Selasa, 05 Juni 2018

ISTIHSAN


ISTIHSAN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI.
Disusun Oleh :
IQOMATUL FITRIYAH                  (20170703022090)
KHOLISATUL AMALIYAH           (20170703022104)
KURRATUL AINI                            (20170703022106)
LAFIFATUR ROHMAH                  (20170703022107)
MILA WASKIYAH                          (20170703022122)
NUR AINI                                         (20170703022154)






PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2018

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT., atas curahan nikmat dan limpahan rahmat-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Istihsan” ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI.
Terima kasih yang seluas-luasnya saya haturkan kepada rekan-rekan serta berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun makalah ini.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah  ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah Penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi Penulis sendiri maupun orang yang membacanya.

Pamekasan, 02 Maret 2018

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................  i
DAFTAR ISI ..............................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................  1
A.       Latar Belakang Penulisan Makalah ..........................................  1
B.       Rumusan Masalah ....................................................................  1
C.       Tujuan Penulisan Makalah .......................................................  1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 3
A.       Pengertian Istihsan ................................................................... 3
B.       Dasar Hukum Istihsan............................................................... 7
C.       Macam-macam Istihsan............................................................. 8
D.       Kedudukan Istihsan.................................................................. 13
E.        Analisa Tentang Istihsan ..........................................................  14
BAB III PENUTUP ................................................................................... 16
A.       Kesimpulan .............................................................................. 16
B.       Saran ........................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 17

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbathhukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqhlah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqh tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbathpara mujtahid. Salah satu cabang dari ilmu Ushul Fiqhyang dibahas di dalam makalah ini adalah tentang istihsan, yaitu ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.
B.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian istihsan ?
2.         Bagaimana dasar hukum istihsan ?
3.         Apa saja macam-macam istihsan ?
4.         Bagaimana kedudukan istihsan ?
5.         Bagaimana analisa kami tentang istihsan ?

C.      Tujuan Penulisan
1.         Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengertian istihsan.
2.         Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum istihsan.
3.         Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui macam-macam istihsan.
4.         Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan istihsan.

5.         Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui analisa kami tentang istihsan.




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para Ulama’. Pada dasarnya para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya para Ulama’ berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefisinikan istihsan tersebut. Ulama’ yang menggunakan metode istihsan dalam berijtihad, mendefisinikan istihsan dengan pengertian yang berlainan dengan definisi dari orang yang menolak cara istihsan. Sebaliknya Ulama’ yang menolak penggunaan istihsan mendefisinikan istihsan dengan pengertian tidak sepeti yang didefisinikan pihak yang menggunakannya. Seandainya mereka sepakat dalam mengartikan (mendefisinikan) istihsan itu, maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai suatu metode ijtihad.[1]
Secara etimologi (bahasa) istihsan berasal dari kata kerja bahasa Arab “Istahsana-Yastahsinu-Istihsaanaan” yang berarti mencari kebaikan.[2] Ada pula istihsan secara bahasa di artikanmenilai sesuatu yang lebih baik.[3] Ada pula dapat diartikan dengan memperhitungkan sesuatu yang lebih baik atau adanya sesuatu itu lebih baik atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu.[4]
Sedangkan secara terminologi (istilah), ada beberapa definisi istihsan yang dirumuskanUlama’ Ushul. Diantara definisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak, namun diantaranya juga ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya.[5]

1.    Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu :
a.    Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat dari padanya (qiyas pertama).
b.    Beralih dari penggunaan suatu dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.
Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak diperdebatkan karena yang tekuat diantara dua qiyas harus di dahulukan. Sedangkan definisi yang kedua ada pihak yang menolak. Alasannya, bila dapat dipastikan bahwa adat istiadat itu baik kerena berlaku seperti itu pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa ada penolakan dari Nabi atau yang lainnya, tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam bentuk nash atau ijma’. Dalam bentuk seperti ini, adat itu harus diamalkan secara pasti. Namun bila tidak terbukti kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.[6]
2.    Istilah istihsan dikalangan Ulama’ Malikiyah diantaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan Al-Syatibi (salah seorang pakar Malikiyah) :
 “Istihsan dalam mazbab Maliki adalah mengunakan kemaslahatan yang bersifat juz'i sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli”
Definisi di atas mengandung arti bahwa seorang mujtahid, semestinya menetapkan hukumdengan berpedoman kepada dalil yang ada dan bersifat umum. Namun karena dalam keadaan tertentu mujtahid tersebut melihat adanya kemaslahatan yang bersifat khusus, maka ia dalam menetapkan hukum tidak berpedoman kepada dalil umum yang ada, tetapi menggunakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus itu.[7]
3.    Di kalangan Ulama’ Hanabilah terdapat tiga definisi sebagaimana dikemukakanIbn Qudamah :
a.    Beralihmya mujahid dalam menetapkan hukum terhadapsuatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanyadalil khusus dalam Al-Qur'an atau sunah.
b.    Istihsan itu ialah apa-apa yang dianggap lebih baik olehseorang mujahidberdasarkan pemikiran akalnya.
c.    Dalil yang muncul dalam diri mujahid yang ia tidak mampumenjelaskannya.
Dari definisi istihsan pertama yang berlaku di kalangan Ulama Hambali tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaimana yang ditetapkan pada kasus yang sejenis dengan kasus itu adalah karena ia mengikuti dalil lain dari al-Qur'an dan Sunnah. Terhadap definisi kedua mungkin timbul keberatan dari ulama lain karena apa yang dianggap mujahid lebih baik menuntut akalnya itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya. Definisi ketiga juga mungkin timbul sanggahan, sebagaimana dikemukakan Ibnu Subki yang mengatakan bahwa jika dalil yang muncul dalam diri mujahid itu nyata adanya, maka cara tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil itu, terapi bila dalil tersebut tidak betul, maka cara istihsan seperti itu tertolak.[8]
4.    Dikalangan Ulama’ Hanafiyah istihsan itu ada dua macam yang dikemukakan dalam dua rumusan seperti dikutip oleh Al-Sarkhisi :
a.    Beramal dengan iitihad dan unum pendapat dalam menentukan sesuatu yangsyara' menyerahkannya kepadapendapat kita.
b.    Dalil yang menyalahi qiyás yang zahir yang didahului prasangka sebelumdiadakan pendalaman terhadap dalil itu,namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadapdalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yangsama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyâsitu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.
Dari penelaahan terhadap dua definisi yang berlaku di kalangan Ulama’ Hanafiyah tersebut dapat diberikan penjelasan bahwa arti istihsan dalam definisi pertama tidak menyalahi sesuatu apa pun, karena pengertian “yang terbaik" dalam hal ini adalah di antara dua hal yang kita dapat memilih, karena syara'telah memberikan hak pilih kepada kita. Umpamanya penetapan ukuran mut'ah dari suami yang menceraikan istrinya selum dicampuri dan sehelumnya belum ditetapkan maharnya. Memberikan mut'ah itu wajib, yang ukurannya menurut kemampuan suami dengan syarat harus sesuai dengan “kepatutan". Tentang ukuran patut itu sendiri diserahkan kepada apa yang lebih baik berdasarkan pendapat yang umum.[9]
Dalam definisi kedua terkandung adanya perbenturan dalil dengan qiyas zhahir. Semula ada prasangka lemah pada dalil itu karena belum diadakan penelitian yang mendalam namun sesudah diteliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat dari pada qiyas. Dalam hal ini dipandang lebih baik menggunakan dalil itu ketimbang menggunakan qiyas yang menurut lahirnya kuat. Meninggalkan beramal dengan qiyas untuk mengamamalkan dalil itu disebut "istihsan" menurut Ulama’ Hanafiyah.[10]
Ulama’ senior Ushul Fiqh Hanafi Al-Bazdawi dalam bukunya Ushul Al-Bazdawi tidak merumuskan al-istihsan secara definitif, namun menjelaskan apa yang dimaksud dengan istihsan itu, yaitu: istihsan itu adalah salah satu bentuk dari qiyas. Qiyas ada dua bentuknya. Pertama, qiyas yang kuat illat-nya, namun lemah atsar-nya (atsar berarti maslahat yang ditimbulkannya) yang di namai qiyas jali. Kedua, qiyas yang lemah illat-nya, namun kuat atsar-nya. Qiyas ini disebut qiyas khafi.[11]
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa istihsan itu adalah mendahulukan qiyas khafi atas qiyas jali. Atsar sebuah qiyas didasarkan kepada mashlahat yang dihasilkannya, adapun mashlahat itu didasarkan kepada pertimbangan akal sedangkan yang menjadi dasar bagi illat adalah nash yang digunakan dalam menetapkan illat pada qiyas itu. Dengan demikian, istihsan yang digagas oleh Hanafi ini mengandungarti mendahulukan pertimbangan akal dari pada pertimbangannash hukum. Inilah pokok halangan bagi ulama di luar Hanafi untuk menolak istihsan itu.[12]
B.       Dasar Hukum Istihsan
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW. antara lain :
1.    Dasarnya dalam al-Quran
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚأُولَٰئِكَالَّذِينَهَدَاهُمُ
اللَّهُ ۖوَأُولَٰئِكَهُمْأُولُوالْأَلْبَابِ
Artinya : “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.”(QS Az-Zumar : 18).[13]
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Artinya : “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.” (QS Az-Zumar : 55).[14]

Dalam ayat ini Allah SWT. memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.[15]
2.    Dasarnya dalam Hadits
عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خيردينكم أيسره وخير العبادةالفقه.(رواه ابن عبد البر)

“Anas r.a. berkata bahwaRasulullah SAW bersabda:Sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”.(HR.Ibnu Abdul Barr).[16]
C.      Macam-Macam Istihsan
1.      Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada tiga jenis:
a.    Beralih dari apa yang ditutut oleh qiyas–dhahir(qiyas-jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas-khafi. Dalam hal ini, si mujtahid tidak menggunakan qiyas dhahir dalam meetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi karena menurut perhitungannya cara itulah yang palng kuat (tepat). Umpamanya dalam hal kasus mewakafkan tanah yang didalamnya terdapat jalan dan sumber air minum. Apakah dengan semata mewakafkan tanah sudah meliputi jalan dan sumber air minum itu atau tidak. Kalau si mujtahid menggunakan pendekatan qiyas yang biasa, maka dengan hanya mewakafkan tanah tidak otomatis termasuk jalan dan sumber air tersebut, sebagaimana berlaku dalam transaksi jual beli, segi kesamaan antara wakaf dan jual beli dalam hal ini adalah sama-sama melepaskan pemilikan atas tanah. Pendekatan seperti ini disebut qiyas-jali atau qiyas dhahir. Namun si mujtahid dalam kasus tersebut beralih dari qiyas jali dengan menempuh pendekatan lain, yaitu menyamakannya dengan transaksi sewa-menyewa sehingga menghasilkan kesimpulan hokum yang lain, yaitu termasuknya jalan dan sumber air ke dalam tanah yang diwakafkan, meskipun tidak disebutkan dalam akad wakaf. Pendekatan seperti ini juga menggunakan qiyas, namun dari segi kekuatan illat-nya dianggap agak lemah, sehingga dinamakan qiyas khafi (qiyas yang samar). Meski demikian, si mujtahid lebih cenderung menempuh cara ini karena pengaruhnya dalam mewujudkan kemudahan lebih tinggi. Pendekatan seperti ini disebut istihsan  atau lengkapnya disebut istihsan qiyas.[17]
b.    Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang kepada hukum ang bersifat khusus. Jadi,meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam mentapkan hukum suau masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan sebagai gantiya digunakan dalil khusus. Umpamanya penerapan sangsi hukum terhadap pencuri. Menurut ketentuan umum berdasarkan dalil umum dalam nash al-quran, sangsinya adalah potong tangan, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Maidah (5):38.Berdasarkan ayat tersebut, bila seseorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong tangan. Namun bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik atau kelaparan maka hukum potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan bagi si pencuri (dibebaskan dari hukuman potong tangan), karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus. Beralihnya dari hukum umum pada hukum khusus tersebut itu disebut istihsan.[18]
c.    Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian. Umpamanya wakaf yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perwakilan karena belum dewasa atau mahjur Alaih li Alsafahi (orag yang diampu karena beum dewasa). Berdasarkan ketentuan yang bersifat kulli ia tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwewenang melakukan kebijakan dengan hartanya (taberru) berdasarkan pendekatan istihsan, ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya sendiri. Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat menyelamatkan hartanya sesuai dengan tujuan adanya perwalian yang hakikatnya adalah melindungi harta orang yang dalam perwalian.[19]
2.      Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dlam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi kepada empat jenis, yaitu:
a.    Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. Dalam hai ini si mujtahid meninggalkan qiyas yang pertama karena ia menemukan bentuk qiyas yang lain, meskipun qiyas yang lain itu dari satu segi memiliki kelemahan, namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi. Cara seperti ini oleh si mujtahid dinilai sebagai cara yang terbaik dalam menentukan hokum. Dengan demikian menggunakan istihsanberdalil dengan qiyas khafi. Istihsan seperti ini disebut dengan istihsan qiyas.[20]
Contoh lain (selain yang disebutkan di atas), adalah dalam kasus penetapan hokum bersih tidaknya air yang bekas di jilat burung buas (seperti elang dan gagak). Nash syara’ tidak ada menyebutkan hukumnya. Dalam kasus ini, cara yang biasa ditempuh ulama adalah melalui qiyas yaitu meng-qiyas-kannya kepada air yang bekas dijilat binatang buas yang hukumnya tidak bersih. ‘illat yang digunakan dalam qiyas ini adalah :dagingnya sama-sama haram untk dimakan” sehingga ukum air yang bekas dijilatnya juga sama tidak bersih. Air liur yang tidak bersih yang menyebabkan tidak bersinya air yang bekas dijilat biatang buas itu ada hubungan dengan dagingnya.[21]
Berdasarkan pendekatan istihsan dengan menggunakan qiyas khafi sebagi sandaran, maka air bekas dijilat burung buas itu bersih. Dalam hal ini, burung buas itu tidak di-qiyas-kan kepada binatang buas (dalam bentuk qiyas jali), tetapi di-qiyas-kan kepada air yang bekas dimunum burung biasa adalah bersih, krea burung tu minum dengan paruhnya sehingga air itu tidak bersentuhan dengan liur burung yang melekat di lidahnya. Keadaan seperti ini juga berlaku pada burung buas. Meskipun dagingnya harang dimakan, namun daging burung buas yang kotor itu hanya menyatu dalam air liurnya yang tidak bersentuhan dengan air, karena burung buas itu (seperti halnya burung biasa) minum dengan paruhnya, sedangkan paruhnya tidak kotor.[22]
b.    Istihsan yang sandaranya adalah nash. Dalam hal ini, si mujtahid dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang menuntunnya. Umpamanya dalam masalah jual beli salam (pesanan atau inden). Pada saat berlangsung transaksi jual beli, barang yang diperjual belikan itu belum ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjadi sandaran qiyas menurut biasanya transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak sah karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan jual beli berupa tersedianyan barang yang diperjualbelikan pada saat berlangsung transaksi. Namun cara begini tidak dipakai karen telah ada nash yang mengaturnya, yaitu Hadist Nabi yang melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu barang yang tidak ada ditempat kecuali pada jual beli salam (pesanan).Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian itu, istihsan dalam bentuk ini diebut “Istihsan Nash”.[23]
c.    Istihsan yang sandaranya adalah urf (adat). Dalam hal ini, si mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi menggunakan cara laindengan dasar prtimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadan. Istihsan daam bentuk ini disebut istihsan al-urf.[24]
Umpamanya penggunaan pemandian umum (kolam renang). Bagi orang yang menggunakan pemandian umum biasanya dikeai biaya tertentu dalam bentuk tanda masuk tanpa diperhitungkan banyakny air yang dipakainya dan lama waktu yang digunakannya. Hal ini sudah merupakan kebiasaan yang umum yang berlaku dimana saja.[25]
Kalau dikembalikan kepada hukum umum, maka sulit untuk dapat diterima,karena sudah ada ketentuan umum yang harus diikuti. Kalu dalam kasus ini mengikuti ketentuan jual beli, tentu menyalahi ketentuan, karena dalam jual beli itu untuk kadar uang yang ditentukan harus tertentu pula air yang digunakan, padahal dalam cara pemandian umum tidak berlaku yang demikian. Kalau mengikuti ketentuan sewa menyiwa, yaitu tertentunya waktu pemakaian barang yang disewa, padahal pada pemandian umum tidak ada batas waktu. Dengan demikian ketentuan umum jual beli dan sewa menyewa ditinggalkan karena menyandar kepada adat kebiasaan yang berlaku dan diterima semua pihak.[26]
d.   Istihsan yang sandarannya adalah darurat. Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan al-dharurah. Umpamanya tidak diberlakukannya hukuman potong tangan terhadap pencuri karena pencurian itu dilakukan untuk mempertahankan hidup atau darurat, sebagaimana telah disebutkan diatas. [27]
3.      Menurut syatibi, dikalangan madzhab Maliki dikenl pula istihsan yang dalam praktiknya dinamai dengan istislah ( akan diuraikan tersendiri). Mereka membagi istihsan itu kepada tiga macam:
a.    Meninggalakan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf  (kebiasaan). Umpamanya ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila seseorang dalam sumpahnya menyebutkan tidak akan memakan daging, tetapi ternyata kemudian ia memakan ikan, maka ia dinyatakan tidak melanggar sumph meskipun ikan itu dalam Al-Quran termasuk dalam daging. Alasannya karena dalam  urf  (kebiasaan) yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan itu bukan (tidak termasuk) daging.[28]
b.    Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia. Umpamanya tanggung jawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang bila barang yang diperbaikinya itu rusak ditangannya. Berdasarkan pendekatan qiyas, ia tidak perlu mengganti, karena kerusakan barang itu terjadi waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan cara seperti ini ditinggalkan dan ia harus mengganti barang tersebut demi terwujuddnya kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain. [29]
c.    Meninggalkan dalil yang biasanya dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberikn kemudahan kepada umat. Umpamanya adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku, kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai standart takaran yang berlaku.[30]
D.      Kedudukan Istihsan
Kedudukan atau kehujjahan istihsan menururt pada Ulama’:
1.    Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang meneybutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat pemasalahan yang menyangkut istihsan.[31]
2.    Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa  menggunakan istihsan.[32]
3.    Ulama HHHHanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul menyebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Amudi dan Ibnu Hazib. [33]
4.    Ulama Syafi’iyah
Golongan Syafi’iyah tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi. Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang menggunakan Istihsan berarti ia telah membuat syari’at”.[34]Maksudnya, orang itu membuat Syari’at baru dan menjadikan dirinya sebagai pembentuk Syari’at, padahal yang berhak membuat atau membentuk Syari’at hanyalah Allah SWT.[35]  Beliau juga berkata “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan”.[36]

E.       Analisa Tentang Istihsan
Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan al-Qur'an, Hadist, ijma', dan qiyas yang kedudukannya sudah di sepakati oleh para Ulama’ sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah salah satu metolodologi yang digunakan hanya oleh sebagian Ulama’ saja, tidak semuanya.
Al-imam asy-Syafi'i dalam madzhab yang termasuk kalangan ulama yang tidak menerima istihsan dalam merujuk sumber-sumber syari’at Islam. Sebaliknya, al-Imam Abu Hanifah justru menggunakannya. Disamping madzhab Hanafi, termasuk sebagian madzhab Maliki dan madzhab Hambali.
Dan istihsan itu sendiri secara bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Sedang menurut Ulama’ fiqh, adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara'.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Seperti contohnya dimasa kini, sedang booming mengenai belanja melalui internet atau online shop. Menurut pembagian istihsan yaitu istihsan dengan ijma', akad seseorang yang memesan barang-barang dengan tukangnya tidak sah menurut penetapan qiyas karena disamakan dengan membeli yang tidak ada barangnya. Tetapi istihsan menetapkan sebagai akad yang sah karena perbuatan ini dilakukan oleh masyarakat banyak, berarti disepakati kebolehannya. Dan juga, kemungkinan ditetapkannya kebolehan transaksi seperti ini karena yang memungkinkan orang untuk langsung membeli di tempat produksi dan untuk memberikan kemudahan orang yang berjualan untuk mengembangkan bisnisnya meskipun tidak membuka lapak di semua tempat. Ini bukti bahwa agama tidak memberatkan umatnya.



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Istihsan adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan. Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid)syara’.
Istihsan dibagi menjadi dua, yaitu istihsan dipandang dari segi pemindahan hukumnya, dan istihsan dipandang dari sandaran dalilnya. Dari segi pemindahan hukumnya istihsan berpindah dengan cara dari qiyas jalli kepada qiyas khafi. Dari segi sandaran dalilnya istihsan di sandarkan kepada al-Qur’an dan Hadist, ijma, ‘urf, ad-Dharurah dan al-Mashlahah al-Mursalah. Terdapat perbedaan pendapat antara ulama’ ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum Syara’. Tetapi menurut Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menurut Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa ”Barang siapa yang berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara’”. Imam Syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan Istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat Syariat itu hanyalah Allah SWT.
B.       Saran
Demikian makalah istihsan yang kami susun. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan dalam makalah yang kami susun. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi terciptanya kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca maupun penyusunnya.

DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah. al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-kitab, 1997.
Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2014.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana, 2008.
Umam, Chairul. Ushul Fiqh 1. Bandung: CV Pustaka Setia, 1998.
Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Http://www.bacaanmadani.com/2017/05/pengertian-istihsan-dasar-hukum.html.



[1] Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh 2”, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 346.
[2] Chairul Umam, Ushul Fiqih 1”, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 117.
[3] Abd. Rahmat Dahlan, Ushul Fiqh”, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 197.
[4] Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh 2”, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 347.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm. 348.
[8] Ibid. hlm. 348-349.
[9] Ibid. hlm. 350.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Chairul Umam,Ushul Fiqih 1”, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 123.
[14] Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh 2”, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 360.
[15] Sahdan, “Pengertian Istihsan Dasar Hukum”, Bacaan Madani, diakses dari http://www.bacaanmadani.com/2017/05/pengertian-istihsan-dasar-hukum.html, pada tanggal 09April 2018 pukul 16.00.
[16] Chairul Umam, “Ushul Fiqih 1”, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 124.
[17] Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh 2”, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 351-352.
[18]Ibid.
[19]Ibid. hlm. 352-353.
[20]Ibid. hlm. 353.
[21]Ibid. hlm. 353-354.
[22]Ibid. hlm. 354.
[23]Ibid.
[24]Ibid. hlm. 354-355.
[25]Ibid. hlm. 355.
[26]Ibid.
[27]Ibid.
[28]Ibid. hlm. 355-356.
[29] Ibid. hlm. 356.
[30]Ibid.
[31] Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 112.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Wahbah az-Zuhaili, “al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami” (Beirut: Dar al-kitab, 1966), hlm. 285.
[35] Chairul Umam, “Ushul Fiqih 1” (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 131.
[36] Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar