MASLAHAH MURSALAH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
yang
diampu oleh Bapak Moh Cholid Wardi, M.HI
Disusun
oleh :
KELOMPOK 6
NURCAHYA
FEBRIYANTI S. (NIM:
20170703022158)
OKTAVIA
DEVA S. (NIM:
20170703022165)
RENI
MAULINA Y. (NIM: 20170703022176)
RISKIYATUL HIDAYATI (NIM: 20170703022179)
ROHMATUL
KAMILAH (NIM: 20170703022182)
SAHLATUN
MUYESSAROH (NIM:
20170703022187)
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Alhamdulilah wasyukurilah, segala
puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal, sehingga
kita senantiasa berada dalam genggamannya dengan penuh kepasrahan. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada sang pencerah alam semesta dengan
cahaya keimanan yakni dengan kehadiran baginda Nabi Muhammad SAW. yang telah
membawa kita dari alam kebodohan hingga ke alam yang penuh ilmu pengetahuan
ini.
Ucapan terima kasih kami haturkan
kepada Bapak Moch Cholid Wardi
selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqih yang telah memberikan kesempatan kepada
kami untuk menyusun makalah ini. Tidak lupa juga kami ucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah
memberikan kami bantuan baik berupa material maupun spiritual.
Kami menyadari bahwa makalah yang
kami susun ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca untuk
dijadikan pedoman dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Harapan kami semoga makalah “Maslahah Mursalah” yang
kami susun ini menjadi suatu ilmu yang bermanfaat. Amin
Wassalamualaikum
Wr. Wb.
Pamekasan,
17 April 2018
Penyusun,
Kelompok
6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI.........................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................
1
A.
Latar Belakang......................................................................
1
B.
Rumusan Masalah.................................................................
1
C.
Tujuan Penulisan
Masalah..................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................
3
A.
Pengertian Maslahah Mursalah.............................................. 3
B.
Syarat-syarat Maslahah Mursalah.......................................... 4
C.
Dasar Hukum Maslahah Mursalah........................................
6
D.
Macam-macam Maslahah Mursalah......................................
7
E.
Kehujjahan Maslahah Mursalah...........................................
11
BAB III PENUTUP.............................................................................
13
A.
Kesimpulan...........................................................................
13
B.
Saran.....................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................
15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam merupakan
agama Rahmatan lil ‘alamin yang
dianugerahkan kepada seluruh umat manusia. Seiring dengan perkembangan zaman,
dalam situasi dan kondisi yang berubah-ubah tentu akan menimbulkan berbagai
pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, mulai
dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Hal ini
membuktikan bahwa agama Islam sebagai agama mampu menjawab segala permasalahan
dan sesuai dengan perkembangan zaman. Agama Islam dapat menjawab permasalahan-permasalahan
yang ada dikehidupan manusia melalui sumber-sumber hukum yaitu al-Qur’an
dan as-Sunnah. Tidak hanya itu, selain al-Qur’an
dan as-Sunnah juga banyak yang telah menjadi dasar hukum seperti ijma’, uruf dan lain sebagainya.
Selain itu, para ulama juga mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertujuan
untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, mewujudkan kemaslahatan dan
mencegah atau menolak berbagai kerusakan bagi umat manusia dengan menyesuaikan
pada tujuan syari’at yang disebut dengan Maslahah
Mursalah. Dalam makalah ini, akan dijelaskan dengan terperinci tentang Maslahah Mursalah
yang akan membuka wawasan kita mengenai Ushul Fiqih.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari Maslahah Mursalah?
2.
Apa
saja syarat-syarat dari Maslahah Mursalah?
3.
Apa
saja dasar hukum dari Maslahah Mursalah?
4.
Apa
saja macam-macam dari Maslahah Mursalah?
5.
Bagaimana
kehujjahan atau kedudukan dari Maslahah
Mursalah?
C.
Tujuan Penulisan Masalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari Maslahah
Mursalah.
2.
Untuk
mengetahui syarat-syarat dari Maslahah
Mursalah.
3.
Untuk
mengetahui dasar hukum dari Maslahah
Mursalah.
4.
Untuk
mengetahui macam-macam dari Maslahah
Mursalah.
5.
Untuk
mengetahui kehujjahan atau kedudukan dari Maslahah
Mursalah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Maslahah Mursalah
Secara etimologis Maslahah
Mursalah terdiri atas dua suku kata, yaitu Maslahah dan Mursalah. Maslahah berasal dari kata shalaha (صلح) dengan penambahan
“alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk”
atau “rusak”. Maslahah merupakan
mashdar dengan arti kata shalah (صلاح), yaitu “manfaat” atau “terlepas dari padanya kerusakan”.[1]
Kata Maslahah dalam
bahasa Indonesia berarti “sesuatu yang mendatangkan kebaikan”. Dalam bahasa
Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”.
Sedangkan dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan
keuntungan atau ketenangan; maupun dalam arti menolak atau menghindarkan
seperti menolak kemudaratan atau kerusakan.[2]
Sedangkan Mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il
madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf),
yaitu رسل, dengan
penambahan huruf “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi ارسل yang berarti
“terlepas” atau dalam arti مطلقة (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini
bila dihubungkan dengan kata Maslahah
maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh
atau tidak bolehnya dilakukan.[3]
Adapun
secara terminologi, terdapat beberapa definisi Maslahah Mursalah
yang dirumuskan oleh ulama ushul di antaranya:
1.
Imam Ar-Razi mena’rifkan sebagai berikut:
بِاَنَّهَاعِبَارَةٌ عَنِ الْمَنْفَعَةِالَّتِيْ قَصَدَهَا الشَّارِعُ الْحَكِيْمُ لِعِبَادِهِ
فِى
حِفْظِ
دِيْنِهِمْ وَنُفُوْسِهِمْ وَعُقُوْلِهِمْ وَنَسْلِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ.
Artinya: “Maslahah ialah perbuatan yang
bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya
tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta
bendanya.”
2.
Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut:
اَمَّاالْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ
فِى
الْاَصْلِ عَنْ
جَلْبِ مَنْفَعَةٍ اَوْدَفْعِ
مَضَرَّةٍ.
Artinya: “Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak
mudarat.”
3.
Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, Maslahah ialah:
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ بِدَفْعِ الْمَفَاسِلِعَنِ الْخَلْقِ.
Artinya: “Memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala
sesuatu yang merusakkan makhluk.”[4]
Dari penjelasan ulama ushul tentang definisi Maslahah Mursalah,
dapat disimpulkan bahwa Maslahah Mursalah mempunyai tujuan utama yang sama yaitu memelihara dari kemudaratan
dan menjaga kemanfaatannya.[5]
B.
Syarat-syarat
Maslahah Mursalah
Golongan
yang mengakui kehujjahan Maslahah Mursalah dalam pembentukan hukum Islam telah mensyaratkan sejumlah syarat
tertentu yang harus dipenuhi. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1.
Maslahah
itu harus hakiki, bukan semu. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya benar-benar
menarik suatu manfaat atau menolak bahaya. Jika hanya didasarkan bahwa
penetapan hukum itu mungkin menarik suatu manfaat, tanpa membandingkan dengan
yang menarik suatu bahaya, berarti didasarkan atas Maslahah yang semu. Misalnya: dugaan Maslahah dalam membatasi hak suami
sampai menceraikan istrinya dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu hanya bagi
hakim dalam segala keadaan.
2.
Maslahah
harus bersifat umum, bukan pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam
kenyataannya dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak
bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau bagian kecil dari mereka. Jadi, Maslahah itu harus untuk mayoritas umat
manusia.[6]
Misalnya: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum
muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara
kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang,
dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin
memerangi orang Islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini
dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memelihara
kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan
musuh-musuh mereka.[7]
3.
Penetapan hukum untuk Maslahah
tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash atau ijma’. Misalnya:
ada seseorang berbuka dengan di siang hari bulan ramadan. Imam Yahya berfatwa
bahwa tidak ada tebusan karena merusak puasanya kecuali orang itu harus
berpuasa dua bulan berturut-turut. Beliau mendasarkan fatwanya bahwa
kemaslahatan menuntut hal itu, karena tujuan kewajiban membayar tebusan adalah
membuat jera dan menahannya sehingga orang itu tidak kembali kepada dosa yang
seperti itu. Dan juga tidak ada yang membuat seseorang itu jera kecuali dengan
hal itu. Jika orang itu wajib memerdekakan budak, hal itu sangatlah ringan
baginya dan tidak membuatnya jera. Fatwa tersebut didasarkan pada kemaslahatan,
tetapi bertentangan dengan nash. Karena nash yang jelas dalam
denda orang yang membatalkan puasanya dengan sengaja di bulan ramadan adalah
memerdekakan budak, jika tidak menemukan maka harus berpuasa dua bulan
berturut-turut, dan jika tidak mampu maka harus memberi makan kepada enam puluh
orang miskin tanpa membedakan apakah yang berbuka itu seorang raja atau seorang
fakir.[8]
4.
Maslahah itu
bukan Maslahah yang tidak benar,
dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya dan tidak menganggap salah.[9]
C.
Dasar
Hukum Maslahah Mursalah
Sumber
asal dari metode Maslahah Mursalah diambil
dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang banyak jumlahnya,
seperti berikut ini:
1.
Al-Qur’an
يَآءَيُّهَاالنَّاسُ
قَدْجَآءتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ
وَشِفَآءٌلِّمَا فِى الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ
لِّلْمُؤْمِنِيْنَ.
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran
dari Tuhanmu dan penyembuh dari penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Yunus (10): 57)
Dengan ayat ini, Najmuddin al-Thufi membuktikan bahwa Maslahah benar-benar diperhatikan dan
dijamin perwujudannya dalam syari’at. Kemudian ditempuhlah jalan pemikiran yang
handal dengan cara menguraikan kandungan ayat tersebut secara
harfiyah dan hasilnya merupakan pembuktian yang legalistik dan syari’at Islam
yang benar-benar memperhatikan dan menjamin perwujudan kemaslahatan umat
manusia.[10]
2.
As-Sunnah
Nash dari As-Sunnah yang dipakai landasan dalam mengistimbatkan hukum
dengan metode Maslahah Mursalah adalah hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah
yang berbunyi:
حدثنا
محمد ابن يحي, حدثنا عبدالرزاق عن جابر الجعفى عن عكرمة عن ابنعباس قال :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا ضرر ولاضرار (رواه ابن ماجة)
Artinya: “Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq bercerita kepada
kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh membuat mazdarat (bahaya) pada dirinya dan tidak boleh pula
membuat mazdarat pada orang lain”. (HR. Ibn Majjah).[11]
D.
Macam-macam
Maslahah Mursalah
Para
ahli ushul mengemukakan beberapa pembagian Maslahah
yang dilihat dari beberapa segi, yaitu:
1.
Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum, Maslahah ada 3 macam yaitu:
a.
Maslahah
dharuriyah (المصلحة الضرورية) adalah
kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia.
Artinya, kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dari prinsip
yang lima itu tidak ada. Lima prinsip yang dimaksud yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta.
Allah memerintahkan manusia untuk melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan
pokoknya apabila usaha yang dilakukan menjamin atau menuju pada keberadaan lima
prinsip tersebut adalah baik dalam tingkat dharuriyah.
Dan jika usaha yang dilakukan menuju pada rusaknya satu diantara lima prinsip
tersebut adalah buruk, maka Allah melarangnya. Sedangkan meninggalkan larangan
Allah adalah baik. Dalam hal ini, Allah melarang murtad untuk memelihara agama,
melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum-minuman keras untuk
memelihara akal, melarang berzina untuk memelihara keturunan, dan melarang
mencuri untuk memelihara harta.[12]
b.
Maslahah
hajiyah (المصلحة الحاجية) adalah kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan manusia.[13]
Dalam maslahah hajiyah ini, tingkat
kebutuhan hidup manusia kepada lima prinsip itu tidak berada pada tingkat dharuri dan
bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok
yang lima (dharuri), tetapi secara
tidak langsung menuju kearah sana seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Maslahah
hajiyah jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara
langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut. Tetapi secara tidak langsung memang bisa mengakibatkan perusakan.
Misalnya: menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan
hidup, mengasah otak untuk sempurnanya akal, melakukan jual beli untuk
mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan baik atau Maslahah dalam tingkat haji.
Sedangkan perbuatan buruk yang dilarang seperti: menghina agama berdampak pada
memelihara agama, mogok makan pada memelihara jiwa, minum dan makan yang
merangsang pada memelihara akal, melihat aurat dalam pada memelihara keturunan
dan sebagainya. Menjauhi larangan tersebut adalah baik atau Maslahah dalam tingkat haji.[14]
c.
Maslahah
tahsiniyah (المصلحة التحسينسة) adalah
kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi
kemaslahatan sebelumnya.[15]
Pada maslahah tahsiniyah ini,
kebutuhan hidup manusia tidak sampai tingkat dharuri maupun tingkat haji.[16]
Misalnya: dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang bergizi.
2.
Dilihat dari segi keberadaan Maslahah
menurut syara’ terbagi menjadi tiga, yaitu:
a.
Maslahah Mu’tabarah (المصلحة
المعتبرة) adalah
kemaslahatan yang didukung atau diperhitungkan oleh syara’.[17]
Artinya, ada petunjuk dari syara’ baik langsung maupun tidak langsung, yang
memberikan penunjuk pada adanya Maslahah yang menjadi alasan dalam
menetapkan hukum. Dari langsung tidaknya petunjuk (dalil) terhadap Maslahah dibagi menjadi dua, yaitu:
1)
Munasib
mu’atstsir (المناسب المئثر) yaitu
ada petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari’) yang memerhatikan Maslahah tersebut. Artinya, ada petunjuk
syara’ dalam bentuk nash yang menetapkan bahwa Maslahah dijadikan alasan dalam menetapkan hukum. Misalnya: tidak baiknya
mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit.
Alasan adanya “penyakit” ini yang dikaitkan dengan larangan mendekati perempuan
disebut munasib. Hal itu ditegaskan
dalam surat Al-Baqarah (2): 222:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَأَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ.
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa
haid itu adalah penyakit; oleh karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid.[18]
2)
Munasib
mulaim (المناسب الملائم) yaitu tidak ada
petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap Maslahah tersebut, tapi secara tidak langsung ada. Misalnya:
bolehnya jama’ shalat bagi orang yang muqim
(penduduk setempat) karena hujan. Keadaan hujan ini memang tidak pernah
dijadikan alasan untuk hukum jama’ shalat, tetapi syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan, yaitu “dalam
perjalanan” (safar) menjadi alasan
untuk bolehnya jama’ shalat.[19]
b.
Maslahah
mulghah (المصلحة
الملغة) adalah kemaslahatan yang ditolak
oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.[20]
Tetapi, Maslahah ini dianggap baik
oleh akal. Artinya, akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan
syara’, tetapi kenyataannya syara’ menetapkan
hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh Maslahah itu. Misalnya: seorang yang kaya melakukan pelanggaran
hukum, yaitu mencampuri istrinya di siang hari bulan ramadan. Untuk orang ini
sanksi yang paling baik adalah disuruh puasa dua bulan berturut-turut, karena
cara inilah yang diperkirakan akan membuatnya jera melakukan pelanggaran.
Pertimbangan ini memang baik dan masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum yaitu menjerakan orang dalam melakukan
pelanggaran. Tetapi apa yang dianggap baik oleh akal, ternyata tidak seperti
itu dalam syara’, bahkan menetapakn hukum yang berbeda dengan itu, yaitu harus
memerdekakan hamba sahaya, meskipun sanksi ini bagi orang kaya dinilai kurang
relevan untuk dapat membuatnya jera.[21]
c.
Maslahah mursalaat (المصلحة المرسلة) adalah kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan
tidak juga dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang terperinci.[22]
Dalam Maslahah ini, apa yang
dipandang baik oleh akal sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Tetapi tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada juga
petunjuk syara’ yang menolaknya.[23] Misalnya: kemaslahatan daulah Islam dalam penjagaan harta penduduk oleh
tentara ketika membutuhkannya atau ketika adanya musuh, juga ketika tidak
sedikitpun harta yang dimiliki oleh negara karena dibelanjakan untuk hal-hal
yang kurang bermanfaat. Kemaslahatan seperti itu tidak ada penguatnya dan tidak
pula ada dalil yang membatalkannya, namun termasuk salah salah satu ketentuan
syari’at yaitu menjaga agama.[24]
3.
Dilihat dari segi kandungan, Maslahah
dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Maslahah ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Misalnya: para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak
akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b.
Maslahah khashshah adalah kemaslahatan pribadi yang sangat jarang terjadi. Misalnya:
kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan
hubungan perkawinan sesorang yang dinyatakan hilang (maqfud).[25]
E.
Kehujjahan
Maslahah Mursalah
Dalam
kehujjahan Maslahah Mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya:
1.
Maslahah
Mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah,
ulama-ulama Hanafiyyah, dan sebagian ulama Malikiyah seperti Ibnu Hajib dan
ahli zahir.[26]
Adapun dua alasan para ulama tidak menjadikan Maslahah Mursalah sebagai hujjah, yaitu:
a.
Syari’at itu sudah mencakup seluruh kemaslahatan manusia, baik
dengan nash-nashnya maupun dengan apa yang ditunjukkan oleh qiyas. Karena syari’ tidak akan
membiarkan manusia dalam kesia-siaan dan tidak membiarkan kemaslahatah yang
manapun tanpa memberikan petunjuk pembentukan hukum untuk kemaslahatan itu
serta tidak ada kemaslahatan tanpa ada saksi dari syari’ yang menunjukkan
anggapannya. Sedangkan kemaslahatan yang tidak ada saksi dari syari’ yang
menunjukkan anggapannya, pada hakikatnya adalah bukan kemaslahatan, melainkan
kemaslahatan semu yang tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.[27]
b.
Penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan umum adalah membuka
kesempatan hawa nafsu manusia, seperti para pemimpin, penguasa, ulama pemberi
fatwa. Sebagian dari mereka kadang-kadang dikalahkan oleh keinginan nafsunya,
sehingga mereka menghayalkan kerusakan sebagai kemaslahatan. Sedangkan
kemaslahatan adalah suatu hal yang relatif, tergantung pada lingkungan. Maka
penetapan hukum syari’at karena kemaslahatan umum berarti membuka pintu
kejelekan.[28]
2.
Maslahah Mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian
ulama Maliki dan sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.[29] Adapun alasan para ulama menjadikan Maslahah Mursalah sebagai hujjah, yaitu:
a.
Kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habisnya.
Apabila hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru,
sesuai dengan perkembangan mereka dan penetapan hukum hanya berdasarkan
anggapan syari’ saja, maka banyak kemaslahatan manusia di berbagai zaman dan
tempat menjadi tidak ada. Hal ini tidak sesuai, karena tujuan penetapan hukum
antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia.
b.
Orang yang mau meneliti penetapan hukum yang dilakukan para sahabat
Nabi, tabi’in dan imam-imam mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang
mereka tetapkan demi menerapkan kemaslahatan umum, bukan karena ada saksi
dianggap oleh syari’.[30]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah adalah suatu kemaslahatah yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi
juga tidak ada pembatalnya.
2.
Syarat-syarat Maslahah Mursalah,
yaitu:
a.
Maslahah
itu harus hakiki, bukan semu.
b.
Maslahah
harus bersifat umum, bukan pribadi.
c.
Penetapan hukum untuk Maslahah
tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash
atau ijmak.
d.
Maslahah itu
bukan Maslahah yang tidak benar,
dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya dan tidak menganggap salah.
3.
Dasar Hukum Maslahah Mursalah
a.
Al-Qur’an
b.
As-Sunnah
4.
Macam-macam Maslahah Mursalah
a.
Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujah dalam menetapkan ukum, Maslahah ada 3 macam yaitu:
1)
Maslahah
dharuriyah.
2)
Maslahah
hajiyah.
3)
Maslahah
tahsiniyah.
b.
Dilihat dari segi keberadaan maslahah
menurut syara’ terbagi menjadi tiga, yaitu:
1)
Maslahah
Mu’tabarah.
2)
Maslahah
mulghah.
3)
Maslahah
mursalaat.
c.
Dilihat dari segi kandungan, maslahah
dibagi menjadi dua yaitu:
1)
Maslahah
ammah.
2)
Maslahah
khashshah.
5.
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam
kehujjahan Maslahah Mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya:
a.
Maslahah
Mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah,
ulama-ulama Hanafiyyah, dan sebagian ulama Malikiyah seperti Ibnu Hajib dan
ahli zahir.
b.
Maslahah
Mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama Maliki dan
sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh ulama-ulama ushu.
B.
Saran
Dalam membaca makalah yang Kami buat,
sebaiknya dibaca dengan teliti. Karena di dalam makalah ini banyak kata yang
berasal dari bahasa arab atau peristilahan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
para pembaca. Dan Kami juga mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
makalah yang Kami buat.
DAFTAR PUSTAKA
Mufid, Mohammad. Ushul
Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer. Jakarta:
Kencana. 2016.
Syarifuddin, Amir. Ushul
Fiqih Jilid 2. Jakarta: Kencana. 2008.
Syafe’i, Rahmat. Ilmu
Ushul Fiqih. Jawa Barat: CV Pustaka
Setia. 2015.
Uman, Chairul. Ushul
Fiqih 1. Bandung: CV Pustaka
Setia. 1998.
Wahhab Khallaf, Abdul. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani. 2003.
Http://eprints.walisongo.ac.id./3079/2105148.Bab2.pdf, pada tanggal 15 April 2018 pukul 10.00.
[2] Mohammad Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 117.
[10] Mohammad Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 125-126.
[13]
Mohammad Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi dan
Keuangan Kontemporer (Jakarta:
Kencana, 2016), hlm. 121.
[20]
Mohammad Mufid, Ushul Fiqih Ekonomi dan
Keuangan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), hlm.
121-122.
[25] Mohammad Mufid, Ushul
Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar