murid-murid imam madzhabnya. Ulama’ yang termasuk dalam tingkatan ini, antara lain, dari kalangan madzhab Hanafi: al-Hasan bin Ziyad, al-Karakhi dan ath- Thahawi. Dari kalangan madzhab Maliki: al-Abhari dan Ibnu Abi Zaid. Sedangkan dari kalangan madzhab asy-Syafi’i: Abu ishaq asy- Syairazi dan al-Maruzi.
b.         Mujtahid at-Tarjih
Mujahid yang melakukan pemilahan pendapat yang dipandang lebih kuat diantara pendapat-pendapat imam madzhabnya, atau antara pendapat imam madzhabnya dan pendapat imam madzhab lainnya.
c.         Mujtahid al-Futya
Mujahid yang menguasai dalam bentuk seluk beluk pendapat-pendapat hukum imam madzhab dan ulama’ madzhab yang dianutnya, dan mem-fatwa-kan pendapat-pendapat tersebut kepada masyarakat.[9]

Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.[10]
Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam Al-Qur’an dan Hadits itu dapat dilihat dari dua segi:
1.        Al-Qur’an dan Hadits secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya.
2.        Secara jelas, langsung dan menyeluruh memang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadits, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya.[11]
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa ijtihad itu berlaku dalam masalah-masalah yang belum ada nash-nya, juga berlaku dalam masalah-masalah yang telah ada nash-nya namun belum pasti untuk masalah itu.[12]
Ketidakpastian tersebut dapat dilihat dari segi keberadaannya sebagai dalil (wurud-nya). Ketidakpastian tersebut, dapat pula dilihat dari segi penunjukannya terhadap hukum, yang disebut dilalah-nya. Ketidakpastian dilalah itu berarti mengandung kemungkinan arti yang lain dari itu. Dengan demikian, ketidakpastian itu dapat dirinci menjadi tiga jenis, yaitu:[13]
1.        Tidak pasti keberadaannya sebagai nash, namun pasti penunjukkannya terhadap hukum. Umpamanya Hadits Nabi dari Syurhabil menurut kelompok perawi Hadits selain Muslim tentang ucapan Ibnu Mas’ud dalam hal kewarisan, “Saya menetapkan atas dasar apa yang ditetapkan oleh Nabi, yaitu untuk seseorang anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam untuk melengkapi dua pertiga dan selebihnya untuk saudara perempuan.”[14]
2.        Tidak pasti penunjukkan terhadap hukum (zhanni al-dilalah) tetapi pasti keberadaan sebagai dalil nash (qath’i al-wurud). Umpamanya Firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah (2):228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفًسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
“Istri-istri yang tertalak hendaklah ber’iddah selama tiga kali quru’”.[15]
3.        Tidak pasti keberadaannya sebagai dalil atau nash dan tidak pasti pula penunjukannya terhadap hukum (zhanni al-wurud wa al-dilalah). Umpamanya Hadits Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan empat perawi hadits selain al-Nasa’i, bahwa Nabi bersabda:
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal”.[16]
Telah dijelaskan bahwa masalah-masalah yang tidak ada sama sekali dalilnya merupakan lapangan bagi ijtihad. Demikian pula dengan masalah-masalah yang meskipun sudah ada nash yang menetapkannya, namun tidak meyakinkan karena mengandung ketidakpastian, baik dari segi keberadaannya (wurud)-nya atau dari segi penunjukannya terahadap hukum (dilalah) yang terkandung di dalamnya. Ijtihad dalam hal ini dapat menghasilkan hukum yang berbeda dengan hukum yang pernah ditetapkan oleh mujahid lainnya.[17]
Bila suatu masalah telah ada dalilnya, baik dalam bentuk nash maupun dalam bentuk ijma’ tentang keberadaannya sebagai dalil adalah pasti (qath’i al-wurud) seperti dalil Al-Qur’an, hadits mutawatir dan ijma’ sahabat yang dinukilkan secara mutawatir, begitu pula pasti penunjukannya terhadap hukum (qath’i al-dilalah), maka hukumnya pun sudah pasti. Dalam hal ini tidak berlaku lagi ijtihad; artinya, masalah ini bukan menjadi lapangan ijtihad.[18]
Setiap hukum yang telah ditetapkan melalui dalil yang qath’i dari segi wurud dan dilalah-nya bukan merupakan lapangan ijtihad yang akan menghasilkan hukum yang berbeda dari ketentuan nash yang sudah pasti tersebut. Dalam hal ini para fuqaha menetapkan sebuah kaidah:
لاَمَسَاغٌ لِلْاِجْتِهَادِ فِي مَوْضِعِ النَّصِ الصَّرِيْحِ
“Tidak ada lapangan untuk berijtihad dalam hal yang sudah ditetapkan dengan nash yang jelas.”[19]

E.       Metode Ijtihad
Metode ijtihad yang dimaksud dalam bahasan ini adalah thariqah (طريقة), yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan, dan merumuskan hukum syara'.[20]
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad itu pada dasarnya adalah usaha untuk memahami, menemukan, dan merumuskan hukum syara'. Bagi hukum yang jelas terdapat dalam nash, usaha yang dilakukan oleh mujtahid adalah memahami nash yang berisi hukum itu dan merumuskannya dalam bentuk rumusan hukum yang mudah dilaksanakan secara operasional. Bagi hukum yang tidak tersurat secara jelas dalam nash, kerja ijtihad adalah mencari apa yang terdapat di balik nash tersebut, kemudian merumuskannya dalam bentuk hukum. Bagi hukum yang sama sekali tidak ditemukan petunjuknya dalam nash, tetapi rnujahid menyadari bahwa hukum Allah SWT. pasti ada, maka kerja ijtihad adalah menggali sampai menemukan hukum Allah SWT., kemudian merumuskannya dalam rumusan hukum yang operasional. Diantara ulama ada yang menganggap bentuk terakhir inilah yang disebut ijtihad dalam arti sebenarnya; Sedangkan ulama lain menganggap semua kegiatan untuk menemukan hukum Allah SWT. tersebut dapat disebut ijtihad.[21]
Dalam pengertian ijtihad di atas, ushul fiqh membahas tentang langkah yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid. Hadits yang sangat populer tentang dialog Nabi dengan Mu'adz ibn Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman untuk menjadi wali, merupakan dasar dari langkah ijtihad. Langkah Mu'adz ibn Jabal dalam menghadapi suatu masalah hukum adalah: pertama, mencari jawabannya dalam Al-Qur'an; kedua, jika tidak menemukan dalam Al-Qur'an, ia mencarinya dalam Sunah Nabi; ketiga, bila dalam sunah juga tidak ditemukan, maka ia menggunakan akal (ra'yu).[22]
Kronologis langkah yang dilakukan oleh Mu'adz ibn Jabal itu diikuti pula oleh ulama yang datang sesudahnya, termasuk imam madzhab terkemuka yang populer. Namun mereka berbeda dalam cara memahami Al-Qur'an; berbeda dalam penerimaan hadits-hadits tertentu serta pemahaman maksudnya; begitu pula mereka berbeda mengenai kadar penggunaan akal dalam menetapkan hukum. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan dalam menetapkan fiqh yang mereka rumuskan dan pada akhirnya menghasilkan beberapa madzhab fiqh yang satu sama lainnya memiliki perbedaan, tetapi semuanya diakui keberadaannya dalam Islam.[23]
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam istinbath hukum.
1.        Langkah pertama yang harus dilakukan mujtahid adalah merujuk pada Al-Qur'an. Bila menemukan dalil atau petunjuk yang umum dan lahir, maka si mujtahid harus mencari penjelasannya, baik dalam bentuk lafadz khas yang akan men-takhsis-kan; lafadz muqayyad yang menjelaskan kemutlakkannya; qarinah (petunjuk) yang akan menjelaskan maksudnya. Selanjutnya, dalam meneliti ayat Al-Qur'an yang mengandung hukum tersebut perlu dipilah-pilah antara lafadz-nya yang Zhahir, nash, mufassar, dan muhkam. Perlu dipilah pula antara penunjukannya secara haqiqat dan majaz; antara yang sharih dan kinayah, Kemudian diteliti penunjukan secara 'ibarah, isyarah', iqtidhah, dan dilalah. Diperiksa pula manthuq-nya dan dicari mafhum yang terdapat di balik manthuq-nya itu.[24] Hukum dalam Al-Qur'an itu dianalisis dari segala seginya. Bila mujtahid tidak menemukan jawaban hukumnya dari apa yang tersurat secara jelas dalam teks atau manthuq Al-Qur'an, ia mencarinya dari pengertian yang terkandung (tersirat) di balik teks Al-Qur'an. Dari pengkajian dan penelitian terhadap Al-Qur'an secara menyeluruh, mujtahid akan menemukan hukum Allah SWT. yang terkandung dalam Al-Qur'an.[25]
2.        Kalau tidak menemukan hukumnya dalam Al-Qur'an, mujtahid melangkah ke tahap berikutnya, yaitu merujuk kepada Sunah Nabi.
Mula-mula mujtahid mencarinya dari Sunah yang mutawatir, kemudian dari sunah yang tingkat kesahihannya berada di bawah mutawatir. Bila tidak menemukan dari yang tersurat dalam lafadz hadits, mujtahid mencarinya dari apa yang tersirat di balik lafadz itu.[26]
3.        Langkah selanjutnya, mujtahid mencari jawabannya dari kesepakatan ulama sahabat. Bila dari sini ia menemukan hukum, maka ia menetapkan hukum menurut apa yang telah disepakati ulama sahabat tersebut. Kesepakatan ulama tersebut dinamai ijma'.[27]
4.        Bila tidak ada kesepakatan ulama sahabat tentang hukum yang dicarinya, maka mujtahid menggunakan segenap kemampuan daya dan ilmunya untuk menggali dan menemukan hukum Allah SWT. yang ia yakini pasti ada, kemudian merumuskannya dalam formulasi hukum yang kemudian disebut fiqh.[28]
Meskipun ulama sepakat untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai rujukan utama, namun dalam cara memahami Al-Qur'an untuk menemukan hukum dari Al-Qur'an, mereka berbeda pendapat. Demikian juga, meskipun secara prinsip mereka sepakat menggunakan Sunah Nabi sebagai rujukan kedua, namun dalam menetapkan dan menilai suatu hadits untuk dijadikan rujukan, mereka berbeda pendapat karena berbeda dalam melihat kesahihan hadits. Selanjutnya, meskipun mereka sepakat menerima kebenaran sebuah hadits, tetapi dalam memahami maksudnya belum tentu sependapat.[29]
Dalam menggunakan ra'yu (nalar) sebagai alat dan rujukan dalam berijtihad, terdapat perbedaan yang meluas sekali. Mereka berbeda dalam cara dan langkah-langkah yang digunakan, dan berbeda dalam melihatnya sebagai suatu kekuatan dalam menetapkan hukum.[30]
Meskipun secara prinsip ulama mujtahid sependapat dalam penggunaan tiga sumber di atas (Al-Qur'an, Sunah, dan Ijma'), namun dalam penempatan urutan penggunaannya terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan dalam urutan ini terlihat ketika ditemukan perbenturan antara satu petunjuk dengan petunjuk lain. Dalam hal ini timbul masalah yang diperbincangkan ulama mengenai petunjuk mana yang diutamakan dalam pengamalannya. Umpamanya:[31]
a.         Apakah ijma' harus didahulukan atas hadits ahad (yang dilalah-nya zhanni) dengan pertimbangan bahwa ijma' itu dhilalah-nya qath'i sedangkan hadits ahad dilalah-nya zhanni, atau hadits ahad harus didahulukan atas ijma' dengan pertimbangan bahwa hadits itu merupakan sandaran ijma'.[32]
b.         Demikian pula dalam hal mendahulukan ijma' atas qiyas. Ada yang mendahulukan ijma' atas qiyas dengan pertimbangan isyarat Firman Allah SWT. dalam surat an-Nisaa (4): 59, yang menyebutkan "ketaatan kepada ulil amri (ijma')" lebih dahulu atas "mengembalikan hal yang diperdebatkan kepada Allah SWT. dan Rasul (qiyas)". Ada juga yang mendahulukan qiyas atas ijma' dengan pertimbangan Hadits Nabi yang memuji sikap Mu'adz yang langsung menyebutkan ijtihad (qiyas) sesudah Al-Qur'an dan Hadits dalam menetapkan hukum.[33]
Di samping empat rujukan tersebut (Al-Qur'an, Sunah, ijma' dan qiyas) yang disepakati secara prinsip, di antara ulama mujtahid ada yang menggunakan cara-cara lain secara tersendiri yang antara seorang mujtahid dengan yang lainnya belum tentu sama. Ide dan cara yang digunakan oleh seorang mujahid di luar empat rujukan di atas ada yang diikuti oleh mujtahid lain dan banyak pula mujtahid yang menolaknya. Perbedaan dalam segela segi yang disebutkan di atas menyebabkan hasil ijtihad temuan setiap mujtahid pun terdapat perbedaan dan masing-masing diikunci oleh orang-orang yang menganggapnya benar.[34]
Langkah dan metode istinbath yang dilakukan Abu Hanifah adalah sebagaimana yang tampak dalam ucapannya yang populer dan dikutip hampir semua kitab ushul fiqh, yaitu: mengambilnya dari Al-Qur'an sejauh yang mungkin saya temukan. Kalau tidak saya temukan dalam Al-Qur'an saya ambil dari Sunah Nabi dan atsar-nya yang sahih yang tersebar luas di kalangan orang-orang yang tepercaya. Kalau tidak saya temukan dalam kitab Allah SWT. dan Sunah Nabi, saya ambil dari ucapan para sahabat Nabi yang saya kehendaki dan saya tingggalkan ucapan sahabat yang tidak saya kehendaki. Kemudian saya tidak akan keluar dari ucapannya untuk mengambil ucapan sahabat yang lain. Bila berakhir suatu urusan kepada pendapat Ibrahim, Hasan, Ibnu Sin-in, Sa'id ibn al-Musayyab, dan Iain-lain melalui ijtihadnya, saya akan berijtihad sebagaimana mereka melakukan ijtihad. Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dirumuskan mengenai metode ijtihad yang ditempuh oleh empat imam madzhab yang empat, yaitu:[35]
1.        Metode ijtihad Imam Abu Hanifah, adalah sebagai berikut:
Al-Qur'an; Sunah Nabi dengan caranya yang ketat dan hati-hati; pendapat sahabat; qiyas dalam penggunaan yang luas; istihsan dan helah syariat. Tidak disebutkannya ijma' dalam rumusan itu bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma' tetapi menggunakan ijma' sahabat yang tergambar dalam ucapannya di atas.[36]
2.        Imam Malik menggunakan metode dengan mengikuti langkah sebagai berikut:
Al-Qur'an, Sunah Nabi, amal ahli Madinah, maslahat mursalah, qiyas dan Saddu al-Zari'ah. Amal ahli Madinah yang dimaksudkan di sini berarti ijma' dalam artian umum.[37]
3.        Imam Syafi'i menempuh langkah dan metode ijtihad sebagai berikut:
Al-Qur'an, Sunah Nabi yang sahih, meskipun menurut periwayatan perorangan (ahad); ijma' seluruh mujtahid umat Islami dan qiyas. Al-Qur'an dan Sunah dijadikannya dalam satu level sedangkan ijma' sahabat lebih kuat dari ijma' ulama dalam artian umum. Langkah terakhir yang dilakukannya adalah istishab.[38]
4.        Imam Ahmad ibn Hambal dalam berijtihad menempuh langkah sebagai berikut:
Mula-mula mencarinya dalam nash Al-Qur'an dan Sunah; kemudian mencarinya dalam fatwa sahabat (yang dimaksud fatwa sahabat di sini ialah fatwa sahabat dalam keadaan pendapat mereka sama, yakni ijma' sahabat) kemudian memilih di antara fatwa sahabat bila di antara fatwa itu terdapat beda pendapat; selanjutnya mengambil hadits mursal dan hadits yang tingkatnya diperkirakan lemah; baru terakhir menempuh jalan qiyas.[39]
Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Dalam pembahasan ini akan diuraikan tentang beberapa metode ijtihad, diantaranya:
1.        Istihsan
Secara etimologi istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik atau mengikuti sesuatu yang lebih baik”. Sedangkan secara istilah, ulama ushul berbeda pendapat akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam pengalamannya, yaitu:[40]
a.         Ibnu Subki mengajukan dua definisi istihsan
1)        Istihsan adalah beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lain yang lebih kuat dari padanya (qiyas pertama).
2)        Ihtisan adalah beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.[41]
b.         Istilah Istihsan di kalangan Ulama Malikiyah di antaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan al-Syatibi (salah seorang pakar Malikiyah):
istihsan adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli”.[42]
c.         Menurut kalangan ulama Hanabilah istihsan adalah apa-apa yang dianggap lebih baik oleh seorang mujtahid berdasarkan pemikiran akalnya.[43]
d.        Kalangan ulama Hanafiyah mengemukakan istihsan adalah dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu, namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.[44]
2.        Mashlahah Mursalah
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari mashlahah. Mashlahah dalam bahasa Arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam arti umum yaitu setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan, dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan.[45] Sedangkan mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf). Secara etimologis mursalah adalah terlepas atau bebas. Sehingga mashlahah mursalah adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.[46]
3.        Istishhab
Secara etimologis istishhab berasal dari kata is-tash-ha-ba dalam sighat is-ti’fal yang berarti selalu menemani atau selalu menyertai. Sedangkan menurut terminologis ada beberapa ulama yang merumuskan, diantaranya:
a.         Syekh Muhammad Ridha Mudzaffar dari kalangan Syi’ah
Istishhab adalah mengukuhkan apa yang pernah ada.
b.         Al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul
Istishhab adalah apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang.
c.         Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
Istishhab adalah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.[47]

4.        Adat atau ‘Urf
Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf” dengan arti “sesuatu yang dikenal”.[48] Dari adanya ketentuan bahwa ‘urf atau ‘adat adalah sesuatu yang harus telah dikenali, diakui, dan diterima oleh banyak orang, terlihat ada kemiripannya dengan ijma’.[49]
5.        Madzhab Shahabi
Madzhab shahabi adalah fatwa sahabat secara perseorangan. Penggunaan kata fatwa dalam definisi ini mengandung arti bahwa fatwa itu merupakan suatu keterangan atau penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad. Dengan demikian, apa yang disampaikan seorang sahabat dan dijelaskannya sebagai berasal dari Nabi tidak dinamakan madzhab shahabi tetapi disebut Sunah, sedangkan usaha sahabat yang menyampaikan itu disebut periwayatan.[50]
6.        Syar’u Man Qoblana (Syariat Sebelum Kita)
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita ialah hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at Nabi Muhammad SAW.[51]
7.        Saddu Al-Dzari’ah
Secara lughawi (bahasa), al-Dzari’ah itu berarti jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau buruk. Arti lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan penilaian kepada hasil perbuatan. Pengertian netral inilah yang diangkat oleh Ibnu Qayyim ke dalam rumusan tentang dzari’ah, yaitu apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu. Sedangkan Badran memberikan definisi yang tidak netral terhadap dzari’ah, yaitu apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung kerusakan.[52]


Yang dimaksud dengan hukum berijtihad disini ialah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi maupun hukum wadh’i. Hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari dua segi:
1.        Dari segi hasil ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti menentukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat.
2.        Dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwa-nya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya.[53]
Selanjutnya hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum, tanpa memandang kepada keadaan dan kondisi apa pun, atau dengan melihat kepada keadaan dan kondisi tertentu.[54]
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti.[55] Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami dari Firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an:
1.        Surat al-Hasyr 59:2
فَاعْتَبِرُوْايَاأُوْلِى الْاَبْصَارِ
“Maka ambil iktibarlah hai orang-orang yang punya pandangan.”
2.        Surat an-Nisa’ 4:59
فَإِنْتَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدّْوْهُ إِلَى اللَّهِ والرَّسُوْلِ...
“…Maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)...”[56]
Adapun landasan ijtihad yang berasal dari hadits, misalnya, riwayat yang menceritakan dialog antara Rasullah SAW. dan Mu’az bin Jabal ketika Rasulullah SAW. mengutus Mu’az ke Yaman, sebagaimana disebutkan terdahulu. Demikian juga hadits riwayat Abu Hurairah, sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Tetapi jika ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala”.
Bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya faqih yang dapat melakukan ijtihad dan ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus tersebut luput dari hukum, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib’ain.[57]
Bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang berlaku, sedangkan ia adalah satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pada waktu itu ada beberapa orang faqih yang mampu melakukan ijtihad, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib kifayah.[58]
Bila keadaan yang dinyatakan kepada faqih tersebut belum terjadi secara praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut, maka ijtihad dalam hal ini hukumnya hanyalah sunat.[59]
Berijtihad itu hukumnya haram untuk kasus yang telah ada hukumnya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath’i atau bila orang yang melakukan ijtihad itu belum mencapai tingkat faqih. Jadi, haramnya hukum ijtihad dalam hal ini adalah pertama karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada nash yang sharih san qath’i yang mengaturnya, kedua karena orang yang berijtihad tidak (belum) memenuhi syarat yang dituntut untuk ijtihad.[60]
Dalam menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam kenyataan atau belum terjadi, dan kasus tersebut belum diatur secara jelas dalam nash Al-Qur’an maupun Sunah, sedangkan orang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa orang, maka dalam hal ini hukum berijtihad bagi seorang faqih hukumnya mubah.[61]



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.        Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, “ijtihad” berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Menurut istilah agama, ijtihad adalah mencurahkan kesanggupan yang ada dalam membahas (menyelidiki) suatu masalah untuk mendapatkan suatu hukum yang sulit bertitik tolak kepada Kitab dan Sunah.
2.        Syarat-syarat Mujtahid
a.     Persyaratan Umum: Baligh, Berakal, Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan abstrak dan memiliki keimanan yang baik.
b.         Persyaratan Utama
1)        Mengerti bahasa Arab
2)        Memahami tentang Al-Qur’an dan Nasikh Mansukh
3)        Mengerti tentang Sunah
4)        Mengetahui hal-hal yang di-Ijma’-kan dan di-Ikhtilaf-kan
5)        Mengerti tentang qiyas
6)        Mengetahui maksud-maksud hukum
7)        Memiliki pemahaman dan penilaian yang benar
8)        Sebagian ulama ada juga yang mensyaratkan bahwa seorang mujtahid harus berhati bersih dan berniat lurus karena hal tersebut dapat mempermudah pemecahan masalah
3.        Tingkatan Mujtahid ada dua yaitu, Mujtahid Muthlaq dan Mujtahid fi al-Madzhab.
4.        Lapangan Ijtihad
Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah

masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
5.        Metode Ijtihad
Metode ijtihad yang dimaksud dalam bahasan ini adalah thariqah (طريقة), yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan, dan merumuskan hukum syara'.
a.         Istihsan
b.         Maslahah Mursalah
c.         Istishhab
d.        Adat atau ‘Urf
e.         Mazhab Shahabi 
f.          Syar’u Man Qoblana (Syariat Sebelum Kita)
g.         Saddu Al-Dzari’ah
6.        Hukum berijtihad
Yang dimaksud dengan hukum berijtihad disini ialah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi maupun hukum wadh’i. Hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari dua segi:
a.         Dari segi hasil ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti menentukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat.
b.        Dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti  yang fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya. Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib.

B.       Saran
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini, karena kami masih merupakan mahasiswa yang baru berproses sehingga makalah ini sebatas pengetahuan kami bersama dan dibantu dengan referensi dari beberapa buku yang kami kumpulkan. Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta masukan yang dapat membangun kami. Masukan konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah kami.




DAFTAR PUSTAKA
Bakry,Nazar. Fiqh dan ushul Fiqh. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Dahlan ,Abd.rahman. Ushul fiqh. Jakarta: Amzah, 2010.
Djalil,A. Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu Dan Dua. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010.
Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana, 2008.




[1] Alaiddin Koto, ilmu fiqih dan ushul fiqih (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 127.
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan ushul Fiqh (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 57-58.
[3]Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 350-351.
[4] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu Dan Dua (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 178-180.
[5] Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 352.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 301.
[7] Ibid.
[8]Ibid. hlm. 302.
[9]Abd.rahman Dahlan, Ushul fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 354-356.
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 328.
[11] Ibid.
[12] Ibid. hlm. 329.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15]Ibid. hlm. 330.
[16] Ibid.
[17] Ibid. hlm. 331.
[18] Ibid.
[19]Ibid.
[20]Ibid. hlm. 323.
[21]Ibid.
[22]Ibid. hlm. 324.
[23]Ibid.
[24]Ibid.
[25]Ibid. hlm. 325.
[26]Ibid.
[27]Ibid.
[28]Ibid.
[29]Ibid.
[30]Ibid. hlm. 326.
[31]Ibid.
[32]Ibid.
[33]Ibid.
[34]Ibid.
[35]Ibid. hlm. 327.
[36]Ibid.
[37]Ibid.
[38]Ibid.
[39]Ibid. hlm. 328.
[40]Ibid. hlm. 347.
[41]Ibid.
[42]Ibid. hlm. 348.
[43]Ibid.
[44]Ibid. hlm. 349.
[45]Ibid. hlm. 368.
[46]Ibid. hlm. 377.
[47]Ibid. hlm. 388-389.
[48] Ibid. hlm. 410.
[49] Ibid. hlm. 412.
[50] Ibid. hlm. 427.
[51] Ibid. hlm. 441.
[52] Ibid. hlm. 449.
[53] Ibid. hlm. 260.
[54] Ibid.
[55] Ibid. hlm. 261.
[56] Ibid.
[57] Ibid. hlm. 262.
[58] Ibid.
[59] Ibid. hlm. 263.
[60] Ibid.
[61] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar