QIYAS SEBAGAI SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM
ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
matakuliah UshulFiqh
yang diampu olehBapak Moch.CholidWardi, M.HI.
Disusun Oleh Kelompok IV:
DesyKamiliaIndriania 20170703022036
EkaWahyuIlahi 20170703022047
FaridatulAisyah 20170703022054
Fitriyah 20170703022064
Heni Sunaira 20170703022072
InayatulMustafidah 20170703022086
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan rahmat, taufik, nikmat kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik
berupa waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini walaupun masih terdapat banyak kekurangan.
Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah limpahkan keharibaan Nabi Muhammad SAW. yang telah berusaha dengan penuh kesabaran
sehingga mengangkis umatnya dari alam kebodohan menuju alam yang terang
benderang sehingga sampai detik ini penulis tetap semangat berjuang
meningkatkan wawasan keilmuan.
Makalah yang berjudul “QiyasSebagaiSumberdanMetodologiHukum Islam”ini
dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah UshulFiqh. Terima kasih yang setulusnya
kami sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu kami dalam
membantu menambah pengetahuan serta membantu menyelesaikan penyusunan makalah
ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini
terlepas dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat kami harapkan demi perbaikan.
Akhir kata, semoga makalah ini
bermanfaat bagi semuanya.
Pamekasan, 24Maret2018
Penyusun
DAFTAR
ISI
Halaman Sampul...................................................................................... i
Kata Pengantar......................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C.
Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II: PEMBAHASAN
A.
PengertianQiyas................................................................................. 3
B.
QiyasSebagaiSumberHukumSyara’................................................... 4
1.
Al-Qur’an......................................................................................... 4
2.
Hadis (Sunnah)................................................................................ 5
3.
AtsarSahabi (PerbuatanSahabat)...................................................... 5
4.
Akal.................................................................................................. 6
C.
Syarat-syaratQiyas............................................................................. 7
1.
Maqis ‘Alaihi.................................................................................. 7
2.
Maqis.............................................................................................. 7
3.
HukumAshal................................................................................... 8
D.
‘illat.................................................................................................... 9
1.
Arti ‘illat........................................................................................... 9
2.
Bentuk-bentuk ‘illat......................................................................... 10
3.
Fungsi ‘illat...................................................................................... 11
4.
Syarat-syarat ‘illat............................................................................ 12
5.
Hubungan ‘illatdenganhukum.......................................................... 12
6.
Masalik al-‘illat................................................................................. 14
7.
Al-Qawadih..................................................................................... 16
E.
Rukun/UnsurQiyas............................................................................. 16
1.
Al-Ash............................................................................................ 16
2.
Al-Far’u..........................................................................................
17
3.
HukumAsl......................................................................................
17
4.
Illah.................................................................................................
18
F.
PembagianQiyas................................................................................. 19
1.
Dari segiKekuatan ‘illat................................................................... 19
2.
Dari segiKejelasan ‘illatnya.............................................................. 20
3.
Dari segiKeserasian ‘illatnya............................................................ 20
4.
Dari segiDijelaskanatautidaknya ‘illat............................................. 20
5.
Dari segi (metode) Mashalik............................................................ 21
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan....................................................................................... 22
B.
Saran................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakangMasalah
Qiyasmerupakansuatucarapenggunaanra’yuuntukmenggalihukumsyara’dalamhal-hal
yang nashAl-Qur’an danSunahtidakmenetapkanhukumannyasecarajelas.
Padadasarnyaadaduamacamcarapenggunaanra’yu, yaitu: penggunaanra’yuyang
masihmerujukkepadanashdanpenggunaanra’yusecarabebastanpamengaitkannyakepadanash.Bentukpertamasecarasederhanadisebutqiyas.
Meskipunqiyastidakmenggunakannashsecaralangsung,
tetapikarenamerujukkepadanash, makadapatdikatakanbahwaqiyasjugasebernarnyamenggunakannash,
namuntidaksecaralangsung.
Dasarpemikiranqiyasituialahadanyakaitan
yang eratantarahukumdengansebab. Hampirdisetiaphukumdisegalabidangibadat,
dapatdiketahuialasanrasionalditetapkannyahukumituoleh Allah SWT. Alasanhukum
yang rasionalituolehulamadisebut’illat.Disampingitu, dikenal pula konsepmumatsalah,
yaitukesamaanataukemiripanantaraduahal yang diciptikan Allah.
Biladuahalitusamadalamsifatnya, tentusama pula dalamhukum yang
menjadiakibatdarisifattersebut. Meskipun Allah
hanyamenciptakanhukumterhadapsatudariduahal yang bersamaanitu, tentuhukumyang
samaberlaku pula padahal yang satulagi, meskipun Allah
dalamhalitutidakmenyebutkanhukumnya.
Hal-halataukasus
yang ditetapkan Allah hukumnyaseringmempunyaikesamaandengankasus lain yang
tidakditetapkanhukumnya. Meskipunkasus lain itutidakdijelaskanhukumnyaoleh
Allah, namunkarenaadakesamaandalamhalsifatnyadengankasus yang
ditetapkanhukumnya, makahukum yang
sudahditetapkanitudapatdiberlakukankepadakasus lain
tersebut.Atasdasarkeyakinanbahwatidakada yang luputdarihukum Allah,
makasetiapmuslimmeyakinibahwasetiapkasusatauperistiwa yang terjadipastiadahukumnya.
Sebagianhukumnyaitudapatdilihatsecarajelasdalamnashsyara’, namunsebagian
yang lain tidakjelas.Diantara yang
tidakjelashukumnyaitumempunyaikesamaansifatdengankasus yang
sudahdijelaskanhukumnya.
B.
RumusanMasalah
Dari latarbelakangpermasalahandangambaranawalobjekpenelitiandiatasadabeberapamasalah
yang inginditelitiyaituberkaitandengan :
1.
ApapengertianQiyas
?
2.
ApamaksudQiyassebagaihukumsyara’?
3.
Apasajasyarat-syaratQiyas
?
4.
ApasajapembagianQiyas?
5.
Apa yang
dimaksuddengan‘illat?
6.
Apasajarukun/
unsur-unsurQiyas ?
C.
TujuanPenulisan
1.
UntukmengetahuipengertianQiyas.
2.
UntukmengetahuimaksudQiyassebagaihukumsyara’.
3.
Untukmengetahuisyarat-syaratQiyas.
4.
UntukmengetahuipembagianQiyas.
5.
Untukmengetahuipengertian‘illat.
6.
Untukmengetahuirukun/
unsur-unsurQiyas.
BAB II
PEMBAHASAN
D.
Pengertian
Qiyas
Qiyas
secara etimologi berartiقدر (ukuran, bandingan).Adapun secara terminologi, terdapat
beberapa definisi qiyas yang dirumuskan ulama. Tiga definisi diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Menurut
Ibnu as-Subki, qiyas ialah:
حَمْلُ
مَعْلُوْمٍ عَلَى مَعْلُوْمٍ لِمُسَاوَتِهِ فِى عِلَّةِ حُكْمِهِ عِنْدَالْحاَمِلِ
Menyamakan hukum
sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan “illah hukum
menurut mujtahid yang menyamakn hukumnya.
2. Menurut
al-Amidi, qiyas ialah:
إِشْتِباَهُ
الْفَرْعِ وَالاَصْلِ فِيْ عِلَّةِ حُكْمِ الاَصْلِ فِيْ نَظْرِالْمُجْتَهِدِ
عَلَى وَجْهِ يَسْتَلْزَمُ تَحْصِيْلُ اَلْحُكْمِ فِيْ الْفَرْعِ
Keserupaan antara
cabang dan asal pada ‘illah hukum asal menurut pandangan mujtahid dari segi
kemestian terdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang.
3. Sedangkan
menurut Wahbah az-Zuhaili, qiyas ialah:
إِلْحَاقُ
أَمْرغَيْرُمَنْصُصٍ عَلَى حُكْمِهِ بِأَمْرٍمَنْصُصٍ عَلَى
حُكْمِهِلاِشْتِرَاكِهَمَا فِى عِلَّةِ الحُكْمِ
Menghubungkan
suatu masalah yang tidak terdapat nashsh syara’ tentang hukumnya dengan suatu
masalah yang terdapat nashsh hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari
segi ‘illah hukum.[1]
Maksudnya,
Qiyas dilakukan bila mujtahid menemukan sesuatu yang nash tidak
menyebutkan hukumnya, sedang pada yang lainnya. Nash menyebutkan hukumnya yang
diketahui mempunyai ‘illat, yang sama dengan ‘illat yang ada pada
yang pertama.Atas dasar persamaan ‘illat tersebut, maka disamakan hukum
yang pertama (الأصل) artinya yang asal, dengan yang kedua (الفرع) artinya cabang.[2]
E.
Qiyas Sebagai
Hukum Syara’
Memang
tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat
dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk
yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara’ diluar apa yang
ditetapkan oleh nash.Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat
tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara’.[3]
Sebagian
besar ulama’ fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas
dapat dijadikan satu dalil atau dasar hujjah menetapkan hukum dalam ajaran
Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau
macam-macam qiyas boleh digunakan dalam: mengistimbathkan hukum: ada yang
membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun mereka barulah
melakukan qiyas apabila ada yang dapat dijadikan dasarnya.[4]
Mengenai
dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
Al-Qur’an, Al-Hadits, dan perbuatan sahabat, yaitu:
a.
Al-Qur’an
Berdasarkan
firman Allah SWT:
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلِ وَأَوْلِى الْأَمْرِمِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَزَ عْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالْرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْ مِنُوْنَ بِااللهِ وَالْيَوْمِ الْأَ خِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amrih diantara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Dari ayat diatas dapat
diambil pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan
segala sesuatu berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.Jika tidak ada dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat Ulil Amrih.Jika
tidak ada pendapat ulul amrih boleh menetapkan hukum dengan mengembalikan
kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau
memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam
hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.[5]
b. Al-Hadits
Setelah Rasulullah SAW
melantik Mu’az bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
كيف
تقضي اذا عرض لك قضاء؟ قال: اقضي بكتا ب الله. قال: فان لم تجد في كتا ب الله؟
قال: فبسنة رسول الله. قال: فان لم تجد في سنة رسول الله؟ قال: اجتهد بر ئي ولاالو
فضرب رسول الله صدره. وقال: الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضى الله
رسوله. (رواه احمد وابودود والتر ميذي)
Artinya: Bagaimana (cara) kamu
menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’az menjawab:
Akan aku tetepkan berdasar Al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam
Al-Qur’an? Mu’az berkata: akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika
engkau tidak memperoleh sunnah? Mu’az menjawab: Aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’az berkata): Lalu
Rasulullah SAW menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai
dengan yang diridhai Allah dan Rasulnya. (H.R. Ahmad Abu Daud dan At-Tumudzi).
Dari hadits ini dapat
dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad
itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.[6]
c. Perbuatan
Sahabat
Para sahabat Nabi SAW
banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak
ada nashnya.Sejarah alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para
sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi Khalifah dibanding
sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau
sebagai imam shalat diwaktu beliau sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar
mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar
menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.[7]
d. Akal
Tujuan Allah SWT
menetapkan hukum syara’ bagi kemashlahatan manusia. Dalam pada itu
setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula
yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak
ada nash yang dapat dijadikan yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya
sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai
dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nashsebagai
dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasarkan nash karena
ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan kemashlahatan
kepada hamba. Sebab itu tepatlah dikiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan
dengan caraqiyas.[8]
Bila diperhatikan akan
tampak bahwa nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya
dan ada yang bersifat khusus, ada yang menyual dan ada yang mubayyan. Biasanya
yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari’at
Islam.Dalam pada itu peristiwa-peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah.
Banyak kejadian atau peristiwa yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada
masa Rasulullah SAW, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak
ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada
prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan didalam
Al-Qur’an dan Hadits. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa
yang terjadi dapat ditetapkan.[9]
F.
Syarat-syarat
Qiyas
Membicarakan syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat
yang berlaku pada setiap rukun atau unsur-unsur dari qiyas.Rukun atau
unsur qiyas itu sebagaimana telah disebutkan adalah :
a.
Maqis ‘alaihi مقيس عليه (tempat meng-qiyas-kan sesuatu
kepadanya)
Dalam
memberikan nama kepada maqis ‘alaih itu terdapat beberapa pendapat. Ada
yang menamakan ashal أصل (sesuatu yang dihubungkan
kepadanya sesuatu yang lain). Ada yang menggunakan istilah محل الحكم الشبه به(wadah/tempat yang
pada wadah itu terdapat hukum yang akan disamakan kepadanya wadah lain). Ada
juga yang menyebutnya dengan دليل الحكم(sesuatu yang memberi
petunjuk tentang adanya hukum). Pendapat lain mengatakan bahwa maqis ‘alaih itu
adalah حكم المحل(hukum bagi suatu wadah).[10]
b. Maqis مقيس(sesuatu yang akan
disamakan hukumnya dengan ashal) untuk maqis ini kebanyakan Ulama
menggunakan kata “furu’” (sesuatu yang dibangun atau dihubungkan kepada
sesuatu yang lain). Ada yang mengatakan bahwa maqis adalah محل المشبه(wadah yang hukumnya
diserupakan dengan yang lain). Ada pula yang menyebutnya حكم المحل المشبه(hukum dari wadah yang
disamakan).[11]
Syarat-syarat maqis sebagai berikut :
1. ‘illatyang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan
dengan ‘illat yang terdapat pada ashal. Maksudnya, seluruh ‘illat
yang terdapat pada ashal juga terdapat pada furu’. Jumlah ‘illat
pada furu’ itu bisa sebanyak yang terdapat pada ashal atau
melebihi yang terdapat pada ashal.
2. Harus ada kesamaan antara furu’ itu
dengan ashal dalam hal ‘illat, maupun hukum; baik yang menyangkut
‘ain atau jenis; dalam arti sama dalam ‘ain ‘illat atau jenis ‘iilat
dan sama dalam ‘ain hukum atau jenis hukum.
3. Ketetapan hukum pada furu’ itu tidak
menyalahi dalil qath’i. maksudnya, tidak terdapat dalil qat’i yang
isinya berlawanan dengan furu’. Hal ini disepakati oleh Ulama. Alasannya
bahwa qiyas tidak dapat digunakan pada sesuatu selama masih ada dalil qat’i
yang berlawanan dengannya. Menurut pendapat kebanyakan Ulama, ketetapan
hukum pada furu’ juga tidak menyalahi kabar ahad, karena menurut
Ulama ini, kabar ahad harus didahulukan dari qiyas.
4. Tidak terdapat “penentang” (hukum lain)
yang lebih kuat terhadap hukum pada furu’ dan hukum dalam penentang itu
berlawanan dengan ‘illat qiyas itu. Penentangannya itu bisa dalam bentuk
naqid (contradictory) atau dalam bentuk dhib (contrary).
5. Furu’ itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu;
baik materi nash itu bersesuaian dengan hukum yang akan ditetapkan pada furu’,
atau berlawanan dengannya.
6. Furu’ (sebagai maqis) itu tidak mendahului ashal(sebagai
maqis ‘alaih) dalam keberadaannya. Umpamanya meng-qiyas-kan
“wudhu” kepada “tayammum” dalam menetapkan kewajiban “niat”. Wudhu itu lebih
dahulu adanya dari pada tayamum. Wudhu disyariatkan sebelum hijrah. Lagi pula
ditetapkannya tayamum itu adalah sebagai pengganti wudhu di saat tidak dapat
melakukan wudhu.[12]
c. Hukum ashal (حكم الأصل)
Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada
suatu wadah maqis ‘alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash; dan
hukum itu pula yang akan diberlakukan para furu’.[13]
Syarat bagi hukum ashal untuk dapat
direntangkan kepada kasus lain (furu’) melalui qiyas adalah :
1. Hukum ashal itu adalah hukum syara’,
karena tujuan dari qiyas syar’i adalah untuk mengetahui hukum syara’
pada furu’, baik dalam bentuk itsbat (adanya hukum) atau
dalam bentuk nafi (tidak adanya hukum). Seandainya hukum ashal itu
bukan hukum syara’, maka tujuan penggunaan qiyas tidak akan
berhasil.
2. Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash,
bukan dengan qiyas. Satu pendapat mengatakan, juga bukan ijma’. Alasan
tidak bolehnya hukum ashal ditetapkan dengan qiyas, karena
berarti hukum asal itu pun pada mulanya merupakan furu’ dari qiyas yang
lain (pertama kali). Dengan demikian terdapat dua bentuk qiyas, yaitu:
pertama, yang menghasilkan furu’ pada qiyas pertama kali (yang
menjadi ashal pada qiyas kedua), dan kedua, yang menghasilkan furu’
pada qiyas yang kedua kalinya.
3. Hukum ashal itu adalah hukum yang
tetap berlaku; bukan hukum yang telah di nasakhkan, sehingga masih mungkin
dengan hukum ashal itu membangun (menetapkan) hukum.
4. Hukum ashal itu tidak menyimpang
dari ketentuan qiyas, karena bila menyimpang dari ketentuan qiyas, maka
tidak mungkin meng-qiyas-kan sesuatu kepada hukum ashal itu, sebab dalam
hukum ashal seperti itu tidak ada daya rentang.
5. Hukum ashal itu harus disepakati
oleh ulama; karena kalua belum disepakati tentu masih diperlukan usaha
menetapkannya lebih dahulu bagi ulama yang tidak menerimanya.
6. Dalil yang menetapkan hukum ashal, secara
langsung tidak menjangkau kepada furu’. Maksud hukum ashal yang
menjangkau kepada furu’ adalah, dalil hukum pada furu’ itu juga
merupakan dalil hukum pada ashal.[14]
G. ‘illat(علة)
1. Arti ‘illat
‘illatadalah salah satu rukun atau unsur qiyas bahkan
merupakan unsur yang terpenting, karena adanya ‘illat itulah yang
menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat
direntangkan kepada yang lain.[15]
Pada dasarnya, hukum-hukum yang ditetapkan oleh suatu nashmengandung
maksud tertentu. Sehingga bila seseorang melaksanakan hukum tersebut, maka apa
yang dituju dengan ketetapan hukum itu akan tercapai. Tujuan hukum itu dapat
dicari dan diketahui dari teks atau nashyang menetapkannya, yakni
melalui sifat atau hal yang menyertai hukum itu.[16]
2. Bentuk-bentuk ‘illat
‘illatadalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu
hukum. Ada beberapa bentuk sifat yang mungkin menjadi ‘illat bagi hukum
bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antara bentuk sifat itu adalah:
a. Sifat hakiki (حقيقي), yaitu yang dapat
dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan)
atau lainnya. Contohnya : sifat memabukkan pada minuman keras.
b. Sifat hissi (حسّي), yaitu sifat atau
sesuatu yang dapat diamanati dengan alat indra. Contohnya: pembunuhan yang
menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan; pencurian yang
menyebabkan hukum potong tangan; atau sesuatu yang dapat di rasakan, seperti
senang atau benci.
c. Sifat ‘urf (عرف), yaitu sifat yang
tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk dan baik,
mulia dan hina.
d. Sifat lughawi (لغوي), yaitu sifat yang
dapat diketahui dari penamaannya dalam artian Bahasa. Contohnya: diharamkannya
nabiz karena ia bernama khamar.
e. Sifat syar’i (شرعي), yaitu sifat yang
keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan suatu
hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya mengagunkan barang milik bersama dengan
alasan bolehnya barang itu dijual.
f. Sifat murakab (مركب), yaitu bergabungnya
beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya: sifat
pembunuhan, secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan; semuanya dijadikan alasan
berlakunya hukum qishash.[17]
3. Fungsi ‘illat
Pada dasarnya setiap ‘illat menimbulkan
hukum.Antara ‘illat dan hukum mempunyai kaitan yang erat. Dalam kaitan
itulah terlihat fungsi tertentu dari ‘illat, yaitu sebagai:
a. Penyebab/ penetap (مثبتة) yaitu ‘illat yang
dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap (yang
menetapkan) adanya hukum, baik dengan nama mu’arrif (معرف), mu’assir (مؤثر) atau ba’its (باعث). Umpamanya ‘illat
memabukkan menyebabkan berlakunya hukum haram pada makanan dan minuman yang
memabukkan.
b. Penolak (دافعة), yaitu ‘illat yang
keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum
itu seandainya ‘illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
Umpamanya dalam masalah ‘idah. Adanya ‘idah menolak dan menghalangi terjadinya
perkawinan dengan laki-laki yang lain; tetapi ‘idah itu tidak mencabut
kelangsungan perkawinan bila ‘idah itu terjadi dalam perkawinan. ‘iddah dalam
hal ini adalah ‘iddah syubhat.
c. Pencabut (رافعة), yaitu ‘illat yang
mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi dalam masa
tersebut, teteapi ‘illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum.
Umpamanya sifat talak dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya talak
itu mencabut hak bergaul antara suami istri. Namun talak itu tidak mencabut
terjadinya hak bergaul suami istri (jika mereka telah menikah atau rujuk),
karena memang mereka boleh menikah lagi sesudah adanya talak itu.
d. Penolak (دافعة ورافعة), yaitu ‘illat yang
dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan
sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung.[18]
4. Syarat-syarat ‘illat
Di antara syarat ‘illat ada yang disepakati
Ulama, ada pula yang diperselisihkan, dalam arti tidak diakui sebagai syarat.
Di antara syarat ‘illat yang disepakati ulama adalah sebagai berikut :
a. ‘illatitu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan
suatu hukum, dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
b. ‘illatitu adalah suatu sifat yang jelas (ظاهرة) dan dapat
disaksikan.
c. ‘illatitu harus dalam bentuk sifat yang terukur (منضبطة), keadaannya jelas
dan terbatas, sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya.
d. Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan
antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘illat (مناسبةوملانمة). Adanya kesesuaian
hubungan antara sifat dengan hukum itu menjadikannya rasional, diterima semua
pihak, dan mendorong seseorang untuk lebih yakin dalam berbuat.
e. ‘illatitu harus mempunyai daya rentang (متعدية). Maksudnya, ‘illat
itu disamping ditemukan pada wadah yang menjadi tempat berlakunya hukum (ashal),
juga dapat ditemukan di tempat lainnya.
f. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat
itu tidak dipandang untuk menjadi ‘illat. Maksudnya, sifat itu menyalahi
ketentuan yang telah ditetapkan oleh suatu dalil (nash).[19]
5. Hubungan ‘illat dengan hukum (al-munasib).
Telah dijelaskan bahwa salah satu syarat ‘illat adalah
“munasabah” antara ‘illat dengan hukum (ada hubungan kesesuaian
dan keserasian antara ‘illat dengan hukumnya). Dalam mengartikan munasabah
ada beberapa rumusan, yaitu :
a) Pembagian Munasib
Para ahli ushul fiqh membagi munasib dengan
melihatnya dari tiga segi, yaitu dari segi tingkat pencapaian tujuan, dari segi
penetapan hukum oleh syari’ (pembuat hukum) dan dari segi
diperhitungkannya munasib itu oleh syari’.
1. Munasib dari segi tingkat pencapaian tujuan
hukum menurut Al-Amidi dan Ibn Subki dibagi kepada 4 tingkat:
a. Tercapainya tujuan penetapan hukum secara
meyakinkan, dalam artian bila berlaku hukum, maka apa yang dituju dengan
penetapan hukum itu pasti tercapai.
b. Tercapainya tujuan pendapatan hukum secara zhanni
(tidak meyakinkan, tetapi hanya dalam bentuk dengan kuat). Tidak sampainya
ke tingkat meyakinkan (qhat’i) karena memang ada yang tidak mencapai
tujuan meskipun pada umumnya mencapai tujuan.
c. Tercapainya tujuan penetapan hukum
kemungkinannya sama dengan tidak tercapainya.
d. Tercapainya tujuan penetapan hukum dalam
kemungkinan yang lebih kecil. Artinya, tidak tercapainya tujuan penetapan hukum
lebih besar dari kemungkinan tercapainya.[20]
2. Munasib ditinjau dari segi penetapan hukum
atasnya terbagi kepada tiga tingkat, secara berurutan:
a. Dharuri (ضروري), yaitu sesuatu yang
sangat dibutuhkan; atau kebutuhan akan adanya mencapai batas dharuri,
karena kehidupan manusia tidak akan tegak tanpa keberadaannya.
b. Haji (حاجي), yaitu sesuatu yang
diperlukan adanya tetapi tidak samapi ke tingkat dharuri.
c. Tahsini (تحسيني) yaitu sesuatu yang
sebaiknya dilakukan. Ia merupakan hal-hal yang tidak mewujudkan dharuriyat yang
lima, juga tidak diperlukan untuk kesempurnaannya, tetapi ia lebih baik
dilakukan.[21]
3. Munasib ditinjau dari segi diperhitungkan
atau dipandangnya ‘illat itu oleh pembuat hukum, terbagi kepada :
a. Munasib Muassir(المناسب الؤثر); yaitu berlakunya ‘ain
‘illat (‘illat itu sendiri) dalam ‘ain hukum (hukum itu
sendiri) yang dipandang atau diperhitungkan oleh nash ata ijma’.
b. Munasib mulaim (المناسب الملائم); yaitu kesesuaian
atau munasib yang berlakunya ‘ain ‘illat untuk ‘ain hukum secara
langsung bukan ditetapkan oleh nashatau ijma’.
c. Munasib mulghah (المناسب الملغاة), yaitu munasib
yang oleh akal dapat diterima sebagai sesuatu yang baik dan maslahat.
d. Munasib mursal (المناسب المرسل), yaitu munasib (hubungan
yang serasi antara ‘illat dengan hukum) yang tidak ada dalil yang
menolaknya, tetapi juga tidak ada dalil yang memandangnya.[22]
6. Masalik al-‘illat
Masalik al-‘illat adalah cara atau metode untuk mengetahui ‘illat dalam
suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk kepada kita adanya ‘illat
dalam suatu hukum. Ada beberapa cara untuk mengetahui ‘illat itu; ada
petunjuk yang jelas dan ada yang kurang jelas; ada yang langsung dan ada yang
tidak langsung. Masalik al-‘illat itu adalah sebagai berikut:
1. Nash
Penetapan nashsebagai salah satu cara dalam
menetapkan ‘illat tidaklah berarti bahwa ‘illat itu langsung
disebut dalam nash; tetapi dalam lafaz-lafaz yang digunakan dalam nash dapat
dipahami adanya ‘illat. Lafaz-lafaz nashyang memberi petunjuk terhadap ‘illat
itu ada dua macam:
a. Nash sharih(نص صريح), yaitu lafaz-lafaz
dalam nashyang secara jelas memberi petunjuk mengenai’illat dan
tidak ada kemungkinan selain dari itu.
b. Nash zhahir (نص الظاهر), yaitu lafaz-lafaz
yang secara lahir memang digunakan untuk menunjukkan ‘illat tetapi
dapat pula berarti bukan untuk ‘illat.[23]
2. Ijma’
Ijma’ sebagai salah satu masalik berarti ijma’ itu
menjelaskan ‘illat dalam hukum yang disebutkan pada suatu nash.
3. Al-Ima’ wa al-Tanbih
Al-ima’ wa al-Tanbih adalah penyertaan sifat dalam hukum.
Seandainya pernyertaan itu bukan untuk menunjukkan ke-‘illat-an suatu
sifat bagi hukum, tentu penyertaan itu menjadi tidak berarti.
4. Sabru wa Taqsim
Sabru wa Taqsim (السبر والتقسيم) secara harfiah
berarti menghitungkan dan menyingkirkan. Yang dimaksud disini adalah meneliti
kemungkinan sifat yang terdapat dalam ashal, kemudian meneliti dan
menyingkirkan sifat-sifat yang tidak pantas menjadi ‘illat; maka sifat
yang tertinggal itulah yang menjadi ‘illat untuk hukum ashal tersebut.
5. Takhrijul manath
Takhrijul manath (تخريج المناط) adalah usaha
menyatakan ‘illat dengan cara mengemukakan adanya keserasian sifat dan
hukum yang beriringan serta terhindar dari sesuatu yang mencacatkan.
6. Tanqihul manath (تنقيح المناط)
Tanqihul manath yaitu, menetapkan satu sifat di antara beberapa sifat
yang terdapat di dalam ashal untuk menjadi ‘illat hukum setelah
meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang lainnya.
7. Thard (الطرد)
Ialah penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya titik
keserasian yang berarti.
8. Syabah (الشبه)
Yaitu sifat yang memiliki kesamaan.Syabah terdiri
dari dua bentuk, yaitu:
a. Qiyas yang kesamaan antara hukum dan sifat sangat dominan,
yaitu hubungan furu’ yang mempunyai kesamaan dengan dua ashal, namun
kesamaan dengan salah satu diantaranya lebih dominan dibandingkan dengan yang
satu lagi.
b. Qiyas shuri, yaitu meng-qiyas-kan sesuatu hanya
karena kesamaan bentuknya; seperti meng-qiyas-kan kuda kepada keledai
dalam hal tidak dikenai kewajiban zakat.
9. Dawran (الدوران)
Al-Dawran atau yang sirkuler.Yaitu adanya hukum sewaktu bertemu
sifat dan tidak terdapat hukum sewaktu tidak ditemukan sifat.
10. Ilghau al-Fariq (الغاءالفارق)
Yaitu adanya titik perbedaan yang dapat dihilangkan
sehingga terlihat kesamannya.[24]
7. Al-Qawadih
Qiyas adalah salah satu cara atau petunjuk atau metode yang
dilakukan seorang mujtahid untuk menemukan dan menetapkan hukum syara’.Untuk
dapatnya metode qiyas itu digunakan untuk menemukan hukum syara’ itu
si mujtahid harus mampu mengemukakan ‘illat hukumnya.[25]
H.
Rukun / Unsur
Qiyas
Unsur-unsur
Qiyas yaitu: al-ashl (dasar; pokok), al-far’u (cabang),
hukum ashl, dan ‘illah. Keempat unsur Qiyas tersebut diuraikan
sebagai berikut.
a. Al-ashl
(dasar;pokok)
Al-ashl
ialah, sesuatu yang telah ditetapkan ketentun hukumnya berdasarkan nashsh, baik
nashsh tersebut berupa Al-Qur’an maupun sunnah. Dalam istilah lainnya, al-ashl
ini disebut juga dengan maqis‘alaih (yang di qiyas-kan atasnya)
atau musyababhbih (yang diserupakan dengannya).Mengenai unsur pertama
ini, beberapa ulama menetapkan pula beberapa persyaraatan sebagai berikut.
1. Al-Ashal
tidak mansukh. Artinya, hukum syara’yang akan menjadi sumber peng-qiyas-an
itu masih tetap berlaku pada masa hidup Rasulullah SAW. Apabila telah dihapuskan ketentuan hukumnya,
maka ia tidak dapat menjadi al-ashl.
2. Hukum
syara’. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak
ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’. Oleh
karena itu, ia mestilah yang berupa hukum syara’.
3. Bukan
hukum yang di kecualikan. Jika al-ashl tersebut merupakan pengecualian,
maka tidak dapat menjadi wadah qiyas. Misalnya, ketetapan sunnah bahwa
puasa karena lupa tidak batal.[26]
b. Al-Far’u
(cabang)
Al-Far’u ialah, masalah yang hendak di qiyas-kan
yang tidak ada ketentuan nashsh yang menetapkan hukumnya.Unsur ini juga di
sebut dengan maqis, atau mahal asy-syabh.
Para ulama menyebutkan beberapa syarat sebagai berikut.
1. Adanya
kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashal dan yang terdapat
dalam al-far’u.
2. Tidak
terdapat dalil qath’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.
3. Hukum
yang terdapat dalam al-ashl bersifatsama dengan hukum yang terdapat
dalam al-far’u.[27]
c. Hukum
Ashl
Hukum ashl ialah
hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh
nashsh tertentu, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah. Para ulama mengatakan
syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.
1. Hukum
tersebut adalah hukum syara’ bukan yang berkaitan dengan hukum aqliyyat
atau adiyyat dan atau lughawiyyat.syarat ini sebenarnya hampir
tidak perlu disebutkan,karena yang hendak diketahui hukumnya adalah hukum syara’.
2. illah
hukum tersebut dapat ditemukan; bukan hukum yang tidak dapat dipahami
‘illah-nya (ghair ma’qulahal-ma’na).
3. Hukum
ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushusiyyah Rasulullah
SAW.[28]
d. ‘Illah
‘Illah ialah suatu
sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi,dan sejalan
dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.Berdasarkan penelitian
yang mendalam,diyakini bahwa tujuan Allah dalam menetapkan setiap hukum adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, yaitu dengan meraih manfaat
dan menghindarkan bahaya dan kemudaratan bagi hamba.para ulama menetapkan
beberapa ‘illah hukum, agar dipandang sah sebagai ‘illah, yaitu
sebagai berikut.
1.
Zhahir,
yaitu:’illah mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata;dapat disaksikan
dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain. Sifat ‘illah
yang nyata itu, misalnya:sifat memabukkan pada khamr,perbuatan membunuh
pada tercegahnya hak mewarisi harta korban bagi pembunuhnya, untuk menyerahkan
harta dari wali kepada orang yang di bawah perwaliannya.
2.
‘illah harus mengandung hikmah
yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan hukum. Tujuan hukum adalah
jelas,yaitu kemaslahatan mukallaf di dunia dan akhirat, yaitu melahirkan
manfaat atau menghindarkan kemudaratan.
3.
Mundhabithah,yaitu
‘illah mestilah sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasnya. Apabila ia
tidak terukur dan dapat dikacaukan dengan sifat yang lain, maka ia tidak sah
menjadi ‘illah.
4.
Mula’im wa munasib,
yaitu suatu ‘illah harus memiliki kelayakan dan memiliki hubungan yang
sesuai antara hukum dan sifat yang dipandang sebagai ‘illah.Jika antara
hukum dan sifat yang dipandang sebagai ‘illahtidak memiliki kepantasan
dan tidak berhubungan, maka tidak dapat ditetapkan sebagai ‘illah.
5.
Muta ‘addiyah,
yaitu suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nashsh
hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak
ditetapkan hukumnya.Apabila suatu’illah bersifat terbatas hanya pada al-ashl(peristiwa
hukum yang ada ketentuan nashsh –nya,dan tidak terdapat pada peristiwa
hukum yang tidak ada nashsh-nya,(‘illah qashirah), maka ia tidak
sah sebagai ‘illah.[29]
Contoh unsur dikaitkan dengan
unsur-unsur qiyas sebelumnya, sifat memabukkan yang terdapat pada khamr.sifat
ini bersifat nyata, dapat diukur,pantas sebagai sifat yang menjadi hikmah
dilarangnya meminum khamr,terdapat pada minuman memabukkan lainnya.[30]
I.
Pembagian Qiyas
Pembagian Qiyas dapat dilihat dari
beberapa segi sebagai berikut:
1. Pembagian qiyas dari segi kekuatan ‘illat
yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada ‘illat yang
terdapat pada ashal. Dalam hal ini qiyas terbagi tiga, yaitu:
a. Qiyas awlawi (قياس اولوي); yaitu qiyas yang
berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal
karena kekuatan ‘illat pada furu’.[31]Oleh sebab itu hukum yang di qiyas kan lebih aula (besar)
dari hukum yang ada pada tempat meng-qiyas-kan, seperti meng-qiyas-kan
memukul kepada kata-kata yang kurang terhadap Ibu Bapak, karena ‘illatnya
menyakiti, maka hukumnya sama-sama berdosa.[32]
b. Qiyas musawi (قياس مساوي), yaitu qiyas
yang kadar ‘illat far’u-nya sama
dengan kadar ‘illat yang ada pada
asal. Seperti memakan harta anak yatim, sama kadar ‘illat yang terkandung di dalamnya dengan membakar harta anak yatim,
yakni sama-sama menghabiskan.[33]
c. Qiyas adwan (قياس الأدون), yaitu qiyas yang
berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya,
hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.[34]
2. Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illat-nya.
Qiyas dari segi kejelasan ‘illat terbagi kepada dua
macam:
a. Qiyas jali(قياس جلي), yaitu qiyas yang
‘illat-nya ditetapkan dalam nashbersamaan dengan penetapan hukum
ashal; atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash, namun titik
perbedaan antara ashal dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada
pengaruhnya.
b. Qiyas khafi (قياس خفي), yaitu qiyas yang
‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya, di-istinbat-kan
dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan ‘illat-nya bersifat zhanni.[35]
3. Pembagian qiyas dari segi keserasian
‘illat-nya dengan hukum:
Dari segi keserasian ‘illat-nya dengan hukum qiyas
terbagi kepada dua, yaitu:
a. Qiyas muatssir (قياس مؤثر), yang diibaratkan
dengan dua definisi:
Pertama, qiyas yang ‘illat penghubung antara ashal dan
furu’ ditetapkan dengan nashyang sharih atau ijma’.
Kedua, qiyas yang ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang
menghubungkan ashal dengan furu’ itu berpengaruh terhadap ‘ain
hukum.
b. Qiyas mulaim (قياس ملا ئم), yaitu qiyas yang
‘illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah
dalam bentuk munasib mulaim. Umpamanya, qiyas pembunuhan dengan
benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam yang ‘illat-nya pada ashal
dalam hubungannya dengan hukum pada ashal adalah dalam bentuk munasib
mulaim.[36]
4. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan
atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, terbagi tiga:
a.
Qiyas ma’na (قياس المعني) atau qiyas dalam makna ashal;
yaitu qiyas yang meskipun ‘illat-nya tidak dijelaskan dalam
qiyas namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat di bedakan,
sehingga furu’ itu seolah-olah ashal itu sendiri. Umpamanya hukum
membakar harta anak yatim yang di qiyas-kan kepada memakannya secara
tidak patut dengan ‘illat merusak harta anak yatim itu. Oleh karena
adanya kesamaan itu, maka furu’ tersebut seolah ashal itu
sendiri.
b.
Qiyas ‘illat (قياس علة), yaitu qiyas yang ‘illat-nya
dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum
ashal. Umpamanya meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar dengan
‘illat rangsangan yang kuat yang jelas terdapat dalam ashal dan furu’.
c.
Qiyas dilalah (قياس الدلالة), yaitu qiyas yang ‘illat-nya
bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri; namun ia merupakan keharusan
(kelaziman) bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat.
Umpamanya meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar dengan menggunakan
alasan “bau yang menyengat”. Bau itu merupakan akibat yang lazim dari
rangsangan kuat dalam sifat memabukkan.[37]
5. Pembagian qiyas dari segi metode (masalik)
yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’. Ini terbagi kepada 4
macam, yaitu:
a. Qiyas ikhalah (قياس الإخالة), yaitu qiyas yang
‘illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhalah.
b. Qiyas syabah (قياس الشبه), yaitu qiyas
yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode syabah.
c. Qiyas sabru (قياس السبر), yaitu qiyas yang
‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d. Qiyas thard (قياس الطرد), yaitu qiyas yang
‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode thard.[38]
[1]Rahman
Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 161.
[2]Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.
188.
[3]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 323.
[4]Karimullah,
Uhul Fiqh, (Madura: Yayasan Al-Fatah, 2009), hlm. 110.
[5]Ibid.
hlm. 111-112.
[6]Ibid.
hlm. 112-114.
[7]Ibid.
hlm. 114.
[8]Ibid.
hlm. 115.
[9]Ibid.
hlm. 115-116.
[10]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 342.
[11]Ibid.
hlm. 344.
[12]Ibid.
hlm. 344-346.
[13]Ibid.
hlm. 347.
[14]Ibid.
hlm. 347-350.
[15]Ibid.
hlm. 350.
[16]Ibid.
hlm. 350-351.
[17]Ibid.
hlm. 352.
[18]Ibid.
hlm. 353.
[19]Ibid.
hlm. 354-356.
[20]Ibid.
hlm. 362-365.
[21]Ibid.
hlm. 366-368.
[22]Ibid.
hlm.369-372.
[23]Ibid.
hlm. 372-373.
[24]Ibid.
hlm. 375-384.
[25]Ibid.
hlm. 385.
[26]Rahman
Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 162.
[27]Ibid.
hlm.163-164.
[28]Ibid.
hlm. 164.
[29]Ibid.
hlm. 164-165.
[30]Ibid.
hlm. 165.
[31]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 389-390.
[32]Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996),
hlm. 48.
[33]Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.
193.
[34]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 391.
[35]Ibid.
hlm. 391.
[36]Ibid.
hlm. 392.
[37]Ibid.
hlm. 392-393.
[38]Ibid.
hlm. 393.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar