ISTIHSAN
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI.
Disusun Oleh
:
IQOMATUL
FITRIYAH (20170703022090)
KHOLISATUL
AMALIYAH (20170703022104)
KURRATUL AINI (20170703022106)
LAFIFATUR ROHMAH (20170703022107)
MILA WASKIYAH (20170703022122)
NUR AINI (20170703022154)
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kehadirat Allah SWT., atas curahan nikmat dan limpahan
rahmat-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Istihsan”
ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqh yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI.
Terima kasih yang seluas-luasnya saya haturkan kepada rekan-rekan
serta berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun makalah ini.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Penulis
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
Penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi Penulis
sendiri maupun orang yang membacanya.
Pamekasan, 02
Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A.
Latar Belakang Penulisan Makalah .......................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................... 1
C.
Tujuan Penulisan Makalah ....................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN ........................................................................... 3
A.
Pengertian
Istihsan ................................................................... 3
B.
Dasar Hukum Istihsan............................................................... 7
C.
Macam-macam
Istihsan............................................................. 8
D.
Kedudukan
Istihsan.................................................................. 13
E.
Analisa Tentang Istihsan .......................................................... 14
BAB III PENUTUP ................................................................................... 16
A.
Kesimpulan .............................................................................. 16
B.
Saran ........................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh
siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbathhukum
dalam Islam.
Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan
akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga
agar proses ijtihad dan istinbath tetap
pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqhlah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang
tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqh tidaklah serta merta
menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbathpara
mujtahid. Salah satu cabang dari ilmu Ushul Fiqhyang dibahas di dalam
makalah ini adalah tentang istihsan, yaitu ketika seorang mujtahid
lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang
lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua
dari hukum pertama.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian istihsan ?
2.
Bagaimana dasar hukum istihsan ?
3.
Apa saja macam-macam istihsan ?
4.
Bagaimana kedudukan istihsan ?
5.
Bagaimana
analisa kami tentang istihsan ?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui
pengertian istihsan.
2.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk
mengetahui dasar hukum istihsan.
3.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk
mengetahui macam-macam istihsan.
4.
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk mengetahui kedudukan istihsan.
5.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk
mengetahui analisa kami
tentang istihsan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan
oleh para Ulama’. Pada dasarnya para ulama menggunakan istihsan dalam
arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”. Tetapi
dalam pengertian istilahnya para Ulama’ berbeda
pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefisinikan istihsan
tersebut. Ulama’ yang menggunakan metode istihsan dalam berijtihad,
mendefisinikan istihsan dengan pengertian yang berlainan dengan definisi
dari orang yang menolak cara istihsan. Sebaliknya Ulama’
yang menolak penggunaan istihsan mendefisinikan istihsan dengan
pengertian tidak sepeti yang didefisinikan pihak yang menggunakannya.
Seandainya mereka sepakat dalam mengartikan (mendefisinikan) istihsan
itu, maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai suatu
metode ijtihad.[1]
Secara etimologi (bahasa) istihsan
berasal dari kata kerja bahasa Arab “Istahsana-Yastahsinu-Istihsaanaan”
yang berarti mencari kebaikan.[2] Ada pula istihsan secara bahasa di artikanmenilai sesuatu
yang lebih baik.[3] Ada pula
dapat diartikan dengan memperhitungkan sesuatu yang lebih baik atau adanya
sesuatu itu lebih baik atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang
lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu.[4]
Sedangkan secara terminologi
(istilah), ada beberapa definisi istihsan yang dirumuskanUlama’ Ushul.
Diantara definisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang.
Ada juga definisi yang disepakati semua pihak, namun diantaranya juga ada yang
diperselisihkan dalam pengamalannya.[5]
1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu :
a. Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat
dari padanya (qiyas pertama).
b. Beralih dari penggunaan suatu dalil kepada adat kebiasaan karena
suatu kemaslahatan.
Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak
diperdebatkan karena yang tekuat diantara dua qiyas harus di dahulukan.
Sedangkan definisi yang kedua ada pihak yang menolak. Alasannya, bila dapat
dipastikan bahwa adat istiadat itu baik kerena berlaku seperti itu pada masa
Nabi atau sesudahnya, dan tanpa ada penolakan dari Nabi atau yang lainnya,
tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam bentuk nash atau ijma’.
Dalam bentuk seperti ini, adat itu harus diamalkan secara pasti. Namun bila
tidak terbukti kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.[6]
2.
Istilah istihsan
dikalangan Ulama’ Malikiyah diantaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan Al-Syatibi
(salah seorang pakar Malikiyah) :
“Istihsan dalam mazbab
Maliki adalah mengunakan kemaslahatan yang bersifat juz'i sebagai pengganti
dalil yang bersifat kulli”
Definisi di
atas mengandung arti bahwa seorang mujtahid, semestinya menetapkan
hukumdengan berpedoman kepada dalil yang ada dan
bersifat umum. Namun karena dalam keadaan tertentu mujtahid tersebut melihat
adanya kemaslahatan yang bersifat khusus, maka ia dalam menetapkan hukum tidak
berpedoman kepada dalil umum yang ada, tetapi menggunakan kemaslahatan atau
kepentingan yang bersifat khusus itu.[7]
3.
Di kalangan Ulama’
Hanabilah terdapat tiga definisi sebagaimana dikemukakanIbn Qudamah :
a. Beralihmya
mujahid dalam menetapkan hukum terhadapsuatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanyadalil khusus dalam Al-Qur'an atau sunah.
b. Istihsan itu
ialah apa-apa yang dianggap lebih baik olehseorang mujahidberdasarkan pemikiran
akalnya.
c.
Dalil yang muncul dalam diri mujahid yang ia tidak
mampumenjelaskannya.
Dari definisi istihsan
pertama yang berlaku di kalangan Ulama Hambali tersebut dapat disimpulkan bahwa
seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaimana yang ditetapkan pada
kasus yang sejenis dengan kasus itu adalah karena ia mengikuti dalil lain dari
al-Qur'an dan Sunnah. Terhadap definisi kedua mungkin timbul keberatan dari
ulama lain karena apa yang dianggap mujahid lebih baik menuntut akalnya
itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya. Definisi ketiga juga mungkin
timbul sanggahan, sebagaimana dikemukakan Ibnu Subki yang mengatakan bahwa jika
dalil yang muncul dalam diri mujahid itu nyata adanya, maka cara
tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil itu,
terapi bila dalil tersebut tidak betul, maka cara istihsan seperti itu
tertolak.[8]
4.
Dikalangan Ulama’
Hanafiyah istihsan itu ada dua macam yang
dikemukakan dalam dua rumusan seperti dikutip oleh Al-Sarkhisi
:
a. Beramal dengan
iitihad dan unum pendapat dalam menentukan sesuatu yangsyara' menyerahkannya
kepadapendapat kita.
b. Dalil yang
menyalahi qiyás yang zahir yang didahului prasangka sebelumdiadakan pendalaman
terhadap dalil itu,namun setelah diadakan penelitian yang mendalam
terhadapdalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yangsama dengan itu
ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyâsitu lebih kuat dan oleh karenanya
wajib diamalkan.
Dari penelaahan
terhadap dua definisi yang berlaku di kalangan Ulama’
Hanafiyah tersebut dapat diberikan penjelasan bahwa arti
istihsan dalam definisi pertama tidak menyalahi sesuatu apa
pun, karena pengertian “yang terbaik" dalam hal ini adalah di
antara dua hal yang kita dapat memilih, karena syara'telah memberikan
hak pilih kepada kita. Umpamanya penetapan ukuran mut'ah dari suami yang
menceraikan istrinya selum dicampuri dan sehelumnya belum ditetapkan maharnya.
Memberikan mut'ah itu wajib, yang ukurannya menurut kemampuan suami
dengan syarat harus sesuai dengan “kepatutan". Tentang ukuran patut itu
sendiri diserahkan kepada apa yang lebih baik
berdasarkan pendapat yang umum.[9]
Dalam definisi
kedua terkandung adanya perbenturan dalil dengan
qiyas zhahir. Semula ada
prasangka lemah pada dalil itu karena belum diadakan penelitian yang mendalam
namun sesudah diteliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat dari pada qiyas.
Dalam hal ini dipandang lebih baik menggunakan dalil
itu ketimbang menggunakan qiyas yang menurut lahirnya kuat.
Meninggalkan beramal dengan qiyas untuk mengamamalkan
dalil itu disebut "istihsan" menurut Ulama’
Hanafiyah.[10]
Ulama’ senior
Ushul Fiqh Hanafi Al-Bazdawi dalam bukunya Ushul Al-Bazdawi tidak merumuskan al-istihsan
secara definitif, namun menjelaskan apa yang dimaksud dengan istihsan
itu, yaitu: istihsan itu adalah salah satu bentuk dari qiyas. Qiyas
ada dua bentuknya. Pertama, qiyas yang kuat illat-nya, namun
lemah atsar-nya (atsar berarti maslahat yang ditimbulkannya) yang
di namai qiyas jali. Kedua, qiyas yang lemah illat-nya,
namun kuat atsar-nya. Qiyas ini disebut qiyas khafi.[11]
Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa istihsan itu adalah mendahulukan qiyas
khafi atas qiyas jali. Atsar sebuah qiyas didasarkan
kepada mashlahat yang dihasilkannya, adapun mashlahat itu
didasarkan kepada pertimbangan akal sedangkan yang menjadi dasar bagi illat
adalah nash yang digunakan dalam menetapkan illat pada qiyas
itu. Dengan demikian, istihsan yang digagas oleh Hanafi ini
mengandungarti mendahulukan pertimbangan akal dari pada pertimbangannash
hukum. Inilah pokok halangan bagi ulama di luar Hanafi untuk
menolak istihsan itu.[12]
B.
Dasar Hukum
Istihsan
Dasar-dasar istihsan
terdapat dalam al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW. antara lain :
1. Dasarnya dalam al-Quran
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚأُولَٰئِكَالَّذِينَهَدَاهُمُ
اللَّهُ ۖوَأُولَٰئِكَهُمْأُولُوالْأَلْبَابِ
Artinya : “Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah
orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal.”(QS Az-Zumar : 18).[13]
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Artinya
: “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba,
sedang kamu tidak menyadarinya.” (QS Az-Zumar : 55).[14]
Dalam ayat ini
Allah SWT. memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah
menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah.[15]
2. Dasarnya dalam Hadits
عن
أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خيردينكم أيسره وخير
العبادةالفقه.(رواه ابن عبد البر)
“Anas r.a. berkata bahwaRasulullah SAW bersabda:Sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baik
ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”.(HR.Ibnu Abdul
Barr).[16]
C.
Macam-Macam
Istihsan
1. Ditinjau
dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada tiga jenis:
a.
Beralih dari apa yang ditutut oleh qiyas–dhahir(qiyas-jali) kepada yang
dikehendaki oleh qiyas-khafi. Dalam
hal ini, si mujtahid tidak menggunakan qiyas
dhahir dalam meetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi karena menurut perhitungannya cara itulah yang palng
kuat (tepat). Umpamanya dalam hal kasus mewakafkan tanah yang didalamnya
terdapat jalan dan sumber air minum. Apakah dengan semata mewakafkan tanah
sudah meliputi jalan dan sumber air minum itu atau tidak. Kalau si mujtahid
menggunakan pendekatan qiyas yang
biasa, maka dengan hanya mewakafkan tanah tidak otomatis termasuk jalan dan
sumber air tersebut, sebagaimana berlaku dalam transaksi jual beli, segi
kesamaan antara wakaf dan jual beli dalam hal ini adalah sama-sama melepaskan
pemilikan atas tanah. Pendekatan seperti ini disebut qiyas-jali atau qiyas dhahir.
Namun si mujtahid dalam kasus tersebut beralih dari qiyas jali dengan menempuh pendekatan lain, yaitu menyamakannya
dengan transaksi sewa-menyewa sehingga menghasilkan kesimpulan hokum yang lain,
yaitu termasuknya jalan dan sumber air ke dalam tanah yang diwakafkan, meskipun
tidak disebutkan dalam akad wakaf. Pendekatan seperti ini juga menggunakan qiyas, namun dari segi kekuatan illat-nya dianggap agak lemah, sehingga
dinamakan qiyas khafi (qiyas yang samar). Meski demikian, si
mujtahid lebih cenderung menempuh cara ini karena pengaruhnya dalam mewujudkan
kemudahan lebih tinggi. Pendekatan seperti ini disebut istihsan atau lengkapnya
disebut istihsan qiyas.[17]
b.
Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang kepada hukum ang bersifat
khusus. Jadi,meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam mentapkan hukum
suau masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan
sebagai gantiya digunakan dalil khusus. Umpamanya penerapan sangsi hukum
terhadap pencuri. Menurut ketentuan umum berdasarkan dalil umum dalam nash al-quran, sangsinya adalah potong
tangan, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Maidah (5):38.Berdasarkan ayat
tersebut, bila seseorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk
dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong tangan.
Namun bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik atau kelaparan maka hukum
potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan bagi si pencuri
(dibebaskan dari hukuman potong tangan), karena dalam kasus ini berlaku hukum
khusus. Beralihnya dari hukum umum pada hukum khusus tersebut itu disebut istihsan.[18]
c.
Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki
hukum pengecualian. Umpamanya wakaf yang dilakukan oleh orang yang berada
dibawah perwakilan karena belum dewasa atau mahjur
Alaih li Alsafahi (orag yang diampu karena beum dewasa). Berdasarkan
ketentuan yang bersifat kulli ia
tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwewenang melakukan kebijakan
dengan hartanya (taberru) berdasarkan
pendekatan istihsan, ketentuan ini
dikecualikan bila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya sendiri. Meskipun ia
tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya namun dengan
melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat menyelamatkan hartanya sesuai dengan
tujuan adanya perwalian yang hakikatnya adalah melindungi harta orang yang
dalam perwalian.[19]
2. Ditinjau
dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dlam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi kepada empat jenis,
yaitu:
a.
Istihsan
yang sandarannya adalah qiyas khafi.
Dalam hai ini si mujtahid meninggalkan qiyas
yang pertama karena ia menemukan bentuk qiyas
yang lain, meskipun qiyas yang
lain itu dari satu segi memiliki kelemahan, namun dari segi pengaruhnya
terhadap kemaslahatan lebih tinggi. Cara seperti ini oleh si mujtahid dinilai
sebagai cara yang terbaik dalam menentukan hokum. Dengan demikian menggunakan istihsanberdalil dengan qiyas khafi. Istihsan seperti ini
disebut dengan istihsan qiyas.[20]
Contoh
lain (selain yang disebutkan di atas), adalah dalam kasus penetapan hokum
bersih tidaknya air yang bekas di jilat burung buas (seperti elang dan gagak). Nash syara’ tidak ada menyebutkan
hukumnya. Dalam kasus ini, cara yang biasa ditempuh ulama adalah melalui qiyas yaitu meng-qiyas-kannya kepada air yang bekas dijilat binatang buas yang
hukumnya tidak bersih. ‘illat yang
digunakan dalam qiyas ini adalah
:dagingnya sama-sama haram untk dimakan” sehingga ukum air yang bekas
dijilatnya juga sama tidak bersih. Air liur yang tidak bersih yang menyebabkan
tidak bersinya air yang bekas dijilat biatang buas itu ada hubungan dengan
dagingnya.[21]
Berdasarkan
pendekatan istihsan dengan
menggunakan qiyas khafi sebagi
sandaran, maka air bekas dijilat burung buas itu bersih. Dalam hal ini, burung
buas itu tidak di-qiyas-kan kepada
binatang buas (dalam bentuk qiyas jali),
tetapi di-qiyas-kan kepada air yang
bekas dimunum burung biasa adalah bersih, krea burung tu minum dengan paruhnya
sehingga air itu tidak bersentuhan dengan liur burung yang melekat di lidahnya.
Keadaan seperti ini juga berlaku pada burung buas. Meskipun dagingnya harang
dimakan, namun daging burung buas yang kotor itu hanya menyatu dalam air
liurnya yang tidak bersentuhan dengan air, karena burung buas itu (seperti
halnya burung biasa) minum dengan paruhnya, sedangkan paruhnya tidak kotor.[22]
b.
Istihsan
yang sandaranya adalah nash. Dalam
hal ini, si mujtahid dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang menuntunnya. Umpamanya dalam
masalah jual beli salam (pesanan atau
inden). Pada saat berlangsung transaksi jual beli, barang yang diperjual
belikan itu belum ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjadi sandaran qiyas menurut biasanya transaksi seperti
itu tidak boleh dan tidak sah karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan
jual beli berupa tersedianyan barang yang diperjualbelikan pada saat
berlangsung transaksi. Namun cara begini tidak dipakai karen telah ada nash yang mengaturnya, yaitu Hadist Nabi
yang melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu barang yang tidak ada
ditempat kecuali pada jual beli salam
(pesanan).Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian itu, istihsan dalam bentuk ini diebut “Istihsan Nash”.[23]
c.
Istihsan
yang
sandaranya adalah urf (adat). Dalam
hal ini, si mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum
tetapi menggunakan cara laindengan dasar prtimbangan atau sandaran kepada
kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadan. Istihsan daam bentuk ini disebut istihsan al-urf.[24]
Umpamanya
penggunaan pemandian umum (kolam renang). Bagi orang yang menggunakan pemandian
umum biasanya dikeai biaya tertentu dalam bentuk tanda masuk tanpa diperhitungkan
banyakny air yang dipakainya dan lama waktu yang digunakannya. Hal ini sudah
merupakan kebiasaan yang umum yang berlaku dimana saja.[25]
Kalau
dikembalikan kepada hukum umum, maka sulit untuk dapat diterima,karena sudah
ada ketentuan umum yang harus diikuti. Kalu dalam kasus ini mengikuti ketentuan
jual beli, tentu menyalahi ketentuan, karena dalam jual beli itu untuk kadar
uang yang ditentukan harus tertentu pula air yang digunakan, padahal dalam cara
pemandian umum tidak berlaku yang demikian. Kalau mengikuti ketentuan sewa
menyiwa, yaitu tertentunya waktu pemakaian barang yang disewa, padahal pada
pemandian umum tidak ada batas waktu. Dengan demikian ketentuan umum jual beli
dan sewa menyewa ditinggalkan karena menyandar kepada adat kebiasaan yang berlaku
dan diterima semua pihak.[26]
d.
Istihsan
yang
sandarannya adalah darurat. Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan dalil
yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki
pengecualian. Istihsan dalam bentuk
ini disebut istihsan al-dharurah.
Umpamanya tidak diberlakukannya hukuman potong tangan terhadap pencuri karena
pencurian itu dilakukan untuk mempertahankan hidup atau darurat, sebagaimana
telah disebutkan diatas. [27]
3. Menurut
syatibi, dikalangan madzhab Maliki dikenl pula istihsan yang dalam praktiknya dinamai dengan istislah ( akan diuraikan tersendiri). Mereka membagi istihsan itu kepada tiga macam:
a. Meninggalakan
dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf (kebiasaan). Umpamanya
ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila seseorang dalam sumpahnya menyebutkan
tidak akan memakan daging, tetapi ternyata kemudian ia memakan ikan, maka ia
dinyatakan tidak melanggar sumph meskipun ikan itu dalam Al-Quran termasuk
dalam daging. Alasannya karena dalam urf (kebiasaan) yang berlaku dalam ucapan
sehari-hari, ikan itu bukan (tidak termasuk) daging.[28]
b. Meninggalkan
dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain
karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia. Umpamanya tanggung
jawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang bila barang yang
diperbaikinya itu rusak ditangannya. Berdasarkan pendekatan qiyas, ia tidak perlu mengganti, karena
kerusakan barang itu terjadi waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan
pendekatan istihsan cara seperti ini
ditinggalkan dan ia harus mengganti barang tersebut demi terwujuddnya
kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain. [29]
c. Meninggalkan
dalil yang biasanya dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberikn
kemudahan kepada umat. Umpamanya adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu
dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan
yang berlaku, kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai standart takaran yang
berlaku.[30]
D.
Kedudukan
Istihsan
Kedudukan atau kehujjahan istihsan menururt pada Ulama’:
1.
Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan.
Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul
yang meneybutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam
beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat pemasalahan yang
menyangkut istihsan.[31]
2.
Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap
dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu
Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa menggunakan istihsan.[32]
3.
Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul menyebutkan bahwa golongan
Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam
al-Amudi dan Ibnu Hazib. [33]
4.
Ulama
Syafi’iyah
Golongan Syafi’iyah tidak mengakui adanya istihsan, dan
mereka betul-betul menjauhi. Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang
menggunakan Istihsan berarti ia telah membuat syari’at”.[34]Maksudnya, orang itu membuat Syari’at baru dan menjadikan dirinya
sebagai pembentuk Syari’at, padahal yang berhak membuat atau membentuk Syari’at
hanyalah Allah SWT.[35] Beliau juga berkata “Segala
urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupainya
sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan
istihsan”.[36]
E.
Analisa
Tentang Istihsan
Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam
mengambil hukum Islam. Berbeda dengan al-Qur'an, Hadist, ijma', dan qiyas
yang kedudukannya sudah di sepakati oleh para Ulama’ sebagai sumber hukum
Islam, istihsan adalah salah satu metolodologi yang digunakan hanya oleh
sebagian Ulama’ saja, tidak semuanya.
Al-imam asy-Syafi'i dalam madzhab yang termasuk
kalangan ulama yang tidak menerima istihsan dalam merujuk sumber-sumber
syari’at Islam. Sebaliknya, al-Imam Abu Hanifah justru menggunakannya.
Disamping madzhab Hanafi, termasuk sebagian madzhab Maliki dan madzhab Hambali.
Dan istihsan itu sendiri secara bahasa berarti
menganggap baik atau mencari yang baik. Sedang menurut Ulama’ fiqh,
adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara'.
Jadi singkatnya, istihsan adalah
tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada
suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Seperti contohnya dimasa kini, sedang booming
mengenai belanja melalui internet atau online shop. Menurut pembagian
istihsan yaitu istihsan dengan ijma', akad seseorang yang memesan
barang-barang dengan tukangnya tidak sah menurut penetapan qiyas karena
disamakan dengan membeli yang tidak ada barangnya. Tetapi istihsan
menetapkan sebagai akad yang sah karena perbuatan ini dilakukan oleh masyarakat
banyak, berarti disepakati kebolehannya. Dan juga, kemungkinan ditetapkannya
kebolehan transaksi seperti ini karena yang memungkinkan orang untuk langsung
membeli di tempat produksi dan untuk memberikan kemudahan orang yang berjualan
untuk mengembangkan bisnisnya meskipun tidak membuka lapak di semua tempat. Ini
bukti bahwa agama tidak memberatkan umatnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istihsan
adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui
diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara
keseluruhan. Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak
berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif,
tetapi berdasarkan tujuan (maqosid)syara’.
Istihsan
dibagi menjadi dua, yaitu istihsan dipandang dari segi pemindahan
hukumnya, dan istihsan dipandang dari sandaran dalilnya. Dari segi
pemindahan hukumnya istihsan berpindah dengan cara dari qiyas jalli
kepada qiyas khafi. Dari segi sandaran dalilnya istihsan di
sandarkan kepada al-Qur’an dan Hadist, ijma, ‘urf, ad-Dharurah dan al-Mashlahah al-Mursalah. Terdapat
perbedaan pendapat antara ulama’ ushul fiqh dalam menetapkan istihsan
sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian
Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum Syara’. Tetapi menurut Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan
yang berbeda mengenai istihsan. Menurut Imam Syafi’i dengan qaulnya
yang mashur, bahwa ”Barang siapa yang berhujjah dengan istihsan maka
ia telah membuat sendiri hukum syara’”. Imam Syafi’i berkeyakinan bahwa
berhujah dengan Istihsan, berarti telah menentukan syariat baru,
sedangkan yang berhak membuat Syariat
itu hanyalah Allah SWT.
B.
Saran
Demikian makalah istihsan
yang kami susun. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan dalam makalah
yang kami susun. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif demi terciptanya kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca maupun penyusunnya.
Az-Zuhaili, Wahbah. al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami.
Beirut: Dar al-kitab, 1997.
Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqh.
Jakarta: Amzah, 2014.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 2.
Jakarta: Kencana, 2008.
Umam, Chairul. Ushul Fiqh 1.
Bandung: CV Pustaka Setia, 1998.
Usman,
Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1994.
Http://www.bacaanmadani.com/2017/05/pengertian-istihsan-dasar-hukum.html.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm. 348.
[8] Ibid. hlm. 348-349.
[9] Ibid. hlm. 350.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[15] Sahdan, “Pengertian Istihsan
Dasar Hukum”, Bacaan Madani, diakses dari http://www.bacaanmadani.com/2017/05/pengertian-istihsan-dasar-hukum.html, pada tanggal
09April 2018 pukul
16.00.
[18]Ibid.
[19]Ibid.
hlm. 352-353.
[20]Ibid.
hlm. 353.
[21]Ibid.
hlm. 353-354.
[22]Ibid.
hlm. 354.
[23]Ibid.
[24]Ibid.
hlm. 354-355.
[25]Ibid.
hlm. 355.
[26]Ibid.
[27]Ibid.
[28]Ibid.
hlm. 355-356.
[29]
Ibid. hlm. 356.
[30]Ibid.
[31] Iskandar Usman, “Istihsan dan Pembaharuan Hukum
Islam”,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 112.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Wahbah az-Zuhaili, “al-Wasith
fi Ushul al-Fiqh al-Islami” (Beirut: Dar al-kitab, 1966), hlm. 285.
[35] Chairul Umam, “Ushul Fiqih 1”
(Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 131.
[36] Iskandar Usman, “Istihsan dan Pembaharuan Hukum
Islam”,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar