Selasa, 05 Juni 2018

AS SUNNAH SEBAGAI METODOLOGI HUKUM ISLAM


AS SUNNAH SEBAGAI METODOLOGI HUKUM ISLAM

 MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqih
yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I.

Oleh Kelompok 2:
Fadilah Mashud                                   : 20170703021005
Iqrobi Rahmatullah                              : 20170703021028
Moh. Lutfi                                            : 20170703021031
Moh, Jefri                                             : 20170703021045
Moh. Syahri                                          : 20170703021046

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN 2018


BAB I

PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Sunnah merupakan salah satu pedoman umat islam dalam melaksanakan syariat-syari’at islam, karena hadits bersumber dari Nabi, dan keberadaannya merupakan suatu yang urgent dalam pelaksanaan agama Islam. Hadits juga merupakan salah satu pusaka peninggalan Nabi, yang barang siapa masih berpegang teguh pada pusaka Nabi, sehingga tidak akan tersesat selama hidupnya.
Sunnah merupakan sumber syari’ah kedua setelah al-Qur’an, maka mujtahid harus melihat urutan prioritas antara al-Qur’an sunnah atau hadis. Oleh karenanya, dalam upaya mencari jalan keluar terhadap masalah tertentu ahli hukum baru boleh menggunakan hadis setelah gagal mendapatkan pedomannya dalam al-Qur’an. Apabila ada nash yang jelas dalam al-Qur’an, maka nash itu harus diikuti dan diberikan prioritas diatas ketentuan yang boleh jadi tidak sebaku dengan al-Qur’an.
Sunnah memiliki kedudukan istimewa dalam hukum islam karena kekuatan otoriatif yang dimilikinya. Posisi yang demikian penting meletekkan sunnah sebagai salah satu sumber yang harus dijadikan refrensi dalam pengambilan dan penetepan hampir setiap hukum. Jika otoritas sunnah sebagai sumber hukum telah disepakati oleh hampir semua muslim, maka tidak demikian dengan persoalan bagaimana memahami sunnah tersebut.
B.       RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1.    Apa definisi sunnah?
2.    Apa saja macam-macam sunnah?
3.    Apa saja pembagian sunnah?
4.    Bagaimana kehujjahan sunnah?
5.    Hubungan hadist dengan al-Qur’an
6.    Bagaimana fungsi sunnah?
7.    Apa perbedaan hadis dan sunah?
8.    Apa pengertian ingkar sunah?
C.    TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan paper ini adalah sebagai berikut.
1.    Untuk mengetahui definisi sunnah.
2.    Untuk mengetahui macam-macam sunnah.
3.    Untuk mengetahui pembagian sunnah.
4.    Untuk mengetahui kehujjahan sunnah
5.    Untuk mengetahui hubungan hadis dengan al-Qur’an.
6.    Untuk mengetahui fungsi sunnah.
7.    Untuk mengetahui perbedaan hadis dan sunah.
8.    Untuk mengetahui pengertian ingkar sunah.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Sunnah
Sunnah secara bahasa berarti tata cara. Menurut Syammar, yaitu kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman, kata sunnah awalnya berarti membuat jalan, yaitu jalan yang dibuat orang-orang dahulu kemudian dilalui orang-orang yang datang setelah mereka muncul lagi istilah sunnah sebagai lawan dari syi’ah, misalnya tentang himbawan. Al-Razi dalam bukunya Mukhtar al-Shihah menjelaskan bahwa sunnah secara bahasa berarti tata cara dan prilaku hidup (al-Thariqah wa al-Sirah).Dari pengertian ini muncul istilah sunnah al-Islam, atau sunnah saja sebagai lawan dari bid’ah (tata cara yang tidak bersumber dari islam).[1]
Pada prinsipnya yang dimaksud dengan hadits adalah segala sesuatu yang dirujuk/disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkaan, perbuatan, maupun ketetapannya. Ulama ushul fiqh menambahkan pengertian tersebut dengan hal “yang berkaitan dengan hukum”. Artinya, yang dimaksud dengan hadits dalam pandangan mereka (ulama ushuliyah) adalah segala sesuatu yang dirujuk kepada Nabi yang berkaitan dengan hukum.[2]
Belakangan ini muncul istilah sunnah sebagai lawan dari syi’ah, misalnya tentang himbawan perlunya dialog sunnah-Syi’ah. Kata sunnah dalam uangkapan terakhir ini sebenarnya singkatan dari Ahl al-sunnah wa al-jamaah, yaitu sekelompok umat islam yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw. dan para sahabat beliau.[3]
Istilah sunnah dalam penggunaan sering identik dengan hadis. Kata hadis secara bahasa berarti baru sebagai lawan dari kata qadim yang berarti lama atau dulu yang menjadi sifat bagi kalam Allah (al-Qur’an), karena hadis sebagai sabda Nabi Muhammad saw. memiliki sifat baru, yakni didahului oleh sifat tidak ada.
M. Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan, “Menurut istilah ahli ushul, (hadits) ialah:
“segala perkataan segala perbuatan dan segala taqrir nabi, yang bersangkut paut dengan hukum”.
Imam syafi’i dan sahabat sahabat beliau menggunakan istilah sunnah dengan pengertian hadits di atas yaitu segala sesuatu yang timbul dari rasul SAW.
B.     Macam-macam sunnah
Dilihat dari bentuknya sunnah dapat dibedakan menjadi 3
1.      Sunah Qauliyah
Sunnah quliyah dilihat dari jumlahnya paling banyak dibandingkam sunnah fi’liyah dan taqriyah. Sunnah qauliyah artinya ucapan Nabi dalam berbagai kondisi yang didengar oleh sahabat dan disampaikannya kepada orang lain. Contohnya:sahabat mendengar bahwasannya Nabi berkata:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“tidak boleh melakukan kemudharatan, dan tidak boleh pula membalas kemudharatan dengan kemudharatan”(HR. Ibn Majah)
Dalam sunah qauliyah terdapat permasalahan yang nampak perlu dipertegas karena ada dua bentuk yang keluar dari lisan Nabi. Pertama bisa berupa perkataan Nabi sunnah qauliyah itu sendiri dan perkataan Nabi yang bisa juga berupa ayat Al-Quran. Untuk membedakan apakah itu qauliyah atau Al-Quran maka dapat diteliti, jika yang keluar dari lisan Nabi itu ayat Al-Quran maka biasanya Nabi itu menyuruh sahabatnya untuk menghafal, menulis, dan mengurutkannya sesuai petunjuk Allah SWT. Jika yang keluar dari lisan Nabi berupa sunah qauliyah maka nabi melarang untuk menuliskannya karena khawatir akan tercampur dengan ayat Al-Quran.
2.      Sunah Fi’liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan diperhatikan oleh sahabat Nabi disebut dengan sunah Fi’liyah.tingkah laku Nabi dapat beranekaragam bentuknya. Hal in, dapat dilihat dari kedudukan Nabi sebagai manusia biasa dan sebagai utusan Allah SWT.
Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah dikerjakan manusia pada umumnya seperti cara makan dan minum, berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot, dan mencukur kumis. Kesemuanya itu sebagai tabiat Nabi sebagai manusia biasa. Menurut sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunnah untuk diikuti. Tetapi sebagian ulama yang lain, mengatakan kebiasaan-kebiasaan seperti itu tidak berdampak hukum.
Kedua, perbutan Nabi yang hanya wajib dilakukan oleh Nabi tetapi tidak wajib bagi ummatnya seperti Nabi shalat dhuha, tahajud, dan berqurban. Bagi ummatnya ummatnya perbuatan-perbutan tersebut tidak lah wajib. Nabi boleh menikah lebih dari empat, namun bagi ummatnya tidak boleh lebih dari empat.
Ketiga, perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung Dalam Al-Quran seperti cara shalat, puasa, haji, jual beli, utang piutang, maka semua perbuatan itu berdampak pembentukan hukum, bukan hanya untuk Nabi namun juga untuk ummatnya. Hal ini diperkuat oleh hadits Nabi, diantaranya:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
Artinya: “shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat” (HR.Bukhari )
خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ (رواه مسلم)
Artinya:ambilah dariku tentang cara-cara haji “( HR. Muslim )
3.      Sunnah Taqririyah
Maksudnya sikap Nabi terhadap suatu kejadian yang dilihatnya berupa perbutan dan ucapan sahabat. Sikap Nabi itu ada kalanya dengan cara mendiamkannya, tidak ada tanda-tanda mengingkarai dan menyetujuinya atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu sehingga dengan adanya ikrar Nabi perbuatan itu dianggap perbuatan Nabi yang hukumnya boleh dilakukan. Contohnya: ketika Nabi mendiamkan seseorang memakan binatang dhab (sebangsa biawak). Dengan sikap diam Nabi itu berarti boleh hukumnya memakan daging tersebut. Karena seandainya Haram niscaya Nabi tidak diam, pasti beliau melarangnya.[4]
C.       Pembagian sunnah
Sunnah ditinjau atau diperhatikan dari sanad (periwayatan) suatu hadis atau sunnah, maka dapat dibagi menjadi tiga macam.
1.   Hadis mutawatir, yaitu hadist yang di riwayatkan dari Nabi saw. Oleh sekelompok orang yang menurut kebiasaan mustahil mereka berbuat dusta. Dengan banyaknya jumlah mereka dan diketahui sifat-sifat masing-masing mereka yang jujur dan mempunyai tempat tinggal yang berjauhan satu sama lain kemudian menimbulkan keyakinan tidak mungkin mereka berbuat dusta tentang hadis Nabi. Dari kelompok orang ini diriwayatkan pula hadis tersebut kepada kelompok orang yang jumlahnya tidak kurang dari kelompok pertama dan begitu selanjutnya hingga hadis ini dibukukan oleh para pentatwin (orang-orang yang membukukan) hadis.
Hadis-hadis yang diriwayatkan secara mutawatir ini banyak menyangkut dengan pokok-pokok agama islam, seperti rincian cara melakukan sholat (HR. Bukhari), rincian melaksanakan haji (HR. Muslim) dan tentang kadar (jumlah)zakat.
Hadis mutawatir dapat pula di bagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi. Hadis mutawatir lafzi adalah hadis-hadis yang diriwayatkan orang banyak yang secara keseluruhan sama lafal dan artinya, seperti sabda Nabi berikut:
مَنْ كَذَّبَ عَلَى مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“barang siapa yang berbuat dusta atas diriku dengan sengaja, maka hendaknya ia mengambil tempatnya di neraka.” (HR. Muslim).
Menurut salah seorang pakar hadist mahzab Syafi’i yang bernama Mahyuddin Ibn Syaraf al-Nawami (w. 676 H) hadis ini diriwayatkan tidak kurang dari dua ratus orang sahabat.
     Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dengan beragam redaksi, tetapi makna dan artinya sama, seperti sabda Nabi berikut:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتَ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِءٍ مَا نَوَى.
“hanya saja setiap amal itu tergantung pada niat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam pandangan jumhur ulama, hadis mutawatir menghasilkan ilmu yakin sehingga ia dipandang sebagai hujjah al-qur’an sebagai sumber hukum islam.
2.   Hadis mashur, yaitu hadis yang diriwayatkan beberapa orang sahabat lalu disampai kepada orang banyak yang selanjutnya disampaikan kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas mutawatir. Menurut Abu Hanifa dan pengikut mazhabnya, hadis mazhur ini melahirkan ilmu yakin, tetapi masih berada dibawah hadis mutawatir. Sebagian ahli fiqih memandang hadis ini merupakan hujjah yang bersifat zanni sebagaimana hadis ahad.
3.   Hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang sahabat dari Nabi saw.tetapi para periwayat hadis ini tidak sampai pada jumlah periwayat hadis mazhur. Imam Syafi’i menyebut hadis ini dengan istilah khusus, yaitu khobar al-khas
     Hadis ahad menghasilkan ilmu yang bersifat zanni, tidak memfaidahkan ilmu yakin atau qath’i. Hal inilah yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hadis ahad sebagai sumber hukum. Kalangan muktazilah dan khawarij menolak menjadikan hadis ahad sebagai sumber hukum karena hadis tersebut diragukan kebenarannya berasal dari Nabi saw. Dan ada kemungkinan palsu.
     Jumhur ulama, Abu Hanifa, Syafi’i dan Ahmad menerima hadis ahad sebagai sumber hukum, apabila hadis itu shahih. Mereka beralasan dengan firman Allah dalam surah At-taubah, 9:122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةً لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِوَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
“tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Jumhur ulama memahami bahwa ayat ini memberikan isyarat kebolehan menerima ilmu agama dari perorangan karena kata taifah dalam ayat tersebut dalam bahasa arab berarti beberapa orang dan bisa pula untuk perorangan. Di samping itu, ijma’ sahabat mempergunakan hadis ahad untuk memutuskan hukum memperkuat alasan untuk menerima hadis ini menjadi sumber hukum.
Untuk menjamin keshahihan hadis ahad, para muhaddisin menetapkan sejumlah prasyarat yang tepat, yaitu: sanad besambung, periwayat bersifat adil, dhabith, terhindat dari syudzudz, dan terhindar dari illat.
Abu Hanifa menambah persyaratan ini bahwa perawi hadis tersebut beramal tidak menyalahi hadis yang diriwayatkannya. Sementara Imam Malik, menambahkan syarat itu bahwa hadis ahad tersebut tidak bertentangan dengan apa yang di amalkan penduduk madinah.[5]
D.      Kehujjahan Sunnah
Umat islam sepakat menjadikan Sunnah Nabi yang meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya sebagai sumber hukum islam yang kedua. Sunnah ini menjadi sumber bagi para mujtahid untuk mengistinbatkan hukum islam yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Adapun dalil yang dapat dijadikan sebagai alasan tentang kehujjahan Sunnah ini sebagai berikut:
Menurut Abbadi Ishomuddin dalam bukunya:
1.   Nash – nash Al – Qur’an yang memerintahkan untuk tunduk dan ta’at kepada rasulullah SAW.
2.   Bahwa misi Nabi SAW. Adalah menyampaikan ajaran – ajaran tuhannya.
3.   Legalitas Al – Qur’an  bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Berasal dari-Nya, bukan berasal dari keinginan Nabi sendiri.
4.   Ayat – ayat Al – Qur’an sangat jelas dalam memerintahkan keimanan kepada Rasulullah SAW. Berkaitan dengan alasan – alasan di atas Alla SWT berfirman.
مَنْ  يُطِعِ  الرَّسُولَ  فَقَدْ  أَطَاعَ  اللّٰـهَ  وَمَن  تَوَلَّىٰ  فَمَا  أَرْسَلْنٰكَ  عَلَيْهِمْ  حَفِيظًا ﴿النساء:٨۰
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” [6]
Menurut Firdaus dalam bukunya ialah:
1.   Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan umat islam untuk mentaati Nabi. Bahkan, mentaati Nabi merupakan bukti ketaatan hamba terhadap Allah tentang perintah mentaati Nabi dalam surat al-Nisa’,4:59:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُلِى الْأَمْرِمِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأَوِيْلَا.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainana pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam suarat al-Nisa’, 4:80 Allah menegaskan
مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا.
“Barangsiapa mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari kedua itu), maka kami tidak mengutuskan mu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.
2.   Ijma’ sahabat, baik pada masa hidup Nabi maupun setelah wafatnya tentang kewajiban mengikuti Sunnah. Para sahabat sering menetapkan hukum berdasrkan Sunnah atau hadist yang diriwayatkan perorangan. Misalnya, Abdullah Ibn Umar dalam menjawab pertanyaan yang diajukan anaknya mengenai apa yang didengarkan dari Sa’ad Bin Abi Waqqas. Yaitu, Nabi saw. Menyapu sepatu dalam berwudhu’ bagian atasnya, Umar menjawab. “ya betul. Kalau setelah diceritakan Sa’ad dari Nabi saw. Tidak perlu bagi engkau tanyakan kepada orang lain (HR. Abu Daud).
3.   Dalam berbagai ayat al-Qur’an banyak terdapat perintah yang berkaitan dengan kewajiaban mukallaf. Kewajiban itu hanya disebutkan secara global dalam al-Qur’an, tidak diperinci tata cara pelaksanaannya, seperti shalat, zakat, dan haji. Seandainya tidak ada Sunnah yang disampaikan Nabi dalam bentuk perkataan dan perbuatan, tentu tidaklah mungkin melaksanakan kewajiaban-kewajiban tersebut. Atas dasar ini, Sunnah wajib diikuti karena ia berasal dari Nabi.[7]

E.     Hubungan As-sunnah dengan Al-Quran
     Dari sisi menjadikan sunnah sebagai hujjah dalam istinbath hukum, ia berada setelah Al-Quran. Sedangkan dari sisi hukum yang dikandungnya, ada tiga fungsi as-sunnah terhadap Al-Quran.
a.    Sunnah sebagai penguat (muaqarrirah) terhadap hukum yang terdapat dalam Al-Quran. Misalnya sunnah tentang sholat, puasa, durhaka kepada orang tua dan sebagainya.
b.   Sunnah sebagai penjelas (mubayyinah) terhadap hukum yang terdapat dalam Al-Quran. Baik menjelaskan kemujmalan Al-Quran, menaqyid kemuthlaqan Al-Quran maupun menakhshish keumuman Al-Quran.
c.    Sunnah sebagi pembuat (munsyiah) hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Quran. Misalnya sunnah yang menetapkan keharaan menikahi perempuan denagan bibinya, keharaman memakan binatang yang bertaring, keharaman memakai cincin emas bagi laki-laki dan sebagainya.[8]
F.     Fungsi sunnah
      Dalam uraian tentang al – Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat – ayat hukum dalam al – Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari sunnah. Dengan demikian, fungsi sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an. Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqih, maka sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dalam al-Qur’an. Ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1.   Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Quran atau disebut fungsi ta’qit dan taqrir. Dalam bentuk ini sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Quran. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-baqoroh ( 2:110)
وَأَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَأَتُوا الزَّكَاةَ... (البقرة :110 )
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”.
Ayat itu dikuatkan oleh sabda nabi
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ اَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ....
islam itu didirikan dengan lima fondasi: kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan muhammad adalah Rosulullah, mendirikan shalat,menunaikan zakat”.
2.   Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Quran dalam hal:
a.       Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Quran.
b.      Merinci apa-apa yang dalam Al-Quran disebut secara garis besar,
c.       Membatasi apa-apa yang dalam Al-Quran disebutkan secara umum;
d.      Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Quran.
3.   Menetapkan suatu hukum dalam sunnah secara jelas tidak terdapat dalam Al-Quran. Dengan demikian kelihatan bahwa sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Quran. Fungsi sunnah dalam bentuk ini disebut itsbat atau insya’. Contohnya: umpamanya Allah SWT. mengharamkan bangkai, darah, daging Babi dalam surat Al-Maidah (5:3)
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ. (المائدة: 3)
diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi”.
Kemudian Nabi menyebutkan haramnya binatang buas dan burung buas dalam hadits dari menurut Abu hurairah menurut riwayat Muslim
كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
setiap binatang buas yang bertaring haram dimakan”.[9]
G.    Perbedaan sunnah dan hadits
      Definisi sunnah menurut mayoritas ulama muhadditsin identik dengan hadits, khabar, atsar. Atau istilah dengan sinonim sunnah. Artinya segala sesuatuyang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan,, perbuatan, dan persetujuan.namun diantara mereka ada yang membedakan beberapa istilah ini sebagai berikut:
a.    Sunnah diartikan perbuatan nabi dalam mempraktokkan syari’at islam sejakl masa nabi sampai akhir masa sahabat, sedang hadits lebih umum daripada sunnah yang cakupannya meliputi perbuatan, perkataan, dan pengakuan nabi SAW. Oleh karena itu, seorang ahli hadits belum tentu ahli dalam bidang sunnah, demikian juga sebaliknya. ‘Abd. Al –Rahman al – Mahdiy (w. 198 H) ketika ditanya tentang Sufyan al – Tsawrly, al Awza’li, dan Malik, menjawab:  “Sufyan al – Tsawrly ahli hadits, al – Awza’ly imam sunnah, dan Malik imam keduanya.
b.   Sunnah lebih umum daripada hadits, karena menurut ulama ushul fiqh, hadits itu identik dengan sunnah qaqliyah. pendapat ini tampak kecenderungan tidak lebih dari makna etimologis hadits yang salah satu diantaranya diartikan “berita”. Sebagai mana firman Allah dalam al – Qur’an:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“dan terdapat nikmat tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut – nyebutnya (dengan bersyukur)”. (QS. Ad – Dhuha: 93/11).
Kata فَحَدِّثْ dalam ayat tersebut diartikan menyebut – nyebut atau memberikan.
c.    Hadits diartikan segala aktivitas yang disandarkan kepada nabi SAW, sekalipun dikerjakan hanya satu kali dalam hidup beliau, sedang sunnah harus dikerjakan secara berulang – ulang sehingga menjadi tradisi. Arti sunnah di sini juga lebih berpihak pada makna lughawi yaitu “tradisi” (العادة)  menurut al – Syawkani, atau diartikan “cotinue” (الدوام) menurut al – Kisa’ly sebagaimana yang telah penulis pada saat berbicara tentang ahli sunnah secara lughawi.
d.   Sunnah adalah aktivitas pengalaman nabi SAW, para sahabat, dan para pengikut setelahnya yang diriwayatkan secara mutawatir. Sedang hadits bisa jadi diriwayatkan oleh satu atau dua orang periwayat (khabar ahad). Sunnah di sini bersifat praktis pengamalan al – Qur’an yang secara mutawatir, bukan bersifat teoretis (sunnah qawliyah atau lafzhiyah) yang muaranya pada makna sunnah secara sempit seperti pada awal perkembangan islam.
e.    Sunnah pengamalan islam sejak awal islam baik oleh nabi atau para sahabatnya, sedang hadits hanya diriwayatkan oleh nabi SAW. Dalam bahasa lain sunnah lebih umum daripada hadits. Oleh karena itu, kadang – kadang hadits berseberangan dengan sunnah. Misalanya, perkataan ‘Ali ra, kepada ‘Abdillah bin Ja’far:
“tegaklah hukuman kepadanya (peminum khamar)” kemudian ia mengambil dera dan menderanya ‘Ali menghitungnya, begitu sampai 40 kali dera, ‘Ali berkata: cegahlah ia, Rasul SAW menderanya 40 kali, Abu Bakar menderanya 40 kali, dan ‘Umar menderanya 80 kali, semuanya ini sunnah”. (HR. Abu Dawud)
Demikian perkataan ‘Ali r.a. menggenaralisasi makna sunnah baik yang dilakukan nabi ataupun yang dilakukan oleh para sahabat. Dengan demikian, pengertian sunnah memiliki kawasan yang lebih luas, sementara dari segi aspek yang ditimbulkannya sunnah lebih sempit.[10]
H.    Pengertian Ingkar Sunnah
1.      Arti Menurut Bahasa
Kata “ingkar sunnah” searti dengan inkar al – sunnah, rafdl al – sunnah, radd al – sunnah, radd al – khabar, dan lain – lain.yang mempunyai arti pengingkaran sunnah. Dalam bahasa Indonesia. Kata (ingkar) mempunyai beberapa arti antara lain: menyangkal, tidak membenarkan, tidak mengakui, dan mungkir. Dalam bahasa Arab kata inkar berasal dari akar kata: “أنكر ينكر إنكارا” dan mempunyai beberapa arti antara lain:
a.       “tidak mengakui dan tidak menerima di lisan dan di hati” seperti kata syair:
وَأَنْكَرَ تْنِى وَمَا كَانَ الَّذِى نَكَرَتْ # مِنَ الْحَوَادِثِ إِلَّا الشَّيْبُ وَالصَّلَعَا
Ia (wanita) tidak menerimaku (ingkar) dan ia tidak mengingkari segala kejadian kecuali rambut berubah dan botak.
b.      “bodoh atau tidak mengetaui sesuatu” (antonym kata “al-‘irfan” = mengetahui) dan menolak apa yang tidak tergambatkan dalam hati, misalnya firman Allah SWT:
فَدَخَلُوا عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهُ مُنْكِرُون
“Lalu mereka (saudara – saudara Yusuf) masuk ke (tempat)-mua. Maka Yusuf mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya”. (QS. Yusuf/12:58)
c.       “menolak lisan yang ditumbuhkan dari hati” seperti firman Allah SWT.
يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang – orang yang kafir”. (QS. An – Nahl/16:83)
Al – ‘Askarly membedakan antara makna “al-Inkar” dan “al-juhd”. kata “al-Inkar” ternadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedang “al-juhd” terhadap sesuatu yang tampak dan disertai dengan pengetahuan. Dengan demikian, bisa hadi pengingkaran sunnah sebagai hujjah di kalangan orang yang tidak banyak mengetahui tentang ulumul hadits.
Dari beberapa kata “ingkar” teersebut dapat disimpulkan bahwa ingkar secara etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batik atau lisan dan hati yang latar belakangi oleh factor ketidaktahuannya atau factor lain., misalnya karena gengsi, kesombongan dan keyakinan. Sedang kata “sunnah” secara mendetail telah dijelaskan pada uraian diatas, dimaksudkan di sini sinomin hadits sebagaimana yang dikehendaki oleh mauoritas ulama hadits. [11]
2.      Arti ingkar sunnah meneurut  istilah.
Cukup banyak diantara pakar hadist yang berbicara tentang ingkar sunah, tetapi tidak menemukan banayak yang mengemukakandefini ingkar secara terminologisdan secara eksplesit.penulis hanya menemukan definisi ingkar sunah di beberapa refrensi berbahasa Indonesia yang sifatnya hanya bersifat sederhana pembatasannya yaitu sebagai berikut.
a.    Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-Quran.
b.   Suatu pendapat yang timbul di sebagian kaum muslimin yang menolak As-sunah sebagai dasar sumber hukum.
c.    Orang-orang yang menolak sunah Rasulullah SAW sebagai hujah dan sumber kedua ajaran Islam yang wajib ditaati dan di amalkan.
d.   Golongan ingkarussunah juga menamakan dirinya sebagai golongan Qur’ni, sebab mereka hanya menggunakan Al-Quran sebagai sumber ajaran dan tidak mempercayai hadits Nabi Muhammad SAW. alasannya, adalah tugas Rasulullah SAW hanya menyampaikan bukan member perincian.
Beberapa definisi itu belum menjawab persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat modern, karena sesungguhnya tidak mungkin seorang Islam yang beriman kepada Allah SWT, para malikat, kitab-kitabnya, dan para Rasul mengingkari kehujahan sunah dan menolak hukkum-hukum yang dihasilkan daripadanya. Kehujahan sunah merupakan keharusan beragama (dharurat al-din),ijmak para ulama, penyampaian misi kerasulan, dan penjelasan Al-Quran. Ia adalah cahaya pintu Al-Quan yang memancar dari padanya. Barang siapa yang memisahkan sunah daripadanya sama halnya memisahkan Al-Quran dari Nabinya.. hanya orang-orang kafir yang menolak sunah sebagi hujjah seperti syi’ah Rafidlah yang disepakati kekafirannya oleh para ulama syafi’iyah dan diberi sifat sebagai “orang yang tak berilimu pengetahuan”. Jadi, tidak ada ummat Islam yang mengingkari esensi sunah sebagai hujah. Jikalau aa brarti keluar dari Islam. Apalagi dalam defenisi yang pertama diatas disebutkan “ dalam masyarakat Islam”, brarti boleh dipahami bahwa paham ini terjadi banyak dikalangan umat Islam.
Definisi itu tidak mengakumulasi penolakan sunah secara modern, yaitu penolakan yang mana dan bagaimana penolakannya. Apakah ditolak subtansial yakni sunah praktis atau sunah formal dalam arti yang diriwayatkan dan dikodifikasikannya. Seluruh sunah mutawatir  dan ahadkah. Demikian juga definisi tidak mekomodasi penolakan sunah karena ada alas an yang dapat diterima. Misalnya, seorang mujtahid Imam Abu Hanifah yang menolak sebagian sunah yang tidak cukup persyaratan yang beliau tetapkan. Dxengan pembatasan kalimat “timbul dalam masyarakat Islam atau dari sebagian kaum muslimin” brarti menunjukan bahwa ingkar sunah itu datangnya dari kaum muslimin dalam jumlah banyak. Hal tersebut bertentangan dengan realita dan tidak mengakomodasi berbagi bentuknya.
Definisi ingkar sunah yang dimaksud dalam buku ini sesuai dengan yang dipahami penulis melalui bacaan pustaka yang ditulis oleh para ulama modrn adalah suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari sunah shahih baik sunah  praktis maupun secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawatir dan ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dpat diterima oleh para ulama.
Dari definisi itu ada tujuh poin yang perlu mendapat penjelasn sebagai kriteria pengingkar sunah, sebagi berikut.
1)   Suatu paham.
Ingkar sunah adalah paham atau pendapat perorangan atau paham sekelompok orang. Istilah ingkar sunah, bukan nama sebuah aliran atau sekte dalam islam seperti  Muktazilah, syi’ah, khawarij, dan sunni. Tetapi ia lebih cenderung kepada sifat, sikap,, pekerjaan, dan paham individu atau sekelompok orang yang menolak kehujahan sunah. Paham ini kemungkinan terdapat dalam berbagai sakte tersebut. Para pakar hadist tidak ada satu kata dalam menyebutkan golongan ini.
2)   Sebagai minoritas umat islam
Paham menolak sunah mungkin terjadi dikalangan umat islam sekalipun sangat minim karena kekurangan informasi tentang pentingnya sunnah dalam agama atau sebab – sebab faktor lain. Umat islam sesungguhnya tidak mungkin menolak kehujahan sunah. Adapun penolakan sunah dikalangan non-muslim sangat mungkin terjadi, Karen aposisinya sangat jelas, yaitu mengingkari Nabi, al-Qur’an, sunah.
3)   Penolakan sunah sebagai dasar hukum islam
Maksudnya, ada kemungkinan paham ini menerima dan mengakui sunah selain sebagai sumber hukum islam, misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, dan tradisi. Memang pada umumnya mereka menganggap sunah sebagai sejarah atau tradisi saja. Bagi mereka tidak ada keharusan memperlakukan sunah sebagai hujah dalam beragama dan tidak ada kewajiban mengamalkannya. Sunah boleh diamalkan dan boleh tidak diamalkan.
4)   Sunnah praktis dan formatik.
Sunah yang diingkari adalah sunah yang shahih baik berupa sunah praktis yakni pengamalan al-Qur’an (sunah ‘amaliyah) maupun sunah formalistik, yakni sunah yang dikodifisikank, yakni sunah yang dikodifisikan para ulama dalam berbagai bbuku induk hadis meliputi perbuatan, perkataan, dan persetujuan Nabi SAW. Bisa jadi secara substansial mereka menerima sunah praktis tetapi menolak sunah formalistis atau menolak keduanya.
5)   Penolakan sunah secara total atau sebagian saja.
Paham ingkar sunah bisa jadi menolak keseluruhan sunah baik sunah mutawatirah dan ahad atau menolak ahad saja dan atau sebagian daripadanya. Berarti kemungkinan mereka hanya menerima sunah sebagai praktik hidup Rasulullah dalam melaksanakan al – Qur’an yang disebut dengan sunah amaliyah mutawatirah (arti sunah pada awal perkembangan islam) dan tidak menerima sunah yang diriwayatkan dan dikodifikasikan para ulama pendahulunya.
6)   Penolakan secara terang terangan atau tidak .
Para ulama membagi ingkar sunah menjadi dua macam. Pertama, adakalanya dengan ungkapan yang tegas (sharih) bahwa hanya al – Qur’an yayng dijadikan hujah dalam islam dan menolak kehujahan sunah dengan cara mencerca para periwayatnya secara diplomatis. Jadi, pengertian ingkar sunah memasukkan dua kelompok ini.
7)   Tidak ada dasar alasan yang diterima.
Maksudnya, jika seseorang menolak sebagian sunnah dengan alasan yang dapat diterima oleh syara’ atau akal yang sehat. Misalnya, seorang mujtahid yang menemukan dalil yang lebih kuat dari pada hadis yang ia dapatkan, atau hadis itu tidak sampai kepadanya, atau karena kedla’ifannya, atau karena ada tujuan syar’i yang lain, maka tidak digolongkan ingkar sunnah.
Dengan definisi tersebut menjadi jelas maksud ingkar sunnah karena ia telah mengakumulasi mana yang harus masuk dan mana yang harus keluar dari definisi tersebut (jami’ dan mani’). Definisi ini memudahkan bagi penulis dalam membuat standarisasi dan klasifikasi siapa sebenarnya yang dimaksud ingkar sunnah dalam tataran tingkat ringan atau berat, keseluruhan atau sebagian, atau dalam tataran berpikir rasional atau sebagai mujtahid. Sebagian kelompok ingkar sunnah menamakan dirinya sebagai kelompok al-Qur’an atau al-Qur’aniyun seperti yang terjadi di india. Ada lagi kelompok Qur’ani atau al-Qur’an suci seperti yang terjadi di Indonesia untuk menunjukkan bahwa mereka kelompok yang paling islami.[12]
3.      Macam-macam ingkar sunnah
Pembahasan macam-macam ingkar sunnah dapat dilihat dari berbagai segi, di antaranya dari segi objek sunnah yang diingkari itu sendiri. Dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan corak ingkar sunnah masa al-Syafii (w. 240 H) yang meliputi pengingkar sunnah secara keseluruhan  baik mutawatir dan ahad, menolak sunnah ahad, dan menolak yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Dalam pemikiran modern ingkar sunnah terdapat pengingkaran sunnah mudawwanah (sunah yang tertulis dan dikodifikasikan) tetapi menerima sunnah tathbiqiyah (sunah praktis/praktik Nabi yang tidak tertulis). Secara umum, pemikiran modern ingkar sunnah dapat dibagi menjadi lima besar, sebagai berikut:
a.         Ingkar Sunnah Mutlak
Bagian pertama ini mengingkari kehujjahan seluruh sunnah secara mutlak sebagai sumber hukum, baik substansi sunnah yakni sunnah praktis (‘amaliyah) secara mutawatirah dari Nabi sejak sebelum terkodifikasi maupun sunnah yang terkodifikasi sampai sekarang ini melalui sanad yang terpaparkan baik mutawatir dan ahad. Pengingkar sunnah tipe pertama ini terjadi pada seseorang yang dilatarbelakangi oleh kemurtadan atau mengimani Muhammad sebagai Rasul sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan tidak terjadi pada seorang muslim. Menurut para ulama’, menolak kehujahan sunnah secara mutlak dan produk hukum dari padanya tidak mungkin terjadi pada diri seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, karena kehujahan sunnah merupakan keharusan dalam beragama (dlaruriyat al-din) dan konsensus kaum muslimin (ijmak). Kecuali dari kaum Zindik dan Syi’ah Ghulahyang menolak sunah sebagai hujah, karena mereka mempunyai kepercayaan, bahwa Allah yang berhak menjadi Nabi, sementara Jibril dianggap salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad. Pengingkar sunah yang tergolong mutlak ini seperti Rasyad Khalifah berbangsa mesir mengaku menjadi Nabi tinggal di Amerika serikat dan telah meninggal pada 1988.
b.         Ingkar Sunnah Kulli
Pemikiran modern mengingkari sunah secara keseluruhan (kulli=kulliy), baik sunah mutawatirahatau ahad. Maksud pengingkar kulli disini adalah menolak kehujahan sistem periwayatan sunah yang terjadi setelah masa Rasulullah, baik secara mutawatir atau ahad, bukan esensi sunah yang dilakukan Rasulullah dalam mempraktikkan al-Qur’an secara mutawatir yang disebut dengan mutawatir ‘amaliy (sunah praktis). Karena hal demikian tidak mungkin terjadi pada seorang Islam yang mengakui kerasulan Muhammad. Penolakan sunnah dimaksudkan, menolak semua cara periwayatan atau prosedur kehadiran sunah yang tidak memberi faidah ilmu (pasti), dan zhann (dugaan kuat) baik mutawatir maupun ahad. Mereka menolak pengamalan seluruh sunah yang diriwayatkan, karena tidak ada jalan periwayatan yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya sehingga tidak dijadikan pegangan kuat.
Di antara mereka yaitu Ahmad Shubhiy Manshur yang mengatakan, bahwa sunah hakikat nya adalah operasional al-Qur’an, karena ia sebagai sistem jalan hidup yang harus diikuti oleh Nabi. Oleh karena itu, pengikut hadis yang diasumsikan bertentangan dengan al-Qur’an kemudia disandarkan Nabi, dianalogikan sebagai setan. Sebagai musuh Nabi saw yang membawa wahyu setan untuk ditulis dan dibukukan sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an.
Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan yang (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan yang mereka ada-adakan.(QS. Al-An’am/6: 112)
c.       Inkar sunnah syibhkulli
Golongan paham ini maksudnya hanaya menerima hadist mutawattir. Saja dan menolak seluruh sunnah ahad namun menurutnya hadis mutawattir itu tidak mungkin terjadi karena sulitnya persyartan yang di tentukan oleh para ulama. Dengan demikian, golongan ini disebut juga serupa dengan pengingkar seluruh sunnah (syibahkulli). Mereka diantaranya Mahmud Abu Rayyah yang mengatakan, bahwa hadis ahad hanya member faedah zhan yang tercela dan tidak ada manfaatnya sebagimana penjelasan al-Qur’an , QS. Yunus/10:36, an-Najm/5328, dan an-Nisa/4:157.
Memang terjadi perbedaan diantara para peneliti tentang kuelifikasi Mahmud Abu Ruyyah. Sebagian diantara mereka menggolongkannya sebagai pengingkar sunnah kulli seperti Khadim Huasyn Ilahi Najasy, dan sebagian lagi menggolongkan pengingkar sunnah ahad. Seperti Abd al-Maujud. Perbedaan itu karena penilaian pengingkar kulli lebih berdasarkan pada latar belakang pengakuan pengingkarnya yang menerima hanya mutawattir saja. Padahal realita yang terjadi mereka berpendapat bahwa hadis mutawattir pun hakikatnya tidak mungkin terjadi, dengan demikian seorang penulis seperti Mahmud Abu Ruyyah dapat di masukkan kesemua golongan, ketika ia tidak mengakui hadis mutawatir berarti masuk pada kelompok yang pertama dan ketika mengakuinya berarti masuk pada kelompok kedua yakni syibhkulli. Dan ketika sebagai periwayat atau matan suatu hadis, dapat di kelompokkam sebagai yang ketiga. Akan tetapi, secara spesifik, berdasarkan data yang factual ia dikelompokkan pada golongan kedua.
d.      Ingkar Sunnah Juz’i
Pengingkar sebagian sunnah, maksudnya mengingkari sebagian sunnah ahad yang shahih (juz’i=juz’iy) yang dianngap bertentangan dengan al-Qur’an dan rasio dan sains. Mereka itu diantaranya ahmad amin dan mustafia Mahmud. Ahmad amin menolak hadis tentang kurma ajwa yang dapat mengobati racun dan sihir, sedangkan mustafia Mahmud menolak hadis tentang syafaat sekalipun shohih dengan alasan bertentangan dengan al-Qur’an.
Termasuk kelompok terakhir ingkar sunnah bi Ghaiyr Thariq al-Manqul. Menolak hadis atau sunnah melalui jalan sanad/jalan yang dipindahkan dari guru-gurunya sendiri atau imam-imam dalam kelompok tertentu samapai kepada Nabi SAW. Seperti ajaran LDII (lembaga dakwah islam Indonesia) yang hanya mengakui hadis yang diriwayatkan oleh para amir atau guru-guru yang telah belajar dari para amir dan para amir ini mendapatkannya dari amirul mukminin Nur Hasan Ubaidilllah Lubis Kediri ( w. 1982) kelompok ini hanya menerima hadis yang disampaikan dari mulut dan uaraian para gurunya dan menolak bahkan sesat hadis yang diriwayatkan selain kelompok mereka. LDII ini merupakan jelmaan dari Lemkara (lembaga karyawan lembaga islam) yang pernah di bubarkan pemerintah 1988 karena meresahkan masyarakat Indonesia. Lemkari jelmaan dari islam Jemaah pimpinan mendiang Nur Hasan Ubaidillah Lubis ( luar biasa) yang di bubarkan dan di larang oleh pemerintah Indonesia SK Jaka Agung 1971 dengan alasan meresahkan umat islam Indonesia. Kelompok yang terakhir ini tidak di bahas secara terpisah dalam buku ini karena dianngap sama dengan kelompok keempatnya kini ingkar sebagian sunnah.[13]













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw, maupun sifat-sifat beliau tentang sifat-sifat Nabi baik berbentuk moral, fisik, maupun perilaku. Dan macam-macam Sunnah itu ada tiga. Yaitu, Sunnah qauliyah yang disebut dengan sunnah dalam konteks ucapan Nabi Muhammad saw. kedua, Sunnah fi’liyah yang disebut dengan sunnah dalam konteks perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. dan ketiga, sunnah taqririyah adalah ucapan, perbuatan sahabat yang dilakukan sahabat Nabi Muhammad saw.
Dan pembagian hadist atau sunnah ada tiga mutawattir (diriwayatkan Nabi saw), hadis mashur (diriwayatkan beberapa orang sahabat), hadis ahad (diriwayatkan satu atau dua orang sahabat)
Kehujjahan al-Qur’an yaitu kesepakatan umat islam untuk hadis dijadikan sumber bagi para mujtahid untuk mengistinbatkan hukum islam yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Melalui, banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Nabi, ijma’ sahabat, dan ayat al-Qur’an menyebutkan hukum secara global tidak secara terperinci.
B.     Saran
Dari berbagai penjelasan tentang al – Hadits sebagai sumber hukum islam dalam makalah ini, baik dari ulama fiqh dan ushuliyyin, semoga kita sebagai umat muslim selalu berpegang teguh terhadap kitabullah dan as – sunnah.hingga akhirnya kita semua mendapat syafaat dari Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Di dunia maupun di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus. Ushul Fiqh. Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta Timur: Zikrul Karim, 2004.
Ishomuddin, Abbadi. Ushul Fiqh (Pengantar Teori Hukum Islam). Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2010.
Shiddiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Syarifuddin, Amir.Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008.
Ponpes Bata – bata.                                                       


[1]Firdaus, Ushul Fiqh. Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.(Jakarta Timur: Zikrul Karim, 2004). Hlm. 31 – 32.
[2] Abbadi Ishomuddin, Ushul Fiqh(Pengantar Teori Hukum Islam) (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press 2010), hlm. 28-29.
[3]Ibid. Hlm. 32.
[4]Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm. 55-57.
[5]Firdaus, Ushul Fiqh. Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.(Jakarta Timur: Zikrul Karim, 2004). Hlm.37 – 39.
[6]Abbadi Ishomuddin, Ushul Fiqh (Pengantar Teori Hukum Islam) (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press 2010), hlm. 37-38
[7]Firdaus, Ushul Fiqh. Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. (Jakarta Timur: Zikrul Karim, 2004). Hlm. 35-36
[8]Ponpes Bata – bata. hlm.58

[9]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008). Hlm. 242-246
[10] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah Pendekatan Ilmu Hadis. (Jakarta: Kencana, 2015). Hlm. 13-15.
[11] Ibid. hlm. 16-17.
[12] Ibid. hlm. 20-25.
[13] Ibid. hlm. 25-27.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar