AS SUNNAH SEBAGAI METODOLOGI HUKUM ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul
fiqih
yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I.
Oleh Kelompok 2:
Fadilah Mashud : 20170703021005
Iqrobi Rahmatullah :
20170703021028
Moh, Jefri :
20170703021045
Moh. Syahri :
20170703021046
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sunnah merupakan salah satu pedoman umat islam dalam melaksanakan
syariat-syari’at islam, karena hadits bersumber dari Nabi, dan keberadaannya
merupakan suatu yang urgent dalam pelaksanaan agama Islam. Hadits juga
merupakan salah satu pusaka peninggalan Nabi, yang barang siapa masih berpegang
teguh pada pusaka Nabi, sehingga tidak akan
tersesat selama hidupnya.
Sunnah merupakan sumber syari’ah kedua setelah
al-Qur’an, maka mujtahid harus melihat urutan prioritas antara al-Qur’an sunnah
atau hadis. Oleh karenanya, dalam upaya mencari jalan keluar terhadap masalah
tertentu ahli hukum baru boleh menggunakan hadis setelah gagal mendapatkan
pedomannya dalam al-Qur’an. Apabila ada nash yang jelas dalam al-Qur’an, maka
nash itu harus diikuti dan diberikan prioritas diatas ketentuan yang boleh jadi
tidak sebaku dengan al-Qur’an.
Sunnah memiliki kedudukan istimewa dalam hukum
islam karena kekuatan otoriatif yang dimilikinya. Posisi yang
demikian penting meletekkan sunnah sebagai salah satu sumber yang harus
dijadikan refrensi dalam pengambilan dan penetepan hampir setiap hukum. Jika
otoritas sunnah sebagai sumber hukum telah disepakati oleh hampir semua muslim,
maka tidak demikian dengan persoalan bagaimana memahami sunnah tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan dari makalah
ini adalah sebagai berikut.
1.
Apa definisi sunnah?
2.
Apa saja macam-macam sunnah?
3.
Apa saja pembagian sunnah?
4.
Bagaimana kehujjahan sunnah?
5.
Hubungan hadist dengan al-Qur’an
6.
Bagaimana fungsi sunnah?
7.
Apa
perbedaan hadis dan sunah?
8.
Apa
pengertian ingkar sunah?
C.
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan paper ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui definisi sunnah.
2.
Untuk mengetahui macam-macam sunnah.
3.
Untuk
mengetahui pembagian sunnah.
4.
Untuk mengetahui kehujjahan sunnah
5.
Untuk mengetahui hubungan hadis dengan al-Qur’an.
6.
Untuk mengetahui fungsi sunnah.
7.
Untuk mengetahui perbedaan
hadis dan sunah.
8.
Untuk mengetahui pengertian
ingkar sunah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Sunnah
Sunnah secara bahasa berarti tata cara.
Menurut Syammar, yaitu kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman, kata sunnah awalnya
berarti membuat jalan, yaitu jalan yang dibuat orang-orang dahulu kemudian
dilalui orang-orang yang datang setelah mereka muncul lagi istilah sunnah
sebagai lawan dari syi’ah, misalnya tentang himbawan. Al-Razi dalam bukunya Mukhtar
al-Shihah menjelaskan bahwa sunnah secara bahasa berarti tata cara dan
prilaku hidup (al-Thariqah wa al-Sirah).Dari pengertian ini muncul
istilah sunnah al-Islam, atau sunnah saja sebagai lawan dari bid’ah (tata cara
yang tidak bersumber dari islam).[1]
Pada prinsipnya
yang dimaksud dengan hadits adalah segala sesuatu yang dirujuk/disandarkan
kepada Nabi, baik berupa perkaan, perbuatan, maupun ketetapannya. Ulama ushul
fiqh menambahkan pengertian tersebut dengan hal “yang berkaitan dengan hukum”.
Artinya, yang dimaksud dengan hadits dalam pandangan mereka (ulama ushuliyah)
adalah segala sesuatu yang dirujuk kepada Nabi yang berkaitan dengan hukum.[2]
Belakangan ini
muncul istilah sunnah sebagai lawan dari syi’ah, misalnya tentang himbawan
perlunya dialog sunnah-Syi’ah. Kata sunnah dalam uangkapan terakhir ini
sebenarnya singkatan dari Ahl al-sunnah wa al-jamaah, yaitu sekelompok
umat islam yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw. dan para sahabat beliau.[3]
Istilah sunnah
dalam penggunaan sering identik dengan hadis. Kata hadis secara bahasa berarti
baru sebagai lawan dari kata qadim yang berarti lama atau dulu yang
menjadi sifat bagi kalam Allah (al-Qur’an), karena hadis sebagai sabda Nabi
Muhammad saw. memiliki sifat baru, yakni didahului oleh sifat tidak ada.
M. Hasbi Ash
Shiddieqy mengatakan, “Menurut istilah ahli ushul, (hadits) ialah:
“segala
perkataan segala perbuatan dan segala taqrir nabi, yang bersangkut paut dengan
hukum”.
Imam syafi’i dan
sahabat – sahabat beliau
menggunakan istilah sunnah dengan pengertian hadits di atas yaitu segala
sesuatu yang timbul dari rasul SAW.
B.
Macam-macam
sunnah
Dilihat dari bentuknya sunnah dapat dibedakan menjadi 3
1.
Sunah
Qauliyah
Sunnah quliyah dilihat dari
jumlahnya paling banyak dibandingkam sunnah fi’liyah dan taqriyah. Sunnah
qauliyah artinya ucapan Nabi dalam berbagai kondisi yang didengar oleh sahabat
dan disampaikannya kepada orang lain. Contohnya:sahabat mendengar bahwasannya
Nabi berkata:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“tidak
boleh melakukan kemudharatan, dan tidak boleh pula membalas kemudharatan dengan
kemudharatan”(HR. Ibn Majah)
Dalam sunah qauliyah terdapat
permasalahan yang nampak perlu dipertegas karena ada dua bentuk yang keluar
dari lisan Nabi. Pertama bisa berupa perkataan Nabi sunnah qauliyah itu sendiri
dan perkataan Nabi yang bisa juga berupa ayat Al-Quran. Untuk membedakan apakah
itu qauliyah atau Al-Quran maka dapat diteliti, jika yang keluar dari lisan
Nabi itu ayat Al-Quran maka biasanya Nabi itu menyuruh sahabatnya untuk
menghafal, menulis, dan mengurutkannya sesuai petunjuk Allah SWT. Jika yang
keluar dari lisan Nabi berupa sunah qauliyah maka nabi melarang untuk
menuliskannya karena khawatir akan tercampur dengan ayat Al-Quran.
2.
Sunah
Fi’liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku
Nabi yang dilihat dan diperhatikan oleh sahabat Nabi disebut dengan sunah
Fi’liyah.tingkah laku Nabi dapat beranekaragam bentuknya. Hal in, dapat dilihat
dari kedudukan Nabi sebagai manusia biasa dan sebagai utusan Allah SWT.
Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah dikerjakan
manusia pada umumnya seperti cara makan dan minum, berdiri, duduk, cara
berpakaian, memelihara jenggot, dan mencukur kumis. Kesemuanya itu sebagai tabiat
Nabi sebagai manusia biasa. Menurut sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan
Nabi seperti itu dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunnah untuk diikuti. Tetapi
sebagian ulama yang lain, mengatakan kebiasaan-kebiasaan seperti itu tidak
berdampak hukum.
Kedua, perbutan Nabi yang hanya wajib dilakukan oleh Nabi tetapi tidak
wajib bagi ummatnya seperti Nabi shalat dhuha, tahajud, dan berqurban. Bagi
ummatnya ummatnya perbuatan-perbutan tersebut tidak lah wajib. Nabi boleh
menikah lebih dari empat, namun bagi ummatnya tidak boleh lebih dari empat.
Ketiga, perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung
Dalam Al-Quran seperti cara shalat, puasa, haji, jual beli, utang piutang, maka
semua perbuatan itu berdampak pembentukan hukum, bukan hanya untuk Nabi namun
juga untuk ummatnya. Hal ini diperkuat oleh hadits Nabi, diantaranya:
صَلُّوْا كَمَا
رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
Artinya: “shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat” (HR.Bukhari )
خُذُوْا عَنِّيْ
مَنَاسِكَكُمْ (رواه مسلم)
Artinya:“ambilah dariku tentang cara-cara haji “( HR. Muslim )
3. Sunnah Taqririyah
Maksudnya sikap Nabi terhadap suatu kejadian yang dilihatnya berupa
perbutan dan ucapan sahabat. Sikap Nabi itu ada kalanya dengan cara
mendiamkannya, tidak ada tanda-tanda mengingkarai dan menyetujuinya atau
melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu sehingga dengan adanya ikrar
Nabi perbuatan itu dianggap perbuatan Nabi yang hukumnya boleh dilakukan.
Contohnya: ketika Nabi mendiamkan seseorang memakan binatang dhab (sebangsa biawak). Dengan sikap
diam Nabi itu berarti boleh hukumnya memakan daging tersebut. Karena seandainya
Haram niscaya Nabi tidak diam, pasti beliau melarangnya.[4]
C.
Pembagian
sunnah
Sunnah ditinjau atau diperhatikan dari
sanad (periwayatan) suatu hadis atau sunnah, maka dapat dibagi menjadi tiga
macam.
1.
Hadis
mutawatir, yaitu hadist yang di riwayatkan dari Nabi saw. Oleh sekelompok orang
yang menurut kebiasaan mustahil mereka berbuat dusta. Dengan banyaknya jumlah
mereka dan diketahui sifat-sifat masing-masing mereka yang jujur dan mempunyai
tempat tinggal yang berjauhan satu sama lain kemudian menimbulkan keyakinan
tidak mungkin mereka berbuat dusta tentang hadis Nabi. Dari kelompok orang ini
diriwayatkan pula hadis tersebut kepada kelompok orang yang jumlahnya tidak
kurang dari kelompok pertama dan begitu selanjutnya hingga hadis ini dibukukan
oleh para pentatwin (orang-orang yang membukukan) hadis.
Hadis-hadis yang diriwayatkan secara
mutawatir ini banyak menyangkut dengan pokok-pokok agama islam, seperti rincian
cara melakukan sholat (HR. Bukhari), rincian melaksanakan haji (HR. Muslim) dan
tentang kadar (jumlah)zakat.
Hadis mutawatir dapat pula di bagi
menjadi dua, yaitu hadis mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
Hadis mutawatir lafzi adalah hadis-hadis yang diriwayatkan orang banyak
yang secara keseluruhan sama lafal dan artinya, seperti sabda Nabi berikut:
مَنْ كَذَّبَ عَلَى مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“barang siapa yang berbuat dusta atas
diriku dengan sengaja, maka hendaknya ia mengambil tempatnya di neraka.” (HR. Muslim).
Menurut salah seorang pakar hadist
mahzab Syafi’i yang bernama Mahyuddin Ibn Syaraf al-Nawami (w. 676 H) hadis ini
diriwayatkan tidak kurang dari dua ratus orang sahabat.
Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis yang diriwayatkan oleh
orang banyak dengan beragam redaksi, tetapi makna dan artinya sama, seperti
sabda Nabi berikut:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتَ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِءٍ مَا نَوَى.
“hanya saja setiap amal itu tergantung pada
niat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam pandangan jumhur ulama, hadis
mutawatir menghasilkan ilmu yakin sehingga ia dipandang sebagai hujjah
al-qur’an sebagai sumber hukum islam.
2.
Hadis
mashur, yaitu hadis yang diriwayatkan beberapa orang sahabat lalu disampai
kepada orang banyak yang selanjutnya disampaikan kepada orang banyak yang
jumlahnya mencapai ukuran batas mutawatir. Menurut Abu Hanifa dan pengikut
mazhabnya, hadis mazhur ini melahirkan ilmu yakin, tetapi masih berada dibawah
hadis mutawatir. Sebagian ahli fiqih memandang hadis ini merupakan hujjah yang
bersifat zanni sebagaimana hadis ahad.
3.
Hadis
ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang sahabat dari Nabi
saw.tetapi para periwayat hadis ini tidak sampai pada jumlah periwayat hadis
mazhur. Imam Syafi’i menyebut hadis ini dengan istilah khusus, yaitu khobar
al-khas
Hadis
ahad menghasilkan ilmu yang bersifat zanni, tidak memfaidahkan ilmu yakin atau qath’i.
Hal inilah yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan
hadis ahad sebagai sumber hukum. Kalangan
muktazilah dan khawarij menolak menjadikan hadis ahad sebagai sumber hukum
karena hadis tersebut diragukan kebenarannya berasal dari Nabi saw. Dan ada
kemungkinan palsu.
Jumhur ulama, Abu Hanifa, Syafi’i dan Ahmad menerima hadis ahad
sebagai sumber hukum, apabila hadis itu shahih. Mereka beralasan dengan firman
Allah dalam surah At-taubah, 9:122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ
كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةً لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِوَلِيُنْذِرُوْا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
“tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.”
Jumhur ulama memahami bahwa ayat ini
memberikan isyarat kebolehan menerima ilmu agama dari perorangan karena kata taifah
dalam ayat tersebut dalam bahasa arab berarti beberapa orang dan bisa pula
untuk perorangan. Di samping itu, ijma’ sahabat mempergunakan hadis ahad untuk
memutuskan hukum memperkuat alasan untuk menerima hadis ini menjadi sumber
hukum.
Untuk menjamin keshahihan hadis
ahad, para muhaddisin menetapkan sejumlah prasyarat yang tepat, yaitu: sanad
besambung, periwayat bersifat adil, dhabith, terhindat dari syudzudz,
dan terhindar dari illat.
Abu Hanifa menambah persyaratan ini
bahwa perawi hadis tersebut beramal tidak menyalahi hadis yang diriwayatkannya.
Sementara Imam Malik, menambahkan syarat itu bahwa hadis ahad tersebut tidak
bertentangan dengan apa yang di amalkan penduduk madinah.[5]
D.
Kehujjahan
Sunnah
Umat islam sepakat menjadikan Sunnah Nabi yang meliputi perkataan,
perbuatan dan ketetapannya sebagai sumber hukum islam yang kedua. Sunnah ini
menjadi sumber bagi para mujtahid untuk mengistinbatkan hukum islam yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Adapun dalil yang dapat dijadikan sebagai
alasan tentang kehujjahan Sunnah ini sebagai berikut:
Menurut Abbadi
Ishomuddin dalam bukunya:
1.
Nash
– nash Al – Qur’an yang memerintahkan untuk tunduk dan ta’at kepada rasulullah
SAW.
2.
Bahwa
misi Nabi SAW. Adalah menyampaikan ajaran – ajaran tuhannya.
3.
Legalitas
Al – Qur’an bahwa apa yang disampaikan
oleh Rasulullah SAW. Berasal dari-Nya, bukan berasal dari keinginan Nabi
sendiri.
4.
Ayat
– ayat Al – Qur’an sangat jelas dalam memerintahkan keimanan kepada Rasulullah
SAW. Berkaitan dengan alasan – alasan di atas Alla SWT berfirman.
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّٰـهَ
وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ
حَفِيظًا ﴿النساء:٨۰﴾
“Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” [6]
Menurut Firdaus dalam bukunya ialah:
1. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
memerintahkan umat islam untuk mentaati Nabi. Bahkan, mentaati Nabi merupakan
bukti ketaatan hamba terhadap Allah tentang perintah mentaati Nabi dalam surat
al-Nisa’,4:59:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ
وَأُلِى الْأَمْرِمِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى
اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأَوِيْلَا.
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainana pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Dalam suarat al-Nisa’, 4:80 Allah menegaskan
مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا
أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا.
“Barangsiapa mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah
mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari kedua itu), maka kami
tidak mengutuskan mu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.
2. Ijma’ sahabat, baik pada masa hidup Nabi
maupun setelah wafatnya tentang kewajiban mengikuti Sunnah. Para sahabat sering
menetapkan hukum berdasrkan Sunnah atau hadist yang diriwayatkan perorangan.
Misalnya, Abdullah Ibn Umar dalam menjawab pertanyaan yang diajukan anaknya
mengenai apa yang didengarkan dari Sa’ad Bin Abi Waqqas. Yaitu, Nabi saw.
Menyapu sepatu dalam berwudhu’ bagian atasnya, Umar menjawab. “ya betul. Kalau
setelah diceritakan Sa’ad dari Nabi saw. Tidak perlu bagi engkau tanyakan
kepada orang lain (HR. Abu Daud).
3.
Dalam berbagai ayat al-Qur’an banyak terdapat perintah
yang berkaitan dengan kewajiaban mukallaf. Kewajiban itu hanya disebutkan
secara global dalam al-Qur’an, tidak diperinci tata cara pelaksanaannya,
seperti shalat, zakat, dan haji. Seandainya tidak ada Sunnah yang disampaikan
Nabi dalam bentuk perkataan dan perbuatan, tentu tidaklah mungkin melaksanakan
kewajiaban-kewajiban tersebut. Atas dasar ini, Sunnah wajib diikuti karena ia
berasal dari Nabi.[7]
E. Hubungan
As-sunnah dengan Al-Quran
Dari sisi menjadikan sunnah sebagai hujjah
dalam istinbath hukum, ia berada setelah Al-Quran. Sedangkan dari sisi hukum
yang dikandungnya, ada tiga fungsi as-sunnah terhadap Al-Quran.
a. Sunnah sebagai
penguat (muaqarrirah) terhadap hukum yang terdapat dalam Al-Quran. Misalnya
sunnah tentang sholat, puasa, durhaka kepada orang tua dan sebagainya.
b. Sunnah sebagai
penjelas (mubayyinah) terhadap hukum yang terdapat dalam Al-Quran. Baik
menjelaskan kemujmalan Al-Quran, menaqyid kemuthlaqan Al-Quran maupun
menakhshish keumuman Al-Quran.
c. Sunnah sebagi
pembuat (munsyiah) hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Quran. Misalnya sunnah
yang menetapkan keharaan menikahi perempuan denagan bibinya, keharaman memakan
binatang yang bertaring, keharaman memakai cincin emas bagi laki-laki dan
sebagainya.[8]
F. Fungsi sunnah
Dalam uraian tentang al – Qur’an telah dijelaskan bahwa
sebagian besar ayat – ayat hukum dalam al – Qur’an adalah dalam bentuk garis
besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari
sunnah. Dengan demikian, fungsi sunnah yang utama adalah
untuk menjelaskan al-Qur’an. Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai
sumber asli bagi hukum fiqih, maka sunnah disebut sebagai bayani. Dalam
kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dalam al-Qur’an. Ia menjalankan
fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang
tersebut dalam Al-Quran atau disebut fungsi ta’qit dan taqrir. Dalam
bentuk ini sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam
Al-Quran. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-baqoroh ( 2:110)
وَأَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَأَتُوا الزَّكَاةَ... (البقرة :110 )
“dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat”.
Ayat itu dikuatkan oleh sabda nabi
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ اَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيْتَاءِ
الزَّكَاةِ....
“islam itu didirikan
dengan lima fondasi: kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan muhammad
adalah Rosulullah, mendirikan shalat,menunaikan zakat”.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang
dimaksud dalam Al-Quran dalam hal:
a. Menjelaskan arti yang masih samar dalam
Al-Quran.
b. Merinci apa-apa yang dalam Al-Quran disebut
secara garis besar,
c. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Quran
disebutkan secara umum;
d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut
dalam Al-Quran.
3. Menetapkan suatu hukum dalam sunnah secara
jelas tidak terdapat dalam Al-Quran. Dengan demikian kelihatan bahwa sunnah
menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Quran. Fungsi sunnah
dalam bentuk ini disebut itsbat atau insya’. Contohnya: umpamanya
Allah SWT. mengharamkan bangkai, darah, daging Babi dalam surat Al-Maidah (5:3)
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ. (المائدة:
3)
“diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi”.
Kemudian Nabi menyebutkan haramnya binatang
buas dan burung buas dalam hadits dari menurut Abu hurairah menurut
riwayat Muslim
كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“setiap binatang buas yang bertaring haram
dimakan”.[9]
G.
Perbedaan
sunnah dan hadits
Definisi
sunnah menurut mayoritas ulama muhadditsin identik dengan hadits,
khabar, atsar. Atau istilah dengan sinonim sunnah. Artinya segala
sesuatuyang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan,, perbuatan, dan
persetujuan.namun diantara mereka ada yang membedakan beberapa istilah ini
sebagai berikut:
a.
Sunnah
diartikan perbuatan nabi dalam mempraktokkan syari’at islam sejakl masa nabi
sampai akhir masa sahabat, sedang hadits lebih umum daripada sunnah yang
cakupannya meliputi perbuatan, perkataan, dan pengakuan nabi SAW. Oleh karena
itu, seorang ahli hadits belum tentu ahli dalam bidang sunnah, demikian juga
sebaliknya. ‘Abd. Al –Rahman al – Mahdiy (w. 198 H) ketika ditanya tentang
Sufyan al – Tsawrly, al Awza’li, dan Malik, menjawab: “Sufyan al – Tsawrly ahli hadits, al –
Awza’ly imam sunnah, dan Malik imam keduanya.
b.
Sunnah
lebih umum daripada hadits, karena menurut ulama ushul fiqh, hadits itu identik
dengan sunnah qaqliyah. pendapat ini tampak kecenderungan tidak lebih
dari makna etimologis hadits yang salah satu diantaranya diartikan “berita”.
Sebagai mana firman Allah dalam al – Qur’an:
وَأَمَّا
بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“dan
terdapat nikmat tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut – nyebutnya (dengan
bersyukur)”. (QS. Ad –
Dhuha: 93/11).
Kata
فَحَدِّثْ dalam ayat
tersebut diartikan menyebut – nyebut atau memberikan.
c.
Hadits
diartikan segala aktivitas yang disandarkan kepada nabi SAW, sekalipun
dikerjakan hanya satu kali dalam hidup beliau, sedang sunnah harus dikerjakan
secara berulang – ulang sehingga menjadi tradisi. Arti sunnah di sini juga
lebih berpihak pada makna lughawi yaitu “tradisi” (العادة) menurut al – Syawkani,
atau diartikan “cotinue” (الدوام)
menurut al – Kisa’ly sebagaimana yang telah penulis pada saat berbicara tentang
ahli sunnah secara lughawi.
d.
Sunnah
adalah aktivitas pengalaman nabi SAW, para sahabat, dan para pengikut
setelahnya yang diriwayatkan secara mutawatir. Sedang hadits bisa jadi
diriwayatkan oleh satu atau dua orang periwayat (khabar ahad). Sunnah di sini
bersifat praktis pengamalan al – Qur’an yang secara mutawatir, bukan bersifat
teoretis (sunnah qawliyah atau lafzhiyah) yang muaranya pada makna sunnah
secara sempit seperti pada awal perkembangan islam.
e.
Sunnah
pengamalan islam sejak awal islam baik oleh nabi atau para sahabatnya, sedang
hadits hanya diriwayatkan oleh nabi SAW. Dalam bahasa lain sunnah lebih umum
daripada hadits. Oleh karena itu, kadang – kadang hadits berseberangan dengan
sunnah. Misalanya, perkataan ‘Ali ra, kepada ‘Abdillah bin Ja’far:
“tegaklah hukuman kepadanya (peminum
khamar)” kemudian ia mengambil dera dan menderanya ‘Ali menghitungnya, begitu
sampai 40 kali dera, ‘Ali berkata: cegahlah ia, Rasul SAW menderanya 40 kali,
Abu Bakar menderanya 40 kali, dan ‘Umar menderanya 80 kali, semuanya ini
sunnah”. (HR. Abu
Dawud)
Demikian perkataan ‘Ali r.a.
menggenaralisasi makna sunnah baik yang dilakukan nabi ataupun yang dilakukan
oleh para sahabat. Dengan demikian, pengertian sunnah memiliki kawasan yang
lebih luas, sementara dari segi aspek yang ditimbulkannya sunnah lebih sempit.[10]
H.
Pengertian
Ingkar Sunnah
1.
Arti
Menurut Bahasa
Kata “ingkar sunnah” searti dengan inkar al – sunnah, rafdl al –
sunnah, radd al – sunnah, radd al – khabar, dan lain – lain.yang mempunyai
arti pengingkaran sunnah. Dalam bahasa Indonesia. Kata (ingkar) mempunyai
beberapa arti antara lain: menyangkal, tidak membenarkan, tidak mengakui, dan
mungkir. Dalam bahasa Arab kata inkar berasal dari akar kata: “أنكر
ينكر إنكارا” dan mempunyai beberapa arti antara lain:
a.
“tidak
mengakui dan tidak menerima di lisan dan di hati” seperti kata syair:
وَأَنْكَرَ
تْنِى وَمَا كَانَ الَّذِى نَكَرَتْ # مِنَ الْحَوَادِثِ إِلَّا الشَّيْبُ
وَالصَّلَعَا
Ia (wanita) tidak menerimaku (ingkar) dan ia tidak mengingkari
segala kejadian kecuali rambut berubah dan botak.
b.
“bodoh
atau tidak mengetaui sesuatu” (antonym kata “al-‘irfan” =
mengetahui) dan menolak apa yang tidak tergambatkan dalam hati, misalnya firman
Allah SWT:
فَدَخَلُوا
عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهُ مُنْكِرُون…
“Lalu mereka (saudara – saudara Yusuf) masuk ke (tempat)-mua. Maka
Yusuf mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya”. (QS. Yusuf/12:58)
c.
“menolak
lisan yang ditumbuhkan dari hati” seperti firman Allah SWT.
يَعْرِفُونَ
نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya dan
kebanyakan mereka adalah orang – orang yang kafir”. (QS. An – Nahl/16:83)
Al – ‘Askarly
membedakan antara makna “al-Inkar” dan “al-juhd”. kata “al-Inkar”
ternadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedang “al-juhd”
terhadap sesuatu yang tampak dan disertai dengan pengetahuan. Dengan demikian,
bisa hadi pengingkaran sunnah sebagai hujjah di kalangan orang yang tidak
banyak mengetahui tentang ulumul hadits.
Dari beberapa
kata “ingkar” teersebut dapat disimpulkan bahwa ingkar secara etimologis
diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan
batik atau lisan dan hati yang latar belakangi oleh factor ketidaktahuannya
atau factor lain., misalnya karena gengsi, kesombongan dan keyakinan. Sedang
kata “sunnah” secara mendetail telah dijelaskan pada uraian diatas, dimaksudkan
di sini sinomin hadits sebagaimana yang dikehendaki oleh mauoritas ulama
hadits. [11]
2.
Arti
ingkar sunnah meneurut istilah.
Cukup banyak
diantara pakar hadist yang berbicara tentang ingkar sunah, tetapi tidak
menemukan banayak yang mengemukakandefini ingkar secara terminologisdan secara
eksplesit.penulis hanya menemukan definisi ingkar sunah di beberapa refrensi
berbahasa Indonesia yang sifatnya hanya bersifat sederhana pembatasannya yaitu
sebagai berikut.
a.
Paham
yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunah sebagai
sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-Quran.
b.
Suatu
pendapat yang timbul di sebagian kaum muslimin yang menolak As-sunah sebagai dasar sumber hukum.
c.
Orang-orang
yang menolak sunah Rasulullah SAW sebagai hujah dan sumber kedua ajaran Islam
yang wajib ditaati dan di amalkan.
d.
Golongan
ingkarussunah juga menamakan dirinya
sebagai golongan Qur’ni, sebab mereka hanya menggunakan Al-Quran sebagai sumber
ajaran dan tidak mempercayai hadits Nabi Muhammad SAW. alasannya, adalah tugas
Rasulullah SAW hanya menyampaikan bukan member perincian.
Beberapa definisi itu belum menjawab persoalan yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat modern, karena sesungguhnya tidak mungkin seorang
Islam yang beriman kepada Allah SWT, para malikat, kitab-kitabnya, dan para
Rasul mengingkari kehujahan sunah dan menolak hukkum-hukum yang dihasilkan
daripadanya. Kehujahan sunah merupakan keharusan beragama (dharurat al-din),ijmak para ulama, penyampaian misi kerasulan, dan
penjelasan Al-Quran. Ia adalah cahaya pintu Al-Quan yang memancar dari padanya.
Barang siapa yang memisahkan sunah daripadanya sama halnya memisahkan Al-Quran
dari Nabinya.. hanya orang-orang kafir yang menolak sunah sebagi hujjah seperti
syi’ah Rafidlah yang disepakati
kekafirannya oleh para ulama syafi’iyah dan
diberi sifat sebagai “orang yang tak berilimu pengetahuan”. Jadi, tidak ada
ummat Islam yang mengingkari esensi sunah sebagai hujah. Jikalau aa brarti
keluar dari Islam. Apalagi dalam defenisi yang pertama diatas disebutkan “
dalam masyarakat Islam”, brarti boleh dipahami bahwa paham ini terjadi banyak
dikalangan umat Islam.
Definisi itu tidak mengakumulasi penolakan sunah secara modern,
yaitu penolakan yang mana dan bagaimana penolakannya. Apakah ditolak subtansial
yakni sunah praktis atau sunah formal dalam arti yang diriwayatkan dan
dikodifikasikannya. Seluruh sunah mutawatir
dan ahadkah. Demikian juga definisi tidak mekomodasi penolakan sunah
karena ada alas an yang dapat diterima. Misalnya, seorang mujtahid Imam Abu
Hanifah yang menolak sebagian sunah yang tidak cukup persyaratan yang beliau
tetapkan. Dxengan pembatasan kalimat “timbul dalam masyarakat Islam atau dari
sebagian kaum muslimin” brarti menunjukan bahwa ingkar sunah itu datangnya dari
kaum muslimin dalam jumlah banyak. Hal tersebut bertentangan dengan realita dan
tidak mengakomodasi berbagi bentuknya.
Definisi ingkar sunah yang dimaksud dalam buku ini sesuai dengan
yang dipahami penulis melalui bacaan pustaka yang ditulis oleh para ulama modrn
adalah suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak
dasar hukum Islam dari sunah shahih baik sunah
praktis maupun secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara
totalitas mutawatir dan ahad atau sebagian saja, tanpa ada
alasan yang dpat diterima oleh para ulama.
Dari definisi itu ada tujuh poin yang perlu mendapat penjelasn
sebagai kriteria pengingkar sunah, sebagi berikut.
1)
Suatu
paham.
Ingkar sunah adalah paham atau pendapat perorangan atau paham
sekelompok orang. Istilah ingkar sunah, bukan nama sebuah aliran atau sekte
dalam islam seperti Muktazilah, syi’ah,
khawarij, dan sunni. Tetapi ia lebih cenderung kepada sifat, sikap,, pekerjaan,
dan paham individu atau sekelompok orang yang menolak kehujahan sunah. Paham
ini kemungkinan terdapat dalam berbagai sakte tersebut. Para pakar hadist tidak
ada satu kata dalam menyebutkan golongan ini.
2)
Sebagai
minoritas umat islam
Paham menolak sunah mungkin terjadi dikalangan umat islam sekalipun
sangat minim karena kekurangan informasi tentang pentingnya sunnah dalam agama
atau sebab – sebab faktor lain. Umat islam sesungguhnya tidak mungkin menolak
kehujahan sunah. Adapun penolakan sunah dikalangan non-muslim sangat mungkin
terjadi, Karen aposisinya sangat jelas, yaitu mengingkari Nabi, al-Qur’an,
sunah.
3)
Penolakan
sunah sebagai dasar hukum islam
Maksudnya, ada kemungkinan paham ini menerima dan mengakui sunah
selain sebagai sumber hukum islam, misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, dan
tradisi. Memang pada umumnya mereka menganggap sunah sebagai sejarah atau
tradisi saja. Bagi mereka tidak ada keharusan memperlakukan sunah sebagai hujah
dalam beragama dan tidak ada kewajiban mengamalkannya. Sunah boleh diamalkan
dan boleh tidak diamalkan.
4)
Sunnah
praktis dan formatik.
Sunah yang diingkari adalah sunah yang shahih baik berupa sunah
praktis yakni pengamalan al-Qur’an (sunah ‘amaliyah) maupun sunah
formalistik, yakni sunah yang dikodifisikank, yakni sunah yang dikodifisikan
para ulama dalam berbagai bbuku induk hadis meliputi perbuatan, perkataan, dan
persetujuan Nabi SAW. Bisa jadi secara substansial mereka menerima sunah
praktis tetapi menolak sunah formalistis atau menolak keduanya.
5)
Penolakan
sunah secara total atau sebagian saja.
Paham ingkar sunah bisa jadi menolak keseluruhan sunah baik sunah mutawatirah
dan ahad atau menolak ahad saja dan atau sebagian daripadanya. Berarti
kemungkinan mereka hanya menerima sunah sebagai praktik hidup Rasulullah dalam
melaksanakan al – Qur’an yang disebut dengan sunah amaliyah mutawatirah
(arti sunah pada awal perkembangan islam) dan tidak menerima sunah yang
diriwayatkan dan dikodifikasikan para ulama pendahulunya.
6)
Penolakan
secara terang terangan atau tidak .
Para ulama membagi ingkar sunah menjadi dua macam. Pertama,
adakalanya dengan ungkapan yang tegas (sharih) bahwa hanya al – Qur’an yayng
dijadikan hujah dalam islam dan menolak kehujahan sunah dengan cara mencerca
para periwayatnya secara diplomatis. Jadi, pengertian ingkar sunah memasukkan
dua kelompok ini.
7)
Tidak
ada dasar alasan yang diterima.
Maksudnya, jika seseorang menolak sebagian sunnah dengan alasan
yang dapat diterima oleh syara’ atau akal yang sehat. Misalnya, seorang
mujtahid yang menemukan dalil yang lebih kuat dari pada hadis yang ia dapatkan,
atau hadis itu tidak sampai kepadanya, atau karena kedla’ifannya, atau karena
ada tujuan syar’i yang lain, maka tidak digolongkan ingkar sunnah.
Dengan definisi tersebut menjadi jelas maksud ingkar sunnah karena
ia telah mengakumulasi mana yang harus masuk dan mana yang harus keluar dari
definisi tersebut (jami’ dan mani’). Definisi ini memudahkan bagi
penulis dalam membuat standarisasi dan klasifikasi siapa sebenarnya yang
dimaksud ingkar sunnah dalam tataran tingkat ringan atau berat, keseluruhan
atau sebagian, atau dalam tataran berpikir rasional atau sebagai mujtahid.
Sebagian kelompok ingkar sunnah menamakan dirinya sebagai kelompok al-Qur’an
atau al-Qur’aniyun seperti yang terjadi di india. Ada lagi kelompok
Qur’ani atau al-Qur’an suci seperti yang terjadi di Indonesia untuk menunjukkan
bahwa mereka kelompok yang paling islami.[12]
3.
Macam-macam
ingkar sunnah
Pembahasan macam-macam ingkar sunnah dapat dilihat dari berbagai
segi, di antaranya dari segi objek sunnah yang diingkari itu sendiri. Dalam hal
ini tidak jauh berbeda dengan corak ingkar sunnah masa al-Syafii (w. 240 H)
yang meliputi pengingkar sunnah secara keseluruhan baik mutawatir dan ahad, menolak
sunnah ahad, dan menolak yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Dalam
pemikiran modern ingkar sunnah terdapat pengingkaran sunnah mudawwanah (sunah
yang tertulis dan dikodifikasikan) tetapi menerima sunnah tathbiqiyah (sunah
praktis/praktik Nabi yang tidak tertulis). Secara umum, pemikiran modern ingkar
sunnah dapat dibagi menjadi lima besar, sebagai berikut:
a.
Ingkar
Sunnah Mutlak
Bagian pertama ini mengingkari kehujjahan seluruh sunnah secara
mutlak sebagai sumber hukum, baik substansi sunnah yakni sunnah praktis (‘amaliyah)
secara mutawatirah dari Nabi sejak sebelum terkodifikasi maupun sunnah
yang terkodifikasi sampai sekarang ini melalui sanad yang terpaparkan baik mutawatir
dan ahad. Pengingkar sunnah tipe pertama ini terjadi pada seseorang yang
dilatarbelakangi oleh kemurtadan atau mengimani Muhammad sebagai Rasul
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan tidak terjadi pada seorang muslim.
Menurut para ulama’, menolak kehujahan sunnah secara mutlak dan produk hukum
dari padanya tidak mungkin terjadi pada diri seorang muslim yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, karena kehujahan sunnah merupakan keharusan dalam beragama
(dlaruriyat al-din) dan konsensus kaum muslimin (ijmak). Kecuali dari
kaum Zindik dan Syi’ah Ghulahyang menolak sunah sebagai hujah, karena
mereka mempunyai kepercayaan, bahwa Allah yang berhak menjadi Nabi, sementara
Jibril dianggap salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad. Pengingkar sunah yang
tergolong mutlak ini seperti Rasyad Khalifah berbangsa mesir mengaku menjadi
Nabi tinggal di Amerika serikat dan telah meninggal pada 1988.
b.
Ingkar
Sunnah Kulli
Pemikiran modern mengingkari sunah secara keseluruhan (kulli=kulliy),
baik sunah mutawatirahatau ahad. Maksud pengingkar kulli disini
adalah menolak kehujahan sistem periwayatan sunah yang terjadi setelah masa
Rasulullah, baik secara mutawatir atau ahad, bukan esensi sunah
yang dilakukan Rasulullah dalam mempraktikkan al-Qur’an secara mutawatir yang
disebut dengan mutawatir ‘amaliy (sunah praktis). Karena hal demikian
tidak mungkin terjadi pada seorang Islam yang mengakui kerasulan Muhammad.
Penolakan sunnah dimaksudkan, menolak semua cara periwayatan atau prosedur
kehadiran sunah yang tidak memberi faidah ilmu (pasti), dan zhann (dugaan
kuat) baik mutawatir maupun ahad. Mereka menolak pengamalan
seluruh sunah yang diriwayatkan, karena tidak ada jalan periwayatan yang dapat
dipertanggungjawabkan validitasnya sehingga tidak dijadikan pegangan kuat.
Di antara mereka yaitu Ahmad Shubhiy Manshur yang mengatakan, bahwa
sunah hakikat nya adalah operasional al-Qur’an, karena ia sebagai sistem jalan
hidup yang harus diikuti oleh Nabi. Oleh karena itu, pengikut hadis yang
diasumsikan bertentangan dengan al-Qur’an kemudia disandarkan Nabi,
dianalogikan sebagai setan. Sebagai musuh Nabi saw yang membawa wahyu setan
untuk ditulis dan dibukukan sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an.
Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu
setan-setan yang (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah untuk menipu
(manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,
maka tinggalkanlah mereka dan yang mereka ada-adakan.(QS. Al-An’am/6: 112)
c.
Inkar sunnah syibhkulli
Golongan paham
ini maksudnya hanaya menerima hadist mutawattir. Saja dan menolak seluruh
sunnah ahad namun menurutnya hadis mutawattir itu tidak mungkin terjadi karena
sulitnya persyartan yang di tentukan oleh para ulama. Dengan demikian, golongan
ini disebut juga serupa dengan pengingkar seluruh sunnah (syibahkulli).
Mereka diantaranya Mahmud Abu Rayyah yang mengatakan, bahwa hadis ahad hanya
member faedah zhan yang tercela dan tidak ada manfaatnya sebagimana penjelasan
al-Qur’an , QS. Yunus/10:36, an-Najm/5328, dan an-Nisa/4:157.
Memang terjadi
perbedaan diantara para peneliti tentang kuelifikasi Mahmud Abu Ruyyah.
Sebagian diantara mereka menggolongkannya sebagai pengingkar sunnah kulli seperti
Khadim Huasyn Ilahi Najasy, dan sebagian lagi menggolongkan pengingkar sunnah ahad.
Seperti Abd al-Maujud. Perbedaan itu karena penilaian pengingkar kulli lebih berdasarkan
pada latar belakang pengakuan pengingkarnya yang menerima hanya mutawattir saja.
Padahal realita yang terjadi mereka berpendapat bahwa hadis mutawattir pun
hakikatnya tidak mungkin terjadi, dengan demikian seorang penulis seperti
Mahmud Abu Ruyyah dapat di masukkan kesemua golongan, ketika ia tidak mengakui hadis
mutawatir berarti masuk pada kelompok yang pertama dan ketika mengakuinya
berarti masuk pada kelompok kedua yakni syibhkulli. Dan ketika sebagai periwayat
atau matan suatu hadis, dapat di kelompokkam sebagai yang ketiga. Akan tetapi,
secara spesifik, berdasarkan data yang factual ia dikelompokkan pada golongan kedua.
d. Ingkar Sunnah Juz’i
Pengingkar sebagian sunnah, maksudnya mengingkari sebagian sunnah ahad
yang shahih (juz’i=juz’iy) yang dianngap bertentangan dengan al-Qur’an
dan rasio dan sains. Mereka itu diantaranya ahmad amin dan mustafia Mahmud.
Ahmad amin menolak hadis tentang kurma ajwa yang dapat mengobati racun
dan sihir, sedangkan mustafia Mahmud menolak hadis tentang syafaat sekalipun
shohih dengan alasan bertentangan dengan al-Qur’an.
Termasuk kelompok terakhir ingkar sunnah bi Ghaiyr Thariq al-Manqul. Menolak
hadis atau sunnah melalui jalan sanad/jalan yang dipindahkan dari guru-gurunya
sendiri atau imam-imam dalam kelompok tertentu samapai kepada Nabi SAW. Seperti
ajaran LDII (lembaga dakwah islam Indonesia) yang hanya mengakui hadis yang
diriwayatkan oleh para amir atau guru-guru yang telah belajar dari para amir
dan para amir ini mendapatkannya dari amirul mukminin Nur Hasan Ubaidilllah
Lubis Kediri ( w. 1982) kelompok ini hanya menerima hadis yang disampaikan dari
mulut dan uaraian para gurunya dan menolak bahkan sesat hadis yang diriwayatkan
selain kelompok mereka. LDII ini merupakan jelmaan dari Lemkara (lembaga karyawan
lembaga islam) yang pernah di bubarkan pemerintah 1988 karena meresahkan
masyarakat Indonesia. Lemkari jelmaan dari islam Jemaah pimpinan mendiang Nur
Hasan Ubaidillah Lubis ( luar biasa) yang di bubarkan dan di larang oleh
pemerintah Indonesia SK Jaka Agung 1971 dengan alasan meresahkan umat islam
Indonesia. Kelompok yang terakhir ini tidak di bahas secara terpisah dalam buku
ini karena dianngap sama dengan kelompok keempatnya kini ingkar sebagian sunnah.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw, maupun
sifat-sifat beliau tentang sifat-sifat Nabi baik berbentuk moral, fisik, maupun
perilaku. Dan macam-macam Sunnah itu ada tiga. Yaitu, Sunnah qauliyah yang
disebut dengan sunnah dalam konteks ucapan Nabi Muhammad saw. kedua, Sunnah
fi’liyah yang disebut dengan sunnah dalam konteks perbuatan yang dilakukan Nabi
Muhammad saw. dan ketiga, sunnah taqririyah adalah ucapan, perbuatan sahabat
yang dilakukan sahabat Nabi Muhammad saw.
Dan pembagian hadist atau sunnah ada tiga mutawattir (diriwayatkan Nabi
saw), hadis mashur (diriwayatkan beberapa orang sahabat), hadis ahad
(diriwayatkan satu atau dua orang sahabat)
Kehujjahan al-Qur’an yaitu kesepakatan umat islam untuk hadis dijadikan
sumber bagi para mujtahid untuk mengistinbatkan hukum islam yang berkaitan
dengan perbuatan mukallaf. Melalui, banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang
memerintahkan untuk mentaati Nabi, ijma’ sahabat, dan ayat al-Qur’an
menyebutkan hukum secara global tidak secara terperinci.
B.
Saran
Dari berbagai penjelasan tentang al – Hadits sebagai
sumber hukum islam dalam makalah ini, baik dari ulama fiqh dan ushuliyyin,
semoga kita sebagai umat muslim selalu berpegang teguh terhadap kitabullah dan
as – sunnah.hingga akhirnya kita semua mendapat syafaat dari Allah SWT. dan
Rasulullah SAW. Di dunia maupun di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus. Ushul Fiqh. Metode Mengkaji dan
Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta Timur: Zikrul Karim,
2004.
Ishomuddin, Abbadi. Ushul Fiqh (Pengantar
Teori Hukum Islam). Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2010.
Shiddiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Syarifuddin, Amir.Ushul Fiqh Jilid 1.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008.
Ponpes Bata – bata.
[1]Firdaus, Ushul Fiqh. Metode Mengkaji Dan Memahami
Hukum Islam Secara Komprehensif.(Jakarta Timur: Zikrul Karim, 2004). Hlm. 31 – 32.
[2] Abbadi Ishomuddin, Ushul Fiqh(Pengantar Teori Hukum Islam) (Pamekasan:
STAIN Pamekasan Press 2010), hlm. 28-29.
[4]Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2014), hlm. 55-57.
[5]Firdaus, Ushul Fiqh. Metode Mengkaji Dan Memahami
Hukum Islam Secara Komprehensif.(Jakarta Timur: Zikrul Karim, 2004). Hlm.37 – 39.
[6]Abbadi
Ishomuddin, Ushul Fiqh (Pengantar Teori Hukum Islam) (Pamekasan: STAIN
Pamekasan Press 2010), hlm. 37-38
[7]Firdaus, Ushul Fiqh. Metode Mengkaji Dan Memahami
Hukum Islam Secara Komprehensif. (Jakarta Timur: Zikrul Karim, 2004). Hlm.
35-36
[8]Ponpes Bata – bata. hlm.58
[9]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2008). Hlm. 242-246
[10]
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah Pendekatan Ilmu Hadis. (Jakarta:
Kencana, 2015). Hlm. 13-15.
[11] Ibid. hlm. 16-17.
[12] Ibid. hlm. 20-25.
[13] Ibid. hlm. 25-27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar