Selasa, 05 Juni 2018

IJMAK



QIYAS SEBAGAI SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah UshulFiqh
yang diampu olehBapak Moch.CholidWardi, M.HI.
Disusun Oleh Kelompok 3: 
Moh Aliwefa 20170703022036
Muhammad Rokib                      20170703022047       
Tufiqurrahman                      20170703022054
Ainul Khos                                   20170703022064
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2018

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
            Islam hadir sebagai agama yang konplit, sebab islam membahas segala aspek dan dimensi kehidupan. Hal ini sebab dua pusaka islam yang diwariskan oleh sang Nabi, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah (hadis). di dalam dua pusat rujukan ummat Islam tersebut telah membahas dan mengatur segala aspek kehidupan baik yang bersifat  dunia maupun yang bersifat ukhrawi.
            Seiring dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Yang membawa risalah Islam, dengan sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Hal ini membawa suatu dampak yang sangat signifikan dalam mengatasi masalah-masalah yang ada dikalangan umat saat itu, karena selain sudah ada sumber hukum Islam (Al-Qur’an) para sahabat juga bisa bertanya langsung kepada Nabi seandainya permasalahan yang dihadapi tidak ada dalam Al-Qur’an.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan ajal menjemput Nabi (wafat), sedang secara otomatis wahyupun berakhir maka para sahabat kehilangan jalan pemecahan permasalahan jika seandainya, permasalahan yang dihadapi tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Sedang Nabi Muhammad yang biasa dijadiakan tempat pemutusan suatu masalah telah tiada.
Maka dari itu para sahabat seakan tidak punya pijakan pemecahan masalah yang dihadapi jika tidak termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sebab munculnya permasalahan yang terus-menerus dan tidak semuanya terjawab lewat Al-Qur’an dan Hadis maka munculah sumber hukum dari hasil ijtihad para sahabat yang disebut Ijma’ yang akan menjadi pokok pembahasan pada makalah kali ini.
Ushul Fiqh yang merupakan matakuliah yang saat ini kami ampu, merupakan bagian dari kaidah berijtihad. Jadi ijtihad yang notabenya sebagai sumber hukum yang nomer tiga akan kami bahas pada pembahasan makalah ini berdasarkan refrensi yang kami punya dan tampa ada maksud memasukkan argument kami dari kelompok tiga jika tanpa landasan yang kuat. Maka dari kami angkat beberapa rumusan masalah, guna untuk membuat pembahasan didalam makalah ini runtut dan pemetakannya jelas.
B.     Rumusan Masalah
Pada makalah ini, kami akan mengankat beberapa rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan pada isi makalah ini:
1.      Apa pengertian ijma’?
2.      Ada berapa Syarat-syarat ijma’?
3.      Ada berapa rukun rukun ijma’?
4.      Bagaimana kehujjahan ijma’?
5.      Seperti apa Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma'?
6.      Apakah ada Kemungkinan terjadinya  ijma’?
7.      Ada berapa Macam-macam ijma’?


C.    Tujuan Penulisan
            Ada beberapa tujuan yang ingin kami capai lewat penulisan makalah ini, yang meliputi:
1.      Mengenal ijma’ sebagai salah satu sumber hukum.
2.      Mengetahui syarat ijma’
3.      Mengetahui rukun ijma’
4.      Mengetahui kehujjahan ijma’ sebagai sumber hukum.
5.      Mengenal Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma'
6.      Mengetahui kemungkinan terjadinya ijma’.
7.      Mengetahui macam-macam ijma’.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijma’
Secara etimologi, ijmå' (اجماع) mengandung dua arti: ljma' dengan arti atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma' dalam artian pengambilan keputusan itu dapat dilihat dalam Firman Allah pada surat Yunus (10): 71:
 فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ً
... karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).
Juga dapat dilihat dalam Hadis Nabi yang bunyinya:
لاصيام لمن لم يجمع الصيام من الليل
Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa semenjak malam.
ljma' dengan arti "sepakat". Ijma' dalam arti ini dapat dilihat dalam Al-Qur'an surat Yusuf (12): 15:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur.
Adapun pengertian ijma' dalam istilah teknis hukum atau istilah syar'i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau definisi ijma' sebagai berikut:
a.       Al-Ghazali merumuskan ijma' dengan:
Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama. Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad atau umat Islam. Pandangan Imam al-Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi'i yang menetapkan ijma' itu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi'i ini mengalami perubahan dan perkembangan di tangan pengikutnya di kemudian hari.[1]

b.      Al-Amidi yang juga pengikut Syafi'iyah merumuskan ijma'
Ijma' adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal 'Aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa alas hukum suatu kasus.

B.     Syarat-syarat ijma’
1.      Kuantitas Anggota Ijma'
Para ulama sependapat bahwa ijma' itu terlaksana karena adanya kesepakatan seluruh ulama mujtahid dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka. Mereka juga sependapat bahwa yang sepakat itu adalah banyak orang. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah minimal ulama mujtahid untuk terlaksananya suatu ijma'.
Di antara ulama ada yang menetapkan kehujahan ijma' melalui dalil 'aqli (akal atau logika), seperti Imam I-laramain dan ulama lain yang sependapat dengannya. Kelompok ini berpendapat bahwa jumlah ulama mujtahid untuk terlaksananya iima' adalah jumlah yang mencapai batas mutawatir yang tidak memungkinkan bersekongkol untuk berdusta atau melakukan kesalahan. Karena itu disyaratkan untuk melakukan suatu ijmå' bahwa jumlah mujtahid waktu itu mencapai batas mutawatir, karena jumlah yang kurang dari itu mungkin mengakibatkan adanya kesalahan, sedangkan kehujahan ijmä' adalah karena terhindarnya dari kesalahan.[2]

2.      Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan itu dianggap syariat.[3]
3.      Berlalunya masa
Telah dijelaskan bahwa ijmå' itu berlangsung berdasarkan kesepakatan ulama mujtahid dalam satu masa tertentu. Apakah suatu ijmä' masih dapat dijadikan hujah dan mengikat umat Islam untuk mengikutinya jika masa berlangsungnya ijma' itu telah berlalu dan semua mujtahid yang ikut dalam ijma' itu sudah meninggal, tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang menarik pendapatnya? Hal ini merupakan salah satu persoalan yang diperbincangkan kalangan ulama.
Permasalahan tersebut bermula dari pertanyaan, "Apakah seorang mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya dalam suatu ijmå' boleh menarik pendapatnya itu atau tidak? Masalahnya, kalau ia menarik pendapatnya berarti ia mempunyai pendapat berbeda dengan yang disepakati dalam ijma' itu dan dengan sendirinya menyebabkan gagalnya ijma' itu. Sebagian ulama menyatakan bahwa setiap ulama mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya dalam ijmä' tidak dibenarkan menarik pendapatnya. Atas dasar pandangan ini, maka persoalan apakah perlu ditunggu dahulu meninggalnya semua ulama yang hidup pada masa terjadinya ijmä', menjadi tidak relevan. Artinya, tidak perlu dipersyaratkan berlalunya masa untuk sahnya suatu ijma'.
Sebagian ulama lainnya menyatakan dapat saja setiap ulama yang telah mengemukakan pendapatnya dalam ijma' untuk menarik atau mengubah pendapatnya itu. Kalau demikian, sampai kapan ulama yang telah mengemukakan pendapatnya dalam ijmä' itu dapat dika- takan bahwa dia tidak menarik pendapatnya, sehingga apa yang telah mereka sepakati mempunyai kekuatan sebagai hujah. Dalam hal inilah para ulama membahas tentang persoalan apakah ada keharusan menunggu sampai punah (meninggal) semua mujtahid peserta ijma' sebagai salah satu persyaratan kekuatan suatu ijma'.
4.      Sandaran ijma’
Yang dimaksud "sandaran" di sini adalah dalil yang kuat dalam bentuk nash Al-Qur'an atau sunah, baik secara langsung muapun tidak. Dalil itu dapat dijadikan rujukan bagi keputusan ijma'. Apakah adanya sandaran itu merupakan syarat bagi kekuatan ijma'. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.[4]
1.      Hampir semua ulama berpendapat bahwa ijma' itu harus merujuk pada suatu sandaran yang kuat, bukan hanya berdasar taufiq dari Allah SWT. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a)      Dalam keadaan tidak ada rujukan atau sandaran, tidak mungkin seseorang akan sampai kepada suatu kebenaran.
b)      Nabi Muhammad SAW tidak pernah berkata atau menetapkan hukum kecuali bila sandaran berupa wahyu, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an. Para mujtahid selain Nabi tidak akan lebih baik dari Nabi; karenanya tidak mungkin mereka menetapkan suatu ketentuan hukum tanpa merujuk kcpada dalil.
c)      Seandainya para mujtahid itu dapat menetapkan hukum tanpa sandaran berarti masing-masing mujtahid secara perseorangan dapat menetapkan hukum tanpa sandaran. Bila masing-masing mujtahid secara perseorangan dapat berbuat demikian, maka tidak ada artinya lagi kesepakatan itu.
d)     Mengemukakan pendapat dalam hal agama tanpa dalil atau petunjuk adalah tindakan yang salah. Kalau sepakat berbuat begitu, berarti sepakat dalam kesalahan, padahal umat secara keseluruhan tidak mungkin sepakat dalam kesalahan.
e)      Produk hukum syar'i bila tidak disandarkan kepada dalil, tidak dapat diketahui hubungannya dengan hukum syara' Bila keadaannya seperti itu, maka tidak dapat diterima.
2.       Sebagian kecil ulama tidak mempersyaratkan adanya sandaran ijmå'. Mereka berpendapat bahwa dapat saja ijma' itu terjadi karena adanya taufik dari Allah kepada setiap mujtahid yang mengadakan kesepakatan yang menuntun mereka mencapai kebenaran tanpa memerlukan petunjuk dari dalil. Mereka mengemukakan argumentasi sebagai berikut:[5]
a)      Seandainya kekuatan suatu ijma' membutuhkan suatu dalil sebagai sandaran, maka sebenamya kekuatan hujah terletak pada dalil yang menjadi sandaran itu, bukan pada ijma' itu sendiri. Dengan demikian, ijma' itu tidak ada artinya dalam kedudukannya sebagai dalil syara' yang berdiri sendiri. Alasan itu ditolak ulama lain dcngan menyatakan bahwa ijma' itu tetap ada faidahnya seperti tidak perlu ada pembahasan lagi tentang dalil itu karena telah dikuatkan oleh ijma', atau dalil itu tidak perlu dipertikaikan lagi karena ijma' telah menerimanya.
b)      Seandainya ijma' itu memerlukan sandaran, maka tidak akan terlaksana ijma' tanpa ada sandaran, padahal cukup banyak ijma' yang tanpa menyandarkan diri kepada dalil mana pun. Contohnya seperti ijma' ulama tentang pengambilan sewa pemandian umum, penetapan kharaj, dan lain sebagainya. Ulama yang mempersyaratkan adanya sandaran atau rujukan bagi suatu ijmä' sepakat menjadikan nash Al-Qur'an dan sunah sebagai sandaran ijmä'. Namun dalam menem- patkan qiyås atau ijtihad sebagai sandaran mereka berbeda pendapat: [6]
1.      Jumhur ulama membolehkan qiyås dan ijtihad dijadikan sandaran ijma' meskipun mereka berbeda pendapat mengenai kemungkinan hal seperti itu terlaksana dalam kenyataan. Alasan mereka adalah bahwa qiyas itu sendiri adalah hujah syar'iyah yang bersandar secara langsung kepada nash, kare- na qiyas itu sendiri adalah menghubungkan sesuatu kepada hukum yang ada nash-nya. Bila ijma' dilakukan menurut cara ini, maka ijma' tersebut pada hakikatnya adalah ijma' yang menyandar kepada nash syar'i. Contoh yang mereka kemukakan adalah ijmä' tentang haramnya lemak babi yang diqiyaskan kepada dagingnya; hukum menumpahkan susu yang kemasukan bangkai tikus ditetapkan berdasarkan ijma' yang asalnya diqiyaskan kepada masuknya tikus ke dalam minyak; ijma' tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena meng-qiyas-kannya kepada penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat waktu Nabi sedang sakit.
b.      Sebagian ulama di antaranya ulama Syi'ah, Daud al-Zhahiri, Ibn Jarir al-Thabari berpendapat tidak boleh menjadikan qiyas atau ijtihad sebagai sandaran ijma'. Mereka mengemukakan alasan sebagai berikut:
a). Bentuk qiyas itu berbeda-beda. Meskipun qiyas telah didasarkan kepada sifat yang munasabah atau berpengaruh terhadap hukum, namun pandangan ulama terhadapnya berbeda-beda. Dalam hal ini tentu tidak mungkin qiyas itu dijadikan sandaran bagi suatu ijma'.
b.) Pada dasarnya qiyas itu bukanlah suatu dalil yang disepakati; oleh karenanya tidak mungkin dijadikan dasar untuk ijma'.
c). Tidak pernah di kalangan para sahabat menetapkan hukum secara ijma' yang tidak didasarkan kepada Al-Qur'an dan sunah. Ijmå' mereka atas kewarisan saudara seayah saat tidak ada saudara kandung, sebenarnya didasarkan kepada nash Al-Qur'an.
3. Sebagian ulama mengambil pendapat di tengah-tengah kedua pendapat di atas. Menurut mereka bila qiyas itu didasarkan kepada 'illat yang ditetapkan berdasarkan nash atau 'illatnya cukup lahir dan tidak samar hingga tidak memerlukan pembahasan, maka dapat dijadikan sandaran ijma'. Tetapi bila 'illat-nya tidak jelas atau tidak berdasarkan nash, maka qiyas tersebut tidak dapat dijadikan sandaran ijma'. Para ulama yang membolehkan qiyas dijadikan sandaran ijma' itu, sebenarnya yang mereka maksud adalah qiyas dengan 'illat yang kuat itu.

C.     Rukun Ijma’
1.      Ada sejumlah mujtahid ketika berlangsungnya kejadian yang membutuhkan ijma’, mengingat ijma’ tidak akan terwujud bila yang melakukan ijma’ hanya seorang mujtahid saja.
2.      Semua mujtahid dari berbagai golongan dan belahan dunia sepakat tentang hukum suatu masalah[7]
3.      Kesepakatan tersebut terwujud setelah masingmasing mujtahid mengemukakan tentang suatu masalah secara terangterangan.
4.      Kesepakatan tentang suatu masalah berasal dari semua mujtahid secara utuh.[8]
D.    Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijmå' menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur'an dan sunah. Ini berarti iftnä' dapat nrnetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al- Qur'an maupun Sunah. Untuk menguatkan pendapatnya ini jumhur mengemukakan beberapa ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi.[9] Di antara dalil ayat Al-Qur'an adalah:
1.      Surat an-Nisa' (4): 115:
ومن يشاقق الرسول من بعدما تبين الهدى ويتبع غيرسبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنمقلى وساءت مصيرا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya; dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk lempat kembali. (QS. An Nisa’: [4]:115).[10]

Dalam ayat ini, "jalan-jalan orang mukmin" diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang disebut ijmå' kaum mukminin. Orang yang tidak mengikuti jalan orang mukmin mendapat ancannan neraka jahanam. Hal ini berarti larangan mengikuti jalan selain apa yang diikuti kaum mukminin, dan ini berarti disuruh mengikuti ijmä'.

2.      As Sunnah, antara lain (HR. Tirmidzi)
ان الله لايجمع امتي على ضلالة
“Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku dalam kesesatan….”[11]

E.     Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma'
Ulama Ahl al-sunah yang menempatkan ijma' sebagai dalil yang berdiri sendiri sesudah Al-Qur'an dan sunah berbeda pendapat dalam beberapa hal yang menyangkut pembatasan dan persyaratan ijmä'.
1.      Keikutsertaan kalangan awam dalam ijma'
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah umat yang awam atau yang bukan mujtahid diperhitungkan  sebagai anggota ijmå', dalam arti: apakah kesepakatan mereka mencntukan sahnya ijmä' dan ketidaksepakatan mereka menyebabkan tidak sahnya ijmå'.
Jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu ijmä'. Maksudnya, meskipun umat yang awam menolak atau menerima apa yang telah disepakati oleh ulama mujtahid, maka ijma' tetap dapat berlangsung, karena yang berhak menentukan hukum dalam ijmå' adalah orang-orang
yang malnpu memahami sumber fiqh dan mengeluarkan hukumnya. Ini hanya mungkin dilakukan oleh ulama mujtahid dan umat awam tidak mempunyai kemampuan untuk itu.
2.      Ijma’ sesudah masa sahabat
Terdapat perbedaan ulama mengenai, dalam hal apakah ijmä' itu hanya terbatas pada masa sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa ijmä' itu mempunyai kekuatan hujah berpendapat bahwa ijma' tidak hanya berlaku pada masa sahabat saja, tetapi pada setiap masa ijmä' itu mempunyai kekuatan hujah bila memenuhi ketentuannya.
Alasan yang dikemukakan kelompok ini ialah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma' tidak keluar dari Al-Qur'an, sunah, dan logika. Setiap dalil itu tidak memisahkan antara penduduk satu masa dengan masa lainnya. Dalil itu pun menjangkau para ahli pada setiap masa sebagaimana menjangkau para ahli pada masa sahabat. Karena itu ijmä' pada setiap masa mempunyai kekuatan hukum atau hujah.[12]
Daud al-Zhahiri serta pengikutnya dari kelompok Zhahiriyah dan Imam Ahmad dalam salah satu versi periwayatan berbeda pendapat dengan jumhur ulama tersebut. Mereka berpendapat bahwa ijmå' yang mempunyai daya hujah hanyalah ijmå' pada masa sahabat, karena pada masa itulah memungkinkan terjadinya ijma' secara praktis, sebab waktu itu jumlah mujtahid masih terbatas dan wilayah domisili mereka relatif berdekatan. Hanya dalam masa itulah ijma' dapat terlaksana menurut syarat-syarat yang ditentukan. [13]

3.      Kesepakatan mayoritas
Apakah kesepakatan mayoritas ulama mujtahid yang tidak disetujui sebagian kecil ulama dapat disebut ijma'? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sah ijma' bila hanya mayoritas ulama saja yang bersepakat sedangkan ada minoritas yang menentangnya. Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Abu Bakar al-Razi, Abu Husein Khayyat dari Mu'tazilah dan Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sudah dapat menghasilkan ijma', meskipun ada beberapa mujtahid yang menolaknya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa bila jumlah minoritas itu mencapai tingkat mutawätir, maka ketidak sepakatan mereka menyebabkan tidak terlaksananya ijma'. Tetapi kalau jumlahnya kecil dan tidak mencapai jumlah mutawätir, maka ketidak sepakatan mereka tidak memengaruhi kelangsungan ijmä'.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kesepakatan mayoritas ulama dapat menjadi hujah, namun tidak dapat disebut ijma'. Pendapat lain mengatakan bahwa mengikuti pendapat mayoritas adalah tindakan paling baik, meskipun tidak ada halangan untuk menolak pendapat mereka.
4.       Kesepakatan ulama Madinah
Bila ulama Madinah telah sepakat tentang suatu hukum atas suatu kejadian, sedangkan ulama lain mengemukakan pendapat yang berbeda, dapatkah kesepakatan ulama Madinah itu dianggap ijma'? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.[14]
a.       Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan ulama Madinah saja tidak merupakan kekuatan hujah terhadap ulama lain yang tidak sependapat dengan itu; karena kesepakatan ulama Madinah itu bukan ijma'.
Alasan jumhur ulama ini adalah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma' itu, juga mencakup ulama-ulama lain di luar Madinah. Tanpa keikutsertaan ulama lain di dalamnya, maka tidak dapat dinamakan kesepakatan itu sebagai "seluruh umat". Karenanya kesepakatan mereka tidak dapat disebut ijma', dan dengan sendirinya tidak berdaya hujah terhadap yang lain. Pendapat ini dianggap yang terpilih menurut al-Amidi.
b.      Ulama Malikiyah mengatakan bahwa, kesepakatan ulama Madinah adalah ijmä' dan mempunyai kekuatan hujah terhadap ulama lain yang menyalahinya. Di antara ulama Malikiyah ada yang menjelaskan mengenai yang dimaksud dengan kehujahan kesepakatan ulama Madinah itu adalah bahwa periwayatan ulama Madinah lebih kuat dibandingkan dengan periwayatan ulama lain di luar Madinah. [15]
Sedangkan ulama Malikiyah yang lain mengulas bahwa kehujahan berarti kesepakatan ulama Madinah lebih utama meskipun tidak dilarang menyalahinya. Ulama Malikiyah yang lain meluruskan pendapat ini bahwa yang dimaksud dengan ulama Madinah yang kesepakatannya menjadi hujah itu adalah sahabat-sahabat Nabi di Madinah.
5.      Kesepakatan Ahlu al-Bait
Ahlu al-Bait dalam pandangan ulama Syi'ah adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui putrinya, Fathimah dengan Ali ibn Abi 'Thalib.
Di kalangan ulama Syi'ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ahlu al-Bail atas suatu hukum dianggap ijmå' yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain. Pengertian kesepakatan yang mempunyai kekuatan hujah di sini berarti kesepakatan dalam menemukan ucapan orang yang ma'shüm sebagaimana dijelaskan di atas.
Sedangkan seluruh ulama Ahl al-sunah menolak pandangan ulama Syi'ah dan Ahlu al-Bait sebagai ijma' yang mengandung hujah. Ulama Ahl al-sunah berpendapat bahwa yang ma'shüm itu adalah umat secara keseluruhan, sedangkan Ahlu al-Bait hanya sebagian kecil dari umat. 
6.      Kesepakatan Khulafaur Rasyidin
Bila empat orang sahabat Nabi yang kemudian sebagai al-Khulafa al-Rasyidin bersepakat tentang suatu hukum, namun sahabat lainnya mempunyai pendapat berlainan dengan kesepakatan itu, apakah kesepakatan mereka dapat dianggap sebagai ijma' yang mengikat umat Islam? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Imam Ahmad dalam salah satu versi periwayatan menyatakan bahwa kesepakatan mereka adalah ijmä' yang mengikat. Karenanya tidak boleh berpegang kepada pendapat lainnya. Pendapat Ahmad ibn Hambal dalam versi lain menyatakan bahwa kesepakatan mereka bukan ijma', meskipun dapat dijadikan hujah. Pendapat ini diikuti Qadhi Abi Hasan, salah seorang sahabat Hanafi.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan Khalifah yang empat itu bukan ijmå' dan tidak dapat dijadikan hujah menurut apa adanya. [16]

F.     Kemungkinan terjadinya ijma’
Ulama’ sepakat bahwa secara rasional ijma’ mungkin terjadi. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam kemungkinan ijma’ menurut kebiasaan.[17] Sedangkan, menurut al Nazzam, sebagian pengikut Syi’ah dan sebagian pengikut paham Mu’tazilah bahwa ijma’ dengan rukun rukun yang disebutkan diatas tidak mungkin terjadi, karena tidak mungkin para mujtahid sepakat dalam masalah agama yang tidak dapat diketahui secara mudah, juga para mujtahid telah terpencar disegala penjuru dunia, selain itu, kesepakatan adakalanya mungkin didasarkan pada dalil qhath’iy atau zhanniy. Apabia qath’iy ijma’ tidak diperlukan lagi. Apabila zanniy, tidak mungkin terjadi kesepakatan. Sementara jumhur ulama’ berpendapat mungkin terjadi secara adat.[18]
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' mungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijmä', pembukuan Al Qur’an, demikian pula haramnya lemak babi, berhaknya kakek atas seperenam harta warisan cucunya, terhalangnya cucu oleh anak dalam hak mewarisi, dan lain-lain hukum furu' sebagaimana tersebar dalam kitab-kitab fiqh.
Abdul Wahab Khallaf menjelaskan besarnya kemungkinan terjadinya ijmä' terutama dalam masa yang serba maju ini. Bila pelaksanaan ijmä' itu ditangani oleh suatu negara dengan bekerja sama dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Setiap negara menetapkan standar tertentu mengenai seseorang dapat dinyatakan mencapai derajat mujtahid dan memberikan ijazah mujtahid terhadap semua yang mencapai derajat itu, sehingga dengan demikian semua mujtahid di dunia ini dapat diketahui.
Ulama yang berpendapat tidak mungkin terjadinya ijma’ melihat dari segi sulitnya mencapai kata sepakat di antara sekian banyak ulama mujtahid, sedangkan ulama yang menyatakan mungkin berlaku ijma' melihat dari segi secara teoretis memang dapat berlaku meskipun sulit terlaksana secara praktis. Dalam keadaan demikian suatu hal yang dapat diterima segala pihak tentang ijmå' itu ialah bila diartikan ijma' itu dalam arti "tidak diketahui adanya pendapat yang menyalahinya.[19]

G.    Macam-macam ijma’
a.       Berdasarkan cara pembentukannya
Berdasarkan cara pembentukannya, ijma’ terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Ijma’ sharih: yaitu kespakatan semua mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa, dan masing-masing mujtahid menyatakan pendapatnya, baik dengan perkataannya (fatwa) maupun dengan perbuatan (pengadilan). Ijma’ ini adalah ijma’ hakiki dan menjadi hujjah menurut jumhur ulama’.[20]
2.      Ijma’ sukuty: apabila sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan, dan sebagian yang lain diam tidak menyatakan persetujuan dan penolakan. Ijma’ ini bukan hujjah menurut jumhur ulama’, dan hujjah menurut hanafiyyah. Ijma’ sukuti tersebut dikatakan sah  bila memenuhi beberapa kriteria:
a.       Diamnya para mujtahid itu betul-betul  tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan.
b.      Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama yang biasa  dipakai untuk  memikirkan permasalahannya dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
c.       Permasalah yang di fatwahkan oleh para mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni.[21]
b.      Berdasarkan kualitasnya
Berdasarkan kualitasnya, ijma’ terbagi menjadi dua bagian:
1.      Ijma’ qath’iy: yaitu ijma’ sharih dan dinukil kepada kita secara mutawattir.
2.      Ijma’ zhanni:yaitu ijma’ sharih yang dinukil tidak secara mutawattir, dan ijma’ sukuty.

H.    Mengingkari/Pengingkar Hasil Ijma'
Seseorang disebut mengingkari hasil ijmä' bila ia mengetahui adanya ijmå' ulama yang menetapkan hukum atas suatu kasus, namun ia secara sadar berbuat yang berbeda mengenai kasus itu dengan apa yang telah ditetapkan oleh ijmå' Pengingkaran terhadap hasil ijmå' itu dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1.      la secara prinsip tidak mengakui iimä' sebagai salah satu dalil hukum yang mengikat karena memang tidak ada dalil sharih dengan dilalah yang qath'i tentang kehujahan ijmä' tersebut yang dapat diterima semua pihak.
2.      la mengakui ijmå' sebagai hujah syar'iyah secara prinsip, namun ia menolak menerima ijmå' tertentu karena menurut keyakinannya cara penukilan ijmå' itu tidak meyakinkan atau ia tidak yakin bahwa memang telah berlangsung ijmä' tentang suatu masalah.
3.      la menerima ijmå' secara prinsip dan meyakini secara pasti bahwa ijmå' telah berlangsung, namun ia tetap tidak mengindahkannya.
Bagaimana hukum orang yang mengingkari ijmå' dengan alasan tersebut? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa mengingkari hukum yang sudah ditetapkan ijmå' adalah kafir. Ulama lain menolak mengkafirkan orang yang mengingkari iimå'. Mereka juga sepakat tentang tidak kafirnya orang yang mengingkari ijmå' yang zhanni.
Para ulama yang menyatakan kafir orang yang mengingkari ijmå' yang qath'i berpendapat bahwa keingkaran akan hukum ijmå' mengandung arti mengingkari dalil qath'i. Ini berarti mengingkari kebenaran risalah yang dibawa Nabi. Sikap demikian hukumnya kafir sebagaimana mengingkari Al-Qur'an dan sunah Nabi.
Ulama yang tidak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma' beralasan bahwa dalil tentang kekuatan hujah ijma' berdasarkan kepada dalil yang tidak qath'i, tetapi hanya zhanni. Karenanya tidak menimbulkan hukum yang meyakinkan. Mengingkari hukum yang tidak meyakinkan, tidak sampai kepada kafir. Dengan demikian, kita tidak dapat mengafirkan orang yang memang secara prinsip tidakmeyakini ke-qath'i-an hasil ijma'.
Sebagian ulama merinci persoalan hukum atas orang yang mengingkari ijma' itu dengan melihat alasan orang yang tidak mengamalkan hasil iimå' tersebut. Jika sampai mengingkari hukum-hukum yang termasuk masalah pokok dalam agama seperti kewajiban shalat dan haramnya zina, maka hukumnya kafir. Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah apa yang dikemukakan Muhammad Khudhari Bey. la mengatakan bahwa, menyatakan kafir orang yang nungingkari ijmä' tanpa melihat alasannya adalah tidak benar. Untuk itu ia mengutip pendapat Imam I-laramain yang mengatakan bahwa ucapan yang berkembang di kalangan ulama yang mengkafirkan orang yang mengikuti ijmå' itu adalah batalsecara pasti. Orang yang mengingkari prinsip ijmä' tidaklah kafir. Menghukum tentang kafirnya seseorang tidaklah gampang.[22]
Seseorang yang menyakini ijmå' sebagai salah satu hujah syar'iyah dan mengakui kebenaran orang-orang yang melakukan ijmä' serta kebenaran penukilannya, kemudian ia dengan sadar mengingkari apa-apa yang telah diputuskan secara ijma', maka pengingkarannya itu berarti mendustakan Icebenaran pembuat hukum (syar'i). Orang yang mendustakan hukum syar'i memang kafir. Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah bahwa seseorang yang mengingkari "cara menetapkan hukum syara' " tidak kafir. Tetapi seseorang yang mengakui sesuatu sebagai hukum syara', namun ia dengan sadar mengingkarinya, berarti ia mengingkari syara'. Mengingkari sebagian dari hukum syara', berarti mengingkari hukum syara' secara umum. Ini berarti telah keluar dari Islam. [23]
I.       Syarat-syarat Mujtahid
Orang-orang yang melakukan ijtihad dinamakan Mujtahid. Dan seorang mujtahid harus memiliki beberapa persyaratan, baik yang bersifat umum, utama maupun pendukung, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

1.        Persyaratan umum
Seorang mujtahid pertama-tama harus memiliki persyaratan umum, yaitu sebagai berikut.

a.         Baligh
persyaratan baligh bersifat mutlak, sebab untuk menjadi seorang mujtahid diperlukan kematangan dalam berpikir, sedangkan anak-anak belum memiliki kematangan berpikir. Itulah sebabnya anak-anak itu tidak dibebani tanggungjawab hukum (tidak mukallaf).
b.         Berakal
c.         Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan abstrak. Sebab, kegiatan ijtihad tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan nalar yang tinggi.
d.        Memiliki keimanan yang baik, dalam arti, keimanannyantidak berdasarkan taqlid, sebagaimana keimanan orang yang awam. Sebab, orang yang tidak memiliki persyataran ini, tidak memiliki kedalaman spiritual dan integritas moral. Akan tetapi, persyaratan yang keempat ini banyak diperdebatkan ulama, terutama jika yang dimaksudkan dengan keimanan yang baik adalah menguasai ilmu kalam secara mendalam.
2.        Persyaratan utama
a.         Mengerti bahasa Arab
Syarat ini disepakati oleh ulama, karena kedua dasar hukum yakni al Qur’an dan Hadits adalah berbahasa arab. Al Ghazali mewajibkan mengertahui perkataan/ kalam yang sarfih dan zahir, mujmal, hakikat, majaz, aam, khas, muhkamah, mutsyabihat,mutlak, muqayat mafhum dan lain-lain.[24]

b.         Memahami tentang al Qur’an dan Nasikh Mansukh
Yang mensyaratkan demikian termasuk Imam Syafi’i, mengingatkan bahwa ayat-ayat al Qur’an tidak semuanya jelas dan terperinci. Lagi pula untuk membedakan ayat hukum dengan yang bukan , tentu harus mengetahui secara keseluruhan, demikian kata Imam Asnawi.Dalam satu riwayat, ImamSyafi’I mensyaratkan harus hafal seluruh ayat al Qur’an, sedang sebagian ulama tidak mensyaratkan yang demikian.[25]
c.         Mengerti tentang sunah
Syarat ini di sepakati oleh ulama dan harus mengetahui pula jalan riwayat dan kekuatan perawinya. Tetapi karena sekarang sudah banyak kitabmengelompokkan hadis yang sah dan yang tidak, maka mujtahid cukup mengetahui riwayat dan keadaannya secara global. Demikian Abu Zuhra.
Para ulama sepakat tentang syarat ini, tetapi tidak mesti harus menghafal semua masalah yang sudah di ijma’kan. Yang penting adalah mengetahui masalah-maslah yang di ijma’kan dan yang di ikhtilafkan. Walaupun demikian Imam Syafi’I mewajibkan untuk mengetahui pendapat-pendapat mujtahid yang menyalahinya.
Menurut Imam Syafi’i, syarat ini sangat penting karena qiyas sangat identik dengan ijtihad, bahkan ijtihad sering disebut qiyas. Karena mujtahid harus mengetahui kaidah qiyas dan berhubungan dengannya.
Seorang mujtahid harus mengerti tentang maksud dan tujuan syariat, yang mana harus bersendikan pada kemaslahatan umat. Syarat demikian ini sanagat di dukung oleh Asyatiby.
Syarat ini bertujuan untuk lebih mengarahkan dalam membedakan pendapat yang kuat dan yang lemah. Dalam hal ini Imam Asnawi menambahkan bahwa mujtahid harus pula menguasai ilmu mantiq agar terhindar dari kesalahan dalam mengemukakan cara-cara atau metode berpikir.

3.        Persyaratan pendukung
Selain beberapa persyaratan utama di atas, seorang dipandang memiliki keahlian sebagai mujtahid jika telah melengkapi dirinya dengan beberapa persyaratan pendukung sebagai berikut.

a.         Mengetahui ada atau tidak ada dalil al qath’i yang mengatur hukum masalah yang sedang dibahas.
Dengan kata lain, seorang mujtahid haruslah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang di dasarkan atas an-nashsh al qathi’i atau ijma’ (ma’rifat mawadhi’ al ijma’), khususnya yang berkaitan dengan masalah yang menjadi  objek ijtihad.
b.         Mengetahui persoalan-persoalan hukum yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama (ma’rifah mawardhi’ al khilaf).
Sejalan dengan persyaratan pendukung yang pertama di atas, maka dengan mengetahui persoalan-persoalan yang mnejadi objek perbedaan pendapat ulama, seorang akan terhindar dari kegiatan ijtihad yang bersifat tahshil al hashil (mengulangi penemuan yang telah di temukan hukumnya).
c.         Memiliki sifat taqwa dan keshalihan (shalah al mujtahid wataqwah)
Persyaratan ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan kegiatan ijtihad, tetapi justru terhadap hasil ijtihad itu sendiri. Dalam hal ini, hasil ijtihad yang difatwakan akan dengan mudah diterima masyarakat, jika si mujtahid memiliki sifat shaleh dan taqwa yang tinggi. [27]

Beberapa syarat bagi mujahid yang diperselisihkan ulama di antaranya seperti syarat tentang:

a.         Pengetahuan tentang ilmu furu' atau fiqh.
Al- Ghazali rnencantumkan syarat ini untuk orang yang akan berijtihad di masa kini, meskipun tidak diperlukan pada masa sahabat. Menurut Salam Madzkur, di antara ulama yang tidak mempersyaratkan penguasaan ilmu fiqh adalah Abu Ishak al-Asfarini dan Abu Manshur. Pendapat ini memang masuk akal karena ilmu fiqh merupakan hasil karya ijtihad.
b.         Pengetahuan tentang ilmu manthiq, untuk dapat menghasilkan kesahihan pemahaman dan kebaikan perhitungan. Namun sebagian ulama tidak mensyaratkannya dengan alasan bahwa kalangan sahabat, tabi'in dan imam-imam mujahid dapat melakukan ijtihad padahal pada waktu itu ilmu manthiq itu belum populer.
c.         Pengetahuan tentang ilmu Ushul al-Din juga ada yang menganggapnya sebagai salah satu syarat dalam ijtihad.
Ulama Mu'tazilah cenderung kepada pendapat ini. Namun ulama jumhur tidak mensyaratkannya. Al-Amidi dalam haI ini mengatakan bahwa disyaratkannya ilmu ushul al-din adalah untuk yang bersifat dharuriyat seperti tentang adanya Allah dengan segala sifat-Nya, tetapi tidak diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang ilmu tersebut.[28]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama. Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad atau umat Islam. Pandangan Imam al-Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi'i yang menetapkan ijma' itu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi'i ini mengalami perubahan dan perkembangan di tangan pengikutnya di kemudian hari.
B.        Saran
Sumber hukum tidak semuanya berasal dari Al Qur’an dan hadis tetapi bisa juga lewat ijtihad para ulama maupun para sahabat. Jadi saat Al Qu’an dan hadis tidak bisa menjawab problamtika maka dalam islam masih ada ijma’, qiyas dan lain sebagainya.



















DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000).
Kholil, Rusydi, Ushul Fiqh, (Bata bata pers: 2013).
Syafi’e, Rachmat, Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia: 1999).
Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta, Zikrul Hakim: 2014).
Al Qur’an dan Terjemahan
Anna’im, Abudullah ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta, LKiS: 2001).


[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 276 277
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 295
[3] Rachmat Syafi’e, Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia: 1999), hlm. 72
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 299
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 300
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 300
[7] Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta, Zikrul Hakim: 2014), hlm. 45 46.
[8] Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta, Zikrul Hakim: 2014), hlm. 45 46.
[9]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 283.
[10] Al Qur’an dan Terjemahan
[11] Rusydi Kholil, Ushul Fiqh, (Bata bata pers: 2013), hlm. 61.
[12] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 287.
[13] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 287.
[14] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 289 290.
[15] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 289 290.
[16] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 292 294.
[17] Rusydi Kholil, Ushul Fiqh, (Bata bata pers: 2013), hlm. 61.
[18] Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta, Zikrul Hakim: 2014), hlm. 51.
[19] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 282.
[20] Rusydi Kholil, Ushul Fiqh, (Bata bata pers: 2013), hlm. 64.
[21] Rachmat Syafi’e, Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia: 1999), hlm. 72
[22] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 314-315
[23] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 314-315
[24] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul fiqh (Jakarta:Amzah, 2014), hlm 350-351
[25] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul fiqh (Jakarta:Amzah, 2014), hlm 350-351
[26] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu Dan Dua (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 178-180
[27] Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqh, (Jakarta:Amzah,2014), hlm.352
[28]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 301-302