Selasa, 05 Juni 2018

MASLAHAH MURSALAH


MASLAHAH MURSALAH

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
yang diampu oleh Bapak Moh Cholid Wardi, M.HI

Disusun oleh :
KELOMPOK 6
NURCAHYA FEBRIYANTI S.                   (NIM: 20170703022158)
OKTAVIA DEVA S.                                                 (NIM: 20170703022165)
RENI MAULINA Y.                                                 (NIM: 20170703022176)
RISKIYATUL HIDAYATI                          (NIM: 20170703022179)
ROHMATUL KAMILAH                            (NIM: 20170703022182)
SAHLATUN MUYESSAROH                     (NIM: 20170703022187)



 








PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  MADURA
2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulilah wasyukurilah, segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal, sehingga kita senantiasa berada dalam genggamannya dengan penuh kepasrahan. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada sang pencerah alam semesta dengan cahaya keimanan yakni dengan kehadiran baginda Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari alam kebodohan hingga ke alam yang penuh ilmu pengetahuan ini.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Bapak Moch Cholid Wardi selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqih yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah ini. Tidak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah memberikan kami bantuan baik berupa material maupun spiritual.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca untuk dijadikan pedoman dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Harapan kami semoga makalah “Maslahah Mursalah” yang kami susun ini menjadi suatu ilmu yang bermanfaat. Amin
Wassalamualaikum Wr. Wb.
            Pamekasan, 17 April 2018
   Penyusun,
  Kelompok 6



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR                                                                            i
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1
A.    Latar Belakang...................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................. 1
C.     Tujuan Penulisan Masalah..................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................... 3
A.    Pengertian Maslahah Mursalah.............................................. 3
B.     Syarat-syarat Maslahah Mursalah.......................................... 4
C.     Dasar Hukum Maslahah Mursalah........................................ 6
D.    Macam-macam Maslahah Mursalah...................................... 7
E.     Kehujjahan Maslahah Mursalah........................................... 11
BAB III PENUTUP............................................................................. 13
A.    Kesimpulan........................................................................... 13
B.     Saran..................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 15







BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Islam merupakan agama Rahmatan lil ‘alamin yang dianugerahkan kepada seluruh umat manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, dalam situasi dan kondisi yang berubah-ubah tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa agama Islam sebagai agama mampu menjawab segala permasalahan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Agama Islam dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dikehidupan manusia melalui sumber-sumber hukum yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Tidak hanya itu, selain al-Qur’an dan as-Sunnah juga banyak yang telah menjadi dasar hukum seperti ijma’, uruf dan lain sebagainya.
Selain itu, para ulama juga mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertujuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, mewujudkan kemaslahatan dan mencegah atau menolak berbagai kerusakan bagi umat manusia dengan menyesuaikan pada tujuan syari’at yang disebut dengan Maslahah Mursalah. Dalam makalah ini, akan dijelaskan dengan terperinci tentang Maslahah Mursalah yang akan membuka wawasan kita mengenai Ushul Fiqih.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Maslahah Mursalah?
2.      Apa saja syarat-syarat dari Maslahah Mursalah?
3.      Apa saja dasar hukum dari Maslahah Mursalah?
4.      Apa saja macam-macam dari Maslahah Mursalah?
5.      Bagaimana kehujjahan atau kedudukan dari Maslahah Mursalah?

C.     Tujuan Penulisan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Maslahah Mursalah.
2.      Untuk mengetahui syarat-syarat dari Maslahah Mursalah.
3.      Untuk mengetahui dasar hukum dari Maslahah Mursalah.
4.      Untuk mengetahui macam-macam dari Maslahah Mursalah.
5.      Untuk mengetahui kehujjahan atau kedudukan dari Maslahah Mursalah.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Maslahah Mursalah
Secara etimologis Maslahah Mursalah terdiri atas dua suku kata, yaitu Maslahah dan Mursalah. Maslahah berasal dari kata shalaha (صلح) dengan penambahan “alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Maslahah merupakan mashdar dengan arti kata shalah (صلاح), yaitu “manfaat” atau “terlepas dari padanya kerusakan”.[1]
Kata Maslahah dalam bahasa Indonesia berarti “sesuatu yang mendatangkan kebaikan”. Dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Sedangkan dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau ketenangan; maupun dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau kerusakan.[2]
Sedangkan Mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu رسل, dengan penambahan huruf “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi ارسل yang berarti “terlepas” atau dalam arti مطلقة (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan kata Maslahah maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.[3]
Adapun secara terminologi, terdapat beberapa definisi Maslahah Mursalah yang dirumuskan oleh ulama ushul di antaranya:
1.      Imam Ar-Razi mena’rifkan sebagai berikut:
بِاَنَّهَاعِبَارَةٌ عَنِ الْمَنْفَعَةِالَّتِيْ قَصَدَهَا الشَّارِعُ الْحَكِيْمُ لِعِبَادِهِ فِى حِفْظِ دِيْنِهِمْ وَنُفُوْسِهِمْ وَعُقُوْلِهِمْ وَنَسْلِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ.
Artinya: “Maslahah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.”

2.      Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut:
اَمَّاالْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِى الْاَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ اَوْدَفْعِ مَضَرَّةٍ.
Artinya: “Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak mudarat.”

3.      Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, Maslahah ialah:
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ بِدَفْعِ الْمَفَاسِلِعَنِ الْخَلْقِ.
Artinya: “Memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.”[4]

Dari penjelasan ulama ushul tentang definisi Maslahah Mursalah, dapat disimpulkan bahwa Maslahah Mursalah mempunyai tujuan utama yang sama yaitu memelihara dari kemudaratan dan menjaga kemanfaatannya.[5]

B.     Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan Maslahah Mursalah dalam pembentukan hukum Islam telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1.      Maslahah itu harus hakiki, bukan semu. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya benar-benar menarik suatu manfaat atau menolak bahaya. Jika hanya didasarkan bahwa penetapan hukum itu mungkin menarik suatu manfaat, tanpa membandingkan dengan yang menarik suatu bahaya, berarti didasarkan atas Maslahah yang semu. Misalnya: dugaan Maslahah dalam membatasi hak suami sampai menceraikan istrinya dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu hanya bagi hakim dalam segala keadaan.
2.      Maslahah harus bersifat umum, bukan pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau bagian kecil dari mereka. Jadi, Maslahah itu harus untuk mayoritas umat manusia.[6] Misalnya: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang Islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.[7]
3.      Penetapan hukum untuk Maslahah tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash atau ijma’. Misalnya: ada seseorang berbuka dengan di siang hari bulan ramadan. Imam Yahya berfatwa bahwa tidak ada tebusan karena merusak puasanya kecuali orang itu harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Beliau mendasarkan fatwanya bahwa kemaslahatan menuntut hal itu, karena tujuan kewajiban membayar tebusan adalah membuat jera dan menahannya sehingga orang itu tidak kembali kepada dosa yang seperti itu. Dan juga tidak ada yang membuat seseorang itu jera kecuali dengan hal itu. Jika orang itu wajib memerdekakan budak, hal itu sangatlah ringan baginya dan tidak membuatnya jera. Fatwa tersebut didasarkan pada kemaslahatan, tetapi bertentangan dengan nash. Karena nash yang jelas dalam denda orang yang membatalkan puasanya dengan sengaja di bulan ramadan adalah memerdekakan budak, jika tidak menemukan maka harus berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin tanpa membedakan apakah yang berbuka itu seorang raja atau seorang fakir.[8]
4.      Maslahah itu bukan Maslahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya dan tidak menganggap salah.[9]

C.     Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Sumber asal dari metode Maslahah Mursalah diambil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang banyak jumlahnya, seperti berikut ini:
1.      Al-Qur’an
يَآءَيُّهَاالنَّاسُ قَدْجَآءتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌلِّمَا فِى الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ.
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh dari penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Yunus (10): 57)

Dengan ayat ini, Najmuddin al-Thufi membuktikan bahwa Maslahah benar-benar diperhatikan dan dijamin perwujudannya dalam syari’at. Kemudian ditempuhlah jalan pemikiran yang handal dengan cara menguraikan kandungan ayat tersebut secara harfiyah dan hasilnya merupakan pembuktian yang legalistik dan syari’at Islam yang benar-benar memperhatikan dan menjamin perwujudan kemaslahatan umat manusia.[10]

2.      As-Sunnah
Nash dari As-Sunnah yang dipakai landasan dalam mengistimbatkan hukum dengan metode Maslahah Mursalah adalah hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah yang berbunyi:
حدثنا محمد ابن يحي, حدثنا عبدالرزاق عن جابر الجعفى عن عكرمة عن ابنعباس قال :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا ضرر ولاضرار (رواه ابن ماجة)
Artinya: “Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas  berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh membuat mazdarat (bahaya) pada dirinya dan tidak boleh pula membuat mazdarat pada orang lain”. (HR. Ibn Majjah).[11]
D.     Macam-macam Maslahah Mursalah
Para ahli ushul mengemukakan beberapa pembagian Maslahah yang dilihat dari beberapa segi, yaitu:
1.      Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, Maslahah ada 3 macam yaitu:
a.       Maslahah dharuriyah (المصلحة الضرورية) adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Artinya, kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Lima prinsip yang dimaksud yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Allah memerintahkan manusia untuk melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokoknya apabila usaha yang dilakukan menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik dalam tingkat dharuriyah. Dan jika usaha yang dilakukan menuju pada rusaknya satu diantara lima prinsip tersebut adalah buruk, maka Allah melarangnya. Sedangkan meninggalkan larangan Allah adalah baik. Dalam hal ini, Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum-minuman keras untuk memelihara akal, melarang berzina untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara harta.[12]
b.      Maslahah hajiyah  (المصلحة الحاجية) adalah kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan manusia.[13] Dalam maslahah hajiyah ini, tingkat kebutuhan hidup manusia kepada lima prinsip itu tidak berada pada tingkat dharuri dan bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju kearah sana seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Maslahah hajiyah jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut. Tetapi secara tidak langsung memang bisa mengakibatkan perusakan. Misalnya: menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk sempurnanya akal, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan baik atau Maslahah dalam tingkat haji. Sedangkan perbuatan buruk yang dilarang seperti: menghina agama berdampak pada memelihara agama, mogok makan pada memelihara jiwa, minum dan makan yang merangsang pada memelihara akal, melihat aurat dalam pada memelihara keturunan dan sebagainya. Menjauhi larangan tersebut adalah baik atau Maslahah dalam tingkat haji.[14]
c.       Maslahah tahsiniyah (المصلحة التحسينسة) adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.[15] Pada maslahah tahsiniyah ini, kebutuhan hidup manusia tidak sampai tingkat dharuri maupun tingkat haji.[16] Misalnya: dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang bergizi.

2.      Dilihat dari segi keberadaan Maslahah menurut syara’ terbagi menjadi tiga, yaitu:
a.       Maslahah Mu’tabarah (المصلحة المعتبرة) adalah kemaslahatan yang didukung atau diperhitungkan oleh syara’.[17] Artinya, ada petunjuk dari syara’ baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan penunjuk pada adanya Maslahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Dari langsung tidaknya petunjuk (dalil) terhadap Maslahah dibagi menjadi dua, yaitu:
1)      Munasib mu’atstsir (المناسب المئثر) yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari’) yang memerhatikan Maslahah tersebut. Artinya, ada petunjuk syara’ dalam bentuk nash yang menetapkan bahwa Maslahah dijadikan alasan dalam menetapkan hukum. Misalnya: tidak baiknya mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit. Alasan adanya “penyakit” ini yang dikaitkan dengan larangan mendekati perempuan disebut munasib. Hal itu ditegaskan dalam surat Al-Baqarah (2): 222:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَأَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ.
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit; oleh karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid.[18]

2)      Munasib mulaim (المناسب الملائم) yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap Maslahah tersebut, tapi secara tidak langsung ada. Misalnya: bolehnya jama’ shalat bagi orang yang muqim (penduduk setempat) karena hujan. Keadaan hujan ini memang tidak pernah dijadikan alasan untuk hukum jama’ shalat, tetapi syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan, yaitu “dalam perjalanan” (safar) menjadi alasan untuk bolehnya jama’ shalat.[19]
b.      Maslahah mulghah (المصلحة الملغة) adalah kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.[20] Tetapi, Maslahah ini dianggap baik oleh akal. Artinya, akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara’, tetapi kenyataannya syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh Maslahah itu. Misalnya: seorang yang kaya melakukan pelanggaran hukum, yaitu mencampuri istrinya di siang hari bulan ramadan. Untuk orang ini sanksi yang paling baik adalah disuruh puasa dua bulan berturut-turut, karena cara inilah yang diperkirakan akan membuatnya jera melakukan pelanggaran. Pertimbangan ini memang baik dan masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yaitu menjerakan orang dalam melakukan pelanggaran. Tetapi apa yang dianggap baik oleh akal, ternyata tidak seperti itu dalam syara’, bahkan menetapakn hukum yang berbeda dengan itu, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya, meskipun sanksi ini bagi orang kaya dinilai kurang relevan untuk dapat membuatnya jera.[21]
c.       Maslahah mursalaat (المصلحة المرسلة) adalah kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak juga dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang terperinci.[22] Dalam Maslahah ini, apa yang dipandang baik oleh akal sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Tetapi tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada juga petunjuk syara’ yang menolaknya.[23] Misalnya: kemaslahatan daulah Islam dalam penjagaan harta penduduk oleh tentara ketika membutuhkannya atau ketika adanya musuh, juga ketika tidak sedikitpun harta yang dimiliki oleh negara karena dibelanjakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Kemaslahatan seperti itu tidak ada penguatnya dan tidak pula ada dalil yang membatalkannya, namun termasuk salah salah satu ketentuan syari’at yaitu menjaga agama.[24]



3.      Dilihat dari segi kandungan, Maslahah dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Maslahah ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya: para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b.      Maslahah khashshah adalah kemaslahatan pribadi yang sangat jarang terjadi. Misalnya: kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan sesorang yang dinyatakan hilang (maqfud).[25]

E.     Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan Maslahah Mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya:
1.      Maslahah Mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama-ulama Hanafiyyah, dan sebagian ulama Malikiyah seperti Ibnu Hajib dan ahli zahir.[26] Adapun dua alasan para ulama tidak menjadikan Maslahah Mursalah sebagai hujjah, yaitu:
a.       Syari’at itu sudah mencakup seluruh kemaslahatan manusia, baik dengan nash-nashnya maupun dengan apa yang ditunjukkan oleh qiyas. Karena syari’ tidak akan membiarkan manusia dalam kesia-siaan dan tidak membiarkan kemaslahatah yang manapun tanpa memberikan petunjuk pembentukan hukum untuk kemaslahatan itu serta tidak ada kemaslahatan tanpa ada saksi dari syari’ yang menunjukkan anggapannya. Sedangkan kemaslahatan yang tidak ada saksi dari syari’ yang menunjukkan anggapannya, pada hakikatnya adalah bukan kemaslahatan, melainkan kemaslahatan semu yang tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.[27]
b.      Penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan umum adalah membuka kesempatan hawa nafsu manusia, seperti para pemimpin, penguasa, ulama pemberi fatwa. Sebagian dari mereka kadang-kadang dikalahkan oleh keinginan nafsunya, sehingga mereka menghayalkan kerusakan sebagai kemaslahatan. Sedangkan kemaslahatan adalah suatu hal yang relatif, tergantung pada lingkungan. Maka penetapan hukum syari’at karena kemaslahatan umum berarti membuka pintu kejelekan.[28]
2.      Maslahah Mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.[29] Adapun alasan para ulama menjadikan Maslahah Mursalah sebagai hujjah, yaitu:
a.       Kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habisnya. Apabila hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru, sesuai dengan perkembangan mereka dan penetapan hukum hanya berdasarkan anggapan syari’ saja, maka banyak kemaslahatan manusia di berbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Hal ini tidak sesuai, karena tujuan penetapan hukum antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia.
b.      Orang yang mau meneliti penetapan hukum yang dilakukan para sahabat Nabi, tabi’in dan imam-imam mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi menerapkan kemaslahatan umum, bukan karena ada saksi dianggap oleh syari’.[30]









BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
1.      Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah adalah suatu kemaslahatah yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
2.      Syarat-syarat Maslahah Mursalah, yaitu:
a.       Maslahah itu harus hakiki, bukan semu.
b.      Maslahah harus bersifat umum, bukan pribadi.
c.       Penetapan hukum untuk Maslahah tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash atau ijmak.
d.      Maslahah itu bukan Maslahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya dan tidak menganggap salah.
3.      Dasar Hukum Maslahah Mursalah
a.       Al-Qur’an
b.      As-Sunnah
4.      Macam-macam Maslahah Mursalah
a.       Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujah dalam menetapkan ukum, Maslahah ada 3 macam yaitu:
1)      Maslahah dharuriyah.
2)      Maslahah hajiyah.
3)      Maslahah tahsiniyah.
b.      Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi menjadi tiga, yaitu:
1)      Maslahah Mu’tabarah.
2)      Maslahah mulghah.
3)      Maslahah mursalaat.
c.       Dilihat dari segi kandungan, maslahah dibagi menjadi dua yaitu:
1)      Maslahah ammah.
2)      Maslahah khashshah.
5.      Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan Maslahah Mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya:
a.       Maslahah Mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama-ulama Hanafiyyah, dan sebagian ulama Malikiyah seperti Ibnu Hajib dan ahli zahir.
b.      Maslahah Mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushu.

B.     Saran
Dalam membaca makalah yang Kami buat, sebaiknya dibaca dengan teliti. Karena di dalam makalah ini banyak kata yang berasal dari bahasa arab atau peristilahan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Dan Kami juga mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah yang Kami buat.








DAFTAR PUSTAKA
Mufid, Mohammad. Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer. Jakarta: Kencana. 2016.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih Jilid 2. Jakarta: Kencana. 2008.
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Jawa Barat: CV Pustaka Setia. 2015.
Uman, Chairul. Ushul Fiqih 1. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998.
Wahhab Khallaf, Abdul. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani. 2003.
Http://eprints.walisongo.ac.id./3079/2105148.Bab2.pdf, pada tanggal 15 April 2018 pukul 10.00.



                                                                                                   



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 367.
[2] Mohammad Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 117.
[3] Syarifuddin, Ushul Fiqih, hlm. 377.
[4] Chairul Uman, Ushul Fiqih 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 135-137.
[5] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Jawa Barat: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 117.
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 113-114.
[7] Chairul Uman, Ushul Fiqih 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 138.
[8] Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, hlm. 114.
[9] Uman, Ushul Fiqih 1, hlm. 138.
[10] Mohammad Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 125-126.
 [11] Http://eprints.walisongo.ac.id./3079/2105148.Bab2.pdf, pada tanggal 15 April 2018 pukul 10.00.
[12] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 371.
[13] Mohammad Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 121.
[14] Syarifuddin, Ushul Fiqih, hlm. 372.
[15] Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi, hlm. 121.
[16] Syarifuddin, Ushul Fiqih, hlm. 372.
[17] Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi, hlm. 121.
[18] Syarifuddin, Ushul Fiqih, hlm. 373-374.
[19] Ibid. hlm. 374-375.
[20] Mohammad Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 121-122.
[21] Syarifuddin, Ushul Fiqih, hlm. 376.
[22] Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi, hlm. 122.
[23] Syarifuddin, Ushul Fiqih, hlm. 376-377.
[24] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Jawa Barat: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 121.
[25] Mohammad Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 121.
[26] Chairul Uman, Ushul Fiqih 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 141.
[27] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 115.
[28] Ibid.
[29] Chairul Uman, Ushul Fiqih 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 141.
[30] Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, hlm. 112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar