QIYAS SEBAGAI SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM
ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
matakuliah UshulFiqh
yang diampu olehBapak Moch.CholidWardi, M.HI.
Disusun Oleh Kelompok 3:
Moh Aliwefa 20170703022036
Muhammad Rokib 20170703022047
Tufiqurrahman 20170703022054
Ainul Khos 20170703022064
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam hadir sebagai agama
yang konplit, sebab islam membahas segala aspek dan dimensi kehidupan. Hal ini
sebab dua pusaka islam yang diwariskan oleh sang Nabi, yakni Al-Qur’an dan
As-Sunnah (hadis). di dalam dua pusat rujukan ummat Islam tersebut telah membahas
dan mengatur segala aspek kehidupan baik yang bersifat dunia maupun yang bersifat ukhrawi.
Seiring dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Yang membawa risalah
Islam, dengan sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Hal ini
membawa suatu dampak yang sangat signifikan dalam mengatasi masalah-masalah
yang ada dikalangan umat saat itu, karena selain sudah ada sumber hukum Islam
(Al-Qur’an) para sahabat juga bisa bertanya langsung kepada Nabi seandainya
permasalahan yang dihadapi tidak ada dalam Al-Qur’an.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan ajal menjemput Nabi (wafat),
sedang secara otomatis wahyupun berakhir maka para sahabat kehilangan jalan
pemecahan permasalahan jika seandainya, permasalahan yang dihadapi tidak ada
dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Sedang Nabi Muhammad yang biasa dijadiakan
tempat pemutusan suatu masalah telah tiada.
Maka dari itu para sahabat seakan tidak punya pijakan pemecahan
masalah yang dihadapi jika tidak termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sebab
munculnya permasalahan yang terus-menerus dan tidak semuanya terjawab lewat
Al-Qur’an dan Hadis maka munculah sumber hukum dari hasil ijtihad para
sahabat yang disebut Ijma’ yang akan menjadi pokok pembahasan pada
makalah kali ini.
Ushul Fiqh yang merupakan matakuliah yang saat ini kami ampu,
merupakan bagian dari kaidah berijtihad. Jadi ijtihad yang
notabenya sebagai sumber hukum yang nomer tiga akan kami bahas pada pembahasan
makalah ini berdasarkan refrensi yang kami punya dan tampa ada maksud
memasukkan argument kami dari kelompok tiga jika tanpa landasan yang
kuat. Maka dari kami angkat beberapa rumusan masalah, guna untuk membuat
pembahasan didalam makalah ini runtut dan pemetakannya jelas.
B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini, kami akan mengankat beberapa rumusan
masalah yang akan menjadi pembahasan pada isi makalah ini:
1.
Apa
pengertian ijma’?
2.
Ada
berapa Syarat-syarat
ijma’?
3.
Ada
berapa rukun rukun ijma’?
4.
Bagaimana
kehujjahan ijma’?
5.
Seperti
apa Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma'?
6.
Apakah ada Kemungkinan terjadinya ijma’?
7.
Ada berapa Macam-macam ijma’?
C. Tujuan Penulisan
Ada beberapa tujuan yang
ingin kami capai lewat penulisan makalah ini, yang meliputi:
1.
Mengenal
ijma’ sebagai salah satu sumber hukum.
2.
Mengetahui
syarat ijma’
3.
Mengetahui
rukun ijma’
4.
Mengetahui
kehujjahan ijma’ sebagai sumber hukum.
5.
Mengenal
Perkembangan
Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma'
6.
Mengetahui kemungkinan terjadinya ijma’.
7.
Mengetahui
macam-macam ijma’.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijma’
Secara etimologi, ijmå' (اجماع) mengandung dua arti: ljma' dengan arti atau ketetapan
hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma' dalam
artian pengambilan keputusan itu dapat dilihat dalam Firman Allah pada surat
Yunus (10): 71:
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ً
... karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku).
Juga
dapat dilihat dalam Hadis Nabi yang bunyinya:
لاصيام لمن لم يجمع الصيام من الليل
Tidak
ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa semenjak malam.
ljma' dengan
arti "sepakat". Ijma' dalam arti ini dapat dilihat dalam
Al-Qur'an surat Yusuf (12): 15:
فَلَمَّا
ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ
Maka
tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur.
Adapun pengertian ijma' dalam istilah
teknis hukum atau istilah syar'i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi
siapa yang melakukan kesepakatan itu. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam
beberapa rumusan atau definisi ijma' sebagai berikut:
a.
Al-Ghazali merumuskan ijma' dengan:
Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas
suatu urusan agama. Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat Nabi
Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad atau
umat Islam. Pandangan Imam al-Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi'i yang
menetapkan ijma' itu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan
pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara
keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi'i ini mengalami
perubahan dan perkembangan di tangan pengikutnya di kemudian hari.[1]
b.
Al-Amidi yang juga pengikut Syafi'iyah
merumuskan ijma'
Ijma' adalah
kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal 'Aqd (para ahli yang berkompeten
mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa alas hukum suatu kasus.
B. Syarat-syarat ijma’
1.
Kuantitas Anggota Ijma'
Para ulama sependapat bahwa ijma' itu
terlaksana karena adanya kesepakatan seluruh ulama mujtahid dan tidak
ada perbedaan pendapat di antara mereka. Mereka juga sependapat bahwa yang
sepakat itu adalah banyak orang. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai
berapa jumlah minimal ulama mujtahid untuk terlaksananya suatu ijma'.
Di antara ulama ada yang menetapkan kehujahan
ijma' melalui dalil 'aqli (akal atau logika), seperti Imam I-laramain
dan ulama lain yang sependapat dengannya. Kelompok ini berpendapat bahwa jumlah
ulama mujtahid untuk terlaksananya iima' adalah jumlah yang
mencapai batas mutawatir yang tidak memungkinkan bersekongkol untuk
berdusta atau melakukan kesalahan. Karena itu disyaratkan untuk melakukan suatu
ijmå' bahwa jumlah mujtahid waktu itu mencapai batas mutawatir, karena
jumlah yang kurang dari itu mungkin mengakibatkan adanya kesalahan, sedangkan
kehujahan ijmä' adalah karena terhindarnya dari kesalahan.[2]
2. Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ijma’
itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati
perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan itu dianggap syariat.[3]
3.
Berlalunya masa
Telah dijelaskan bahwa ijmå' itu berlangsung
berdasarkan kesepakatan ulama mujtahid dalam satu masa tertentu. Apakah
suatu ijmä' masih dapat dijadikan hujah dan mengikat umat Islam untuk
mengikutinya jika masa berlangsungnya ijma' itu telah berlalu dan semua mujtahid
yang ikut dalam ijma' itu sudah meninggal, tetapi tidak seorangpun di antara
mereka yang menarik pendapatnya? Hal ini merupakan salah satu persoalan yang
diperbincangkan kalangan ulama.
Permasalahan tersebut bermula dari pertanyaan,
"Apakah seorang mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya dalam
suatu ijmå' boleh menarik pendapatnya itu atau tidak? Masalahnya, kalau
ia menarik pendapatnya berarti ia mempunyai pendapat berbeda dengan yang
disepakati dalam ijma' itu dan dengan sendirinya menyebabkan gagalnya ijma'
itu. Sebagian ulama menyatakan bahwa setiap ulama mujtahid yang telah
mengemukakan pendapatnya dalam ijmä' tidak dibenarkan menarik
pendapatnya. Atas dasar pandangan ini, maka persoalan apakah perlu ditunggu
dahulu meninggalnya semua ulama yang hidup pada masa terjadinya ijmä', menjadi
tidak relevan. Artinya, tidak perlu dipersyaratkan berlalunya masa untuk sahnya
suatu ijma'.
Sebagian ulama lainnya menyatakan dapat saja
setiap ulama yang telah mengemukakan pendapatnya dalam ijma' untuk
menarik atau mengubah pendapatnya itu. Kalau demikian, sampai kapan ulama yang
telah mengemukakan pendapatnya dalam ijmä' itu dapat dika- takan bahwa dia
tidak menarik pendapatnya, sehingga apa yang telah mereka sepakati mempunyai
kekuatan sebagai hujah. Dalam hal inilah para ulama membahas tentang persoalan
apakah ada keharusan menunggu sampai punah (meninggal) semua mujtahid peserta ijma'
sebagai salah satu persyaratan kekuatan suatu ijma'.
4.
Sandaran ijma’
Yang dimaksud "sandaran" di sini
adalah dalil yang kuat dalam bentuk nash Al-Qur'an atau sunah, baik secara
langsung muapun tidak. Dalil itu dapat dijadikan rujukan bagi keputusan ijma'.
Apakah adanya sandaran itu merupakan syarat bagi kekuatan ijma'. Dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.[4]
1.
Hampir semua ulama berpendapat bahwa ijma' itu
harus merujuk pada suatu sandaran yang kuat, bukan hanya berdasar taufiq dari
Allah SWT. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a)
Dalam keadaan tidak ada rujukan atau sandaran,
tidak mungkin seseorang akan sampai kepada suatu kebenaran.
b)
Nabi Muhammad SAW tidak pernah berkata atau
menetapkan hukum kecuali bila sandaran berupa wahyu, sebagaimana dijelaskan
dalam Al-Qur'an. Para mujtahid selain Nabi tidak akan lebih baik dari Nabi;
karenanya tidak mungkin mereka menetapkan suatu ketentuan hukum tanpa merujuk
kcpada dalil.
c)
Seandainya para mujtahid itu dapat menetapkan
hukum tanpa sandaran berarti masing-masing mujtahid secara perseorangan dapat
menetapkan hukum tanpa sandaran. Bila masing-masing mujtahid secara
perseorangan dapat berbuat demikian, maka tidak ada artinya lagi kesepakatan
itu.
d)
Mengemukakan pendapat dalam hal agama tanpa
dalil atau petunjuk adalah tindakan yang salah. Kalau sepakat berbuat begitu,
berarti sepakat dalam kesalahan, padahal umat secara keseluruhan tidak mungkin
sepakat dalam kesalahan.
e)
Produk hukum syar'i bila tidak
disandarkan kepada dalil, tidak dapat diketahui hubungannya dengan hukum syara'
Bila keadaannya seperti itu, maka tidak dapat diterima.
2.
Sebagian
kecil ulama tidak mempersyaratkan adanya sandaran ijmå'. Mereka
berpendapat bahwa dapat saja ijma' itu terjadi karena adanya taufik dari
Allah kepada setiap mujtahid yang mengadakan kesepakatan yang menuntun mereka
mencapai kebenaran tanpa memerlukan petunjuk dari dalil. Mereka mengemukakan
argumentasi sebagai berikut:[5]
a)
Seandainya kekuatan suatu ijma'
membutuhkan suatu dalil sebagai sandaran, maka sebenamya kekuatan hujah
terletak pada dalil yang menjadi sandaran itu, bukan pada ijma' itu sendiri.
Dengan demikian, ijma' itu tidak ada artinya dalam kedudukannya sebagai dalil
syara' yang berdiri sendiri. Alasan itu ditolak ulama lain dcngan menyatakan
bahwa ijma' itu tetap ada faidahnya seperti tidak perlu ada pembahasan
lagi tentang dalil itu karena telah dikuatkan oleh ijma', atau dalil itu
tidak perlu dipertikaikan lagi karena ijma' telah menerimanya.
b)
Seandainya ijma' itu memerlukan
sandaran, maka tidak akan terlaksana ijma' tanpa ada sandaran, padahal cukup
banyak ijma' yang tanpa menyandarkan diri kepada dalil mana pun.
Contohnya seperti ijma' ulama tentang pengambilan sewa pemandian umum,
penetapan kharaj, dan lain sebagainya. Ulama yang mempersyaratkan adanya
sandaran atau rujukan bagi suatu ijmä' sepakat menjadikan nash Al-Qur'an dan
sunah sebagai sandaran ijmä'. Namun dalam menem- patkan qiyås
atau ijtihad sebagai sandaran mereka berbeda pendapat: [6]
1.
Jumhur ulama membolehkan qiyås dan ijtihad
dijadikan sandaran ijma' meskipun mereka berbeda pendapat mengenai
kemungkinan hal seperti itu terlaksana dalam kenyataan. Alasan mereka adalah
bahwa qiyas itu sendiri adalah hujah syar'iyah yang bersandar secara langsung
kepada nash, kare- na qiyas itu sendiri adalah menghubungkan sesuatu kepada
hukum yang ada nash-nya. Bila ijma' dilakukan menurut cara ini, maka ijma'
tersebut pada hakikatnya adalah ijma' yang menyandar kepada nash syar'i.
Contoh yang mereka kemukakan adalah ijmä' tentang haramnya lemak babi
yang diqiyaskan kepada dagingnya; hukum menumpahkan susu yang kemasukan
bangkai tikus ditetapkan berdasarkan ijma' yang asalnya diqiyaskan
kepada masuknya tikus ke dalam minyak; ijma' tentang pengangkatan Abu
Bakar menjadi khalifah karena meng-qiyas-kannya kepada penunjukan Abu
Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat waktu Nabi sedang sakit.
b.
Sebagian ulama di antaranya ulama Syi'ah, Daud
al-Zhahiri, Ibn Jarir al-Thabari berpendapat tidak boleh menjadikan qiyas
atau ijtihad sebagai sandaran ijma'. Mereka mengemukakan alasan
sebagai berikut:
a). Bentuk qiyas itu berbeda-beda.
Meskipun qiyas telah didasarkan kepada sifat yang munasabah atau berpengaruh
terhadap hukum, namun pandangan ulama terhadapnya berbeda-beda. Dalam hal ini
tentu tidak mungkin qiyas itu dijadikan sandaran bagi suatu ijma'.
b.) Pada dasarnya qiyas itu bukanlah suatu
dalil yang disepakati; oleh karenanya tidak mungkin dijadikan dasar untuk ijma'.
c). Tidak pernah di kalangan para sahabat
menetapkan hukum secara ijma' yang tidak didasarkan kepada Al-Qur'an dan
sunah. Ijmå' mereka atas kewarisan saudara seayah saat tidak ada saudara
kandung, sebenarnya didasarkan kepada nash Al-Qur'an.
3. Sebagian ulama mengambil pendapat di
tengah-tengah kedua pendapat di atas. Menurut mereka bila qiyas itu
didasarkan kepada 'illat yang ditetapkan berdasarkan nash atau 'illatnya
cukup lahir dan tidak samar hingga tidak memerlukan pembahasan, maka dapat
dijadikan sandaran ijma'. Tetapi bila 'illat-nya tidak jelas atau tidak
berdasarkan nash, maka qiyas tersebut tidak dapat dijadikan sandaran ijma'.
Para ulama yang membolehkan qiyas dijadikan sandaran ijma' itu,
sebenarnya yang mereka maksud adalah qiyas dengan 'illat yang
kuat itu.
C.
Rukun Ijma’
1.
Ada sejumlah mujtahid ketika
berlangsungnya kejadian yang membutuhkan ijma’, mengingat ijma’ tidak
akan terwujud bila yang melakukan ijma’ hanya seorang mujtahid saja.
2.
Semua mujtahid dari
berbagai golongan dan belahan dunia sepakat tentang hukum suatu masalah[7]
3.
Kesepakatan tersebut terwujud
setelah masingmasing mujtahid mengemukakan tentang suatu masalah secara
terangterangan.
4.
Kesepakatan tentang suatu masalah
berasal dari semua mujtahid secara utuh.[8]
D.
Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijmå'
menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur'an dan sunah. Ini
berarti iftnä' dapat nrnetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat
Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al- Qur'an maupun Sunah. Untuk
menguatkan pendapatnya ini jumhur mengemukakan beberapa ayat Al-Qur'an dan
hadis Nabi.[9]
Di antara dalil ayat Al-Qur'an adalah:
1.
Surat an-Nisa' (4): 115:
ومن يشاقق الرسول من
بعدما تبين الهدى ويتبع غيرسبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنمقلى
وساءت مصيرا
Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya; dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahanam
itu seburuk-buruk lempat kembali. (QS. An Nisa’: [4]:115).[10]
Dalam ayat ini, "jalan-jalan orang
mukmin" diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan
orang mukmin. Inilah yang disebut ijmå' kaum mukminin. Orang yang tidak
mengikuti jalan orang mukmin mendapat ancannan neraka jahanam. Hal ini berarti
larangan mengikuti jalan selain apa yang diikuti kaum mukminin, dan ini berarti
disuruh mengikuti ijmä'.
2.
As Sunnah, antara lain (HR. Tirmidzi)
ان الله لايجمع امتي على
ضلالة
“Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku dalam kesesatan….”[11]
E.
Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma'
Ulama Ahl al-sunah yang menempatkan ijma'
sebagai dalil yang berdiri sendiri sesudah Al-Qur'an dan sunah berbeda pendapat
dalam beberapa hal yang menyangkut pembatasan dan persyaratan ijmä'.
1. Keikutsertaan
kalangan awam dalam ijma'
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
tentang apakah umat yang awam atau yang bukan mujtahid diperhitungkan
sebagai anggota ijmå', dalam arti: apakah kesepakatan mereka mencntukan
sahnya ijmä' dan ketidaksepakatan mereka menyebabkan tidak sahnya ijmå'.
Jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam
tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu ijmä'. Maksudnya,
meskipun umat yang awam menolak atau menerima apa yang telah disepakati oleh
ulama mujtahid, maka ijma' tetap dapat berlangsung, karena yang
berhak menentukan hukum dalam ijmå' adalah orang-orang
yang malnpu memahami sumber fiqh dan
mengeluarkan hukumnya. Ini hanya mungkin dilakukan oleh ulama mujtahid
dan umat awam tidak mempunyai kemampuan untuk itu.
2.
Ijma’
sesudah masa sahabat
Terdapat perbedaan ulama mengenai, dalam hal
apakah ijmä' itu hanya terbatas pada masa sahabat dan tidak berlaku
sesudahnya. Kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa ijmä' itu mempunyai
kekuatan hujah berpendapat bahwa ijma' tidak hanya berlaku pada masa sahabat
saja, tetapi pada setiap masa ijmä' itu mempunyai kekuatan hujah bila
memenuhi ketentuannya.
Alasan yang dikemukakan kelompok ini ialah
bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma' tidak keluar dari
Al-Qur'an, sunah, dan logika. Setiap dalil itu tidak memisahkan antara penduduk
satu masa dengan masa lainnya. Dalil itu pun menjangkau para ahli pada setiap
masa sebagaimana menjangkau para ahli pada masa sahabat. Karena itu ijmä' pada
setiap masa mempunyai kekuatan hukum atau hujah.[12]
Daud al-Zhahiri serta pengikutnya dari kelompok
Zhahiriyah dan Imam Ahmad dalam salah satu versi periwayatan berbeda pendapat
dengan jumhur ulama tersebut. Mereka berpendapat bahwa ijmå' yang mempunyai
daya hujah hanyalah ijmå' pada masa sahabat, karena pada masa itulah
memungkinkan terjadinya ijma' secara praktis, sebab waktu itu jumlah
mujtahid masih terbatas dan wilayah domisili mereka relatif berdekatan. Hanya
dalam masa itulah ijma' dapat terlaksana menurut syarat-syarat yang
ditentukan. [13]
3.
Kesepakatan mayoritas
Apakah kesepakatan mayoritas ulama mujtahid
yang tidak disetujui sebagian kecil ulama dapat disebut ijma'? Dalam hal
ini terdapat perbedaan pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sah ijma'
bila hanya mayoritas ulama saja yang bersepakat sedangkan ada minoritas yang
menentangnya. Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Abu Bakar al-Razi, Abu Husein
Khayyat dari Mu'tazilah dan Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu riwayat
berpendapat bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sudah dapat menghasilkan ijma',
meskipun ada beberapa mujtahid yang menolaknya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa bila jumlah
minoritas itu mencapai tingkat mutawätir, maka ketidak sepakatan mereka
menyebabkan tidak terlaksananya ijma'. Tetapi kalau jumlahnya kecil dan
tidak mencapai jumlah mutawätir, maka ketidak sepakatan mereka tidak
memengaruhi kelangsungan ijmä'.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa
kesepakatan mayoritas ulama dapat menjadi hujah, namun tidak dapat disebut ijma'.
Pendapat lain mengatakan bahwa mengikuti pendapat mayoritas adalah tindakan
paling baik, meskipun tidak ada halangan untuk menolak pendapat mereka.
4.
Kesepakatan ulama Madinah
Bila ulama Madinah telah sepakat tentang suatu
hukum atas suatu kejadian, sedangkan ulama lain mengemukakan pendapat yang
berbeda, dapatkah kesepakatan ulama Madinah itu dianggap ijma'? Dalam
hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.[14]
a.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan
ulama Madinah saja tidak merupakan kekuatan hujah terhadap ulama lain yang
tidak sependapat dengan itu; karena kesepakatan ulama Madinah itu bukan ijma'.
Alasan jumhur
ulama ini adalah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma'
itu, juga mencakup ulama-ulama lain di luar Madinah. Tanpa keikutsertaan ulama
lain di dalamnya, maka tidak dapat dinamakan kesepakatan itu sebagai
"seluruh umat". Karenanya kesepakatan mereka tidak dapat disebut
ijma', dan dengan sendirinya tidak berdaya hujah terhadap yang lain. Pendapat
ini dianggap yang terpilih menurut al-Amidi.
b.
Ulama Malikiyah mengatakan bahwa, kesepakatan
ulama Madinah adalah ijmä' dan mempunyai kekuatan hujah terhadap ulama
lain yang menyalahinya. Di antara ulama Malikiyah ada yang menjelaskan mengenai
yang dimaksud dengan kehujahan kesepakatan ulama Madinah itu adalah bahwa
periwayatan ulama Madinah lebih kuat dibandingkan dengan periwayatan ulama lain
di luar Madinah. [15]
Sedangkan ulama
Malikiyah yang lain mengulas bahwa kehujahan berarti kesepakatan ulama Madinah
lebih utama meskipun tidak dilarang menyalahinya. Ulama Malikiyah yang lain
meluruskan pendapat ini bahwa yang dimaksud dengan ulama Madinah yang
kesepakatannya menjadi hujah itu adalah sahabat-sahabat Nabi di Madinah.
5.
Kesepakatan Ahlu al-Bait
Ahlu al-Bait dalam
pandangan ulama Syi'ah adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui putrinya,
Fathimah dengan Ali ibn Abi 'Thalib.
Di kalangan ulama Syi'ah berlaku pendapat bahwa
kesepakatan Ahlu al-Bail atas suatu hukum dianggap ijmå' yang
mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain. Pengertian kesepakatan yang
mempunyai kekuatan hujah di sini berarti kesepakatan dalam menemukan ucapan
orang yang ma'shüm sebagaimana dijelaskan di atas.
Sedangkan seluruh ulama Ahl al-sunah
menolak pandangan ulama Syi'ah dan Ahlu al-Bait sebagai ijma' yang
mengandung hujah. Ulama Ahl al-sunah berpendapat bahwa yang ma'shüm itu
adalah umat secara keseluruhan, sedangkan Ahlu al-Bait hanya sebagian
kecil dari umat.
6.
Kesepakatan Khulafaur Rasyidin
Bila empat orang sahabat Nabi yang kemudian
sebagai al-Khulafa al-Rasyidin bersepakat tentang suatu hukum, namun sahabat
lainnya mempunyai pendapat berlainan dengan kesepakatan itu, apakah kesepakatan
mereka dapat dianggap sebagai ijma' yang mengikat umat Islam? Dalam hal
ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Imam Ahmad dalam salah satu versi periwayatan
menyatakan bahwa kesepakatan mereka adalah ijmä' yang mengikat.
Karenanya tidak boleh berpegang kepada pendapat lainnya. Pendapat Ahmad ibn
Hambal dalam versi lain menyatakan bahwa kesepakatan mereka bukan ijma',
meskipun dapat dijadikan hujah. Pendapat ini diikuti Qadhi Abi Hasan, salah
seorang sahabat Hanafi.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan Khalifah
yang empat itu bukan ijmå' dan tidak dapat dijadikan hujah menurut apa
adanya. [16]
F.
Kemungkinan terjadinya ijma’
Ulama’ sepakat
bahwa secara rasional ijma’ mungkin terjadi. Tetapi mereka berbeda pendapat
dalam kemungkinan ijma’ menurut kebiasaan.[17] Sedangkan,
menurut al Nazzam, sebagian pengikut Syi’ah dan sebagian pengikut paham
Mu’tazilah bahwa ijma’ dengan rukun rukun yang disebutkan diatas tidak
mungkin terjadi, karena tidak mungkin para mujtahid sepakat dalam masalah agama
yang tidak dapat diketahui secara mudah, juga para mujtahid telah terpencar
disegala penjuru dunia, selain itu, kesepakatan adakalanya mungkin didasarkan
pada dalil qhath’iy atau zhanniy. Apabia qath’iy ijma’
tidak diperlukan lagi. Apabila zanniy, tidak mungkin terjadi kesepakatan.
Sementara jumhur ulama’ berpendapat mungkin terjadi secara adat.[18]
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma'
mungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya
pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan
ijmä', pembukuan Al Qur’an, demikian pula haramnya lemak babi, berhaknya kakek
atas seperenam harta warisan cucunya, terhalangnya cucu oleh anak dalam hak
mewarisi, dan lain-lain hukum furu' sebagaimana tersebar dalam
kitab-kitab fiqh.
Abdul Wahab Khallaf menjelaskan besarnya
kemungkinan terjadinya ijmä' terutama dalam masa yang serba maju ini.
Bila pelaksanaan ijmä' itu ditangani oleh suatu negara dengan bekerja sama
dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Setiap
negara menetapkan standar tertentu mengenai seseorang dapat dinyatakan mencapai
derajat mujtahid dan memberikan ijazah mujtahid terhadap semua yang mencapai
derajat itu, sehingga dengan demikian semua mujtahid di dunia ini dapat
diketahui.
Ulama yang berpendapat tidak mungkin terjadinya
ijma’ melihat dari segi sulitnya mencapai kata sepakat di antara sekian
banyak ulama mujtahid, sedangkan ulama yang menyatakan mungkin berlaku ijma'
melihat dari segi secara teoretis memang dapat berlaku meskipun sulit
terlaksana secara praktis. Dalam keadaan demikian suatu hal yang dapat diterima
segala pihak tentang ijmå' itu ialah bila diartikan ijma' itu dalam arti
"tidak diketahui adanya pendapat yang menyalahinya.[19]
G.
Macam-macam
ijma’
a.
Berdasarkan cara pembentukannya
Berdasarkan
cara pembentukannya, ijma’ terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Ijma’ sharih: yaitu kespakatan semua mujtahid
pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa, dan masing-masing mujtahid
menyatakan pendapatnya, baik dengan perkataannya (fatwa) maupun dengan
perbuatan (pengadilan). Ijma’ ini adalah ijma’ hakiki dan menjadi hujjah
menurut jumhur ulama’.[20]
2. Ijma’ sukuty:
apabila sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya baik dengan perkataan
maupun dengan perbuatan, dan sebagian yang lain diam tidak menyatakan
persetujuan dan penolakan. Ijma’ ini bukan hujjah menurut jumhur ulama’,
dan hujjah menurut hanafiyyah. Ijma’ sukuti tersebut dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria:
a. Diamnya
para mujtahid itu betul-betul
tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan.
b. Keadaan
diamnya para mujtahid itu cukup lama yang biasa dipakai untuk
memikirkan permasalahannya dan biasanya dipandang cukup untuk
mengemukakan pendapatnya.
c. Permasalah
yang di fatwahkan oleh para mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi,
yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni.[21]
b. Berdasarkan
kualitasnya
Berdasarkan kualitasnya, ijma’
terbagi menjadi dua bagian:
1. Ijma’
qath’iy: yaitu ijma’ sharih dan
dinukil kepada kita secara mutawattir.
2. Ijma’
zhanni:yaitu ijma’ sharih yang
dinukil tidak secara mutawattir, dan ijma’ sukuty.
H.
Mengingkari/Pengingkar Hasil Ijma'
Seseorang disebut mengingkari hasil ijmä' bila
ia mengetahui adanya ijmå' ulama yang menetapkan hukum atas suatu kasus, namun
ia secara sadar berbuat yang berbeda mengenai kasus itu dengan apa yang telah
ditetapkan oleh ijmå' Pengingkaran terhadap hasil ijmå' itu dapat disebabkan
oleh beberapa hal sebagai berikut:
1.
la secara prinsip tidak mengakui iimä' sebagai
salah satu dalil hukum yang mengikat karena memang tidak ada dalil sharih
dengan dilalah yang qath'i tentang kehujahan ijmä' tersebut yang dapat diterima
semua pihak.
2.
la mengakui ijmå' sebagai hujah syar'iyah
secara prinsip, namun ia menolak menerima ijmå' tertentu karena menurut keyakinannya
cara penukilan ijmå' itu tidak meyakinkan atau ia tidak yakin bahwa memang
telah berlangsung ijmä' tentang suatu masalah.
3.
la menerima ijmå' secara prinsip dan meyakini
secara pasti bahwa ijmå' telah berlangsung, namun ia tetap tidak
mengindahkannya.
Bagaimana hukum orang yang mengingkari ijmå'
dengan alasan tersebut? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa mengingkari hukum yang sudah ditetapkan
ijmå' adalah kafir. Ulama lain menolak mengkafirkan orang yang mengingkari
iimå'. Mereka juga sepakat tentang tidak kafirnya orang yang mengingkari ijmå'
yang zhanni.
Para ulama yang menyatakan kafir orang yang
mengingkari ijmå' yang qath'i berpendapat bahwa keingkaran akan hukum ijmå'
mengandung arti mengingkari dalil qath'i. Ini berarti mengingkari kebenaran
risalah yang dibawa Nabi. Sikap demikian hukumnya kafir sebagaimana mengingkari
Al-Qur'an dan sunah Nabi.
Ulama yang tidak mengkafirkan orang yang
mengingkari ijma' beralasan bahwa dalil tentang kekuatan hujah ijma'
berdasarkan kepada dalil yang tidak qath'i, tetapi hanya zhanni. Karenanya
tidak menimbulkan hukum yang meyakinkan. Mengingkari hukum yang tidak
meyakinkan, tidak sampai kepada kafir. Dengan demikian, kita tidak dapat
mengafirkan orang yang memang secara prinsip tidakmeyakini ke-qath'i-an hasil
ijma'.
Sebagian ulama merinci persoalan hukum atas
orang yang mengingkari ijma' itu dengan melihat alasan orang yang tidak
mengamalkan hasil iimå' tersebut. Jika sampai mengingkari hukum-hukum yang
termasuk masalah pokok dalam agama seperti kewajiban shalat dan haramnya zina,
maka hukumnya kafir. Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah apa yang
dikemukakan Muhammad Khudhari Bey. la mengatakan bahwa, menyatakan kafir orang
yang nungingkari ijmä' tanpa melihat alasannya adalah tidak benar. Untuk itu ia
mengutip pendapat Imam I-laramain yang mengatakan bahwa ucapan yang berkembang
di kalangan ulama yang mengkafirkan orang yang mengikuti ijmå' itu adalah
batalsecara pasti. Orang yang mengingkari prinsip ijmä' tidaklah kafir.
Menghukum tentang kafirnya seseorang tidaklah gampang.[22]
Seseorang yang menyakini ijmå' sebagai salah
satu hujah syar'iyah dan mengakui kebenaran orang-orang yang melakukan ijmä'
serta kebenaran penukilannya, kemudian ia dengan sadar mengingkari apa-apa yang
telah diputuskan secara ijma', maka pengingkarannya itu berarti mendustakan
Icebenaran pembuat hukum (syar'i). Orang yang mendustakan hukum syar'i memang
kafir. Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah bahwa seseorang yang mengingkari
"cara menetapkan hukum syara' " tidak kafir. Tetapi seseorang yang
mengakui sesuatu sebagai hukum syara', namun ia dengan sadar mengingkarinya,
berarti ia mengingkari syara'. Mengingkari sebagian dari hukum syara', berarti
mengingkari hukum syara' secara umum. Ini berarti telah keluar dari Islam. [23]
I.
Syarat-syarat Mujtahid
Orang-orang yang melakukan ijtihad dinamakan Mujtahid. Dan seorang
mujtahid harus memiliki beberapa persyaratan, baik yang bersifat umum, utama
maupun pendukung, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1.
Persyaratan
umum
Seorang
mujtahid pertama-tama harus memiliki persyaratan umum, yaitu sebagai berikut.
a.
Baligh
persyaratan
baligh bersifat mutlak, sebab untuk menjadi seorang mujtahid diperlukan
kematangan dalam berpikir, sedangkan anak-anak belum memiliki kematangan
berpikir. Itulah sebabnya anak-anak itu tidak dibebani tanggungjawab hukum
(tidak mukallaf).
b.
Berakal
c.
Memiliki
bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan
abstrak. Sebab, kegiatan ijtihad tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kemampuan nalar yang tinggi.
d.
Memiliki
keimanan yang baik, dalam
arti, keimanannyantidak berdasarkan taqlid, sebagaimana keimanan orang yang
awam. Sebab, orang yang tidak memiliki persyataran ini, tidak memiliki
kedalaman spiritual dan integritas moral. Akan tetapi, persyaratan yang keempat
ini banyak diperdebatkan ulama, terutama jika yang dimaksudkan dengan keimanan
yang baik adalah menguasai ilmu kalam secara mendalam.
a.
Mengerti
bahasa Arab
Syarat ini disepakati oleh ulama, karena kedua dasar hukum yakni al
Qur’an dan Hadits adalah berbahasa arab. Al Ghazali mewajibkan mengertahui
perkataan/ kalam yang sarfih dan
zahir, mujmal, hakikat, majaz, aam, khas, muhkamah,
mutsyabihat,mutlak, muqayat mafhum
dan lain-lain.[24]
b.
Memahami
tentang al Qur’an dan Nasikh Mansukh
Yang mensyaratkan demikian termasuk Imam Syafi’i, mengingatkan
bahwa ayat-ayat al Qur’an tidak semuanya jelas dan terperinci. Lagi pula untuk
membedakan ayat hukum dengan yang bukan , tentu harus mengetahui secara
keseluruhan, demikian kata Imam Asnawi.Dalam satu riwayat, ImamSyafi’I mensyaratkan
harus hafal seluruh ayat al Qur’an, sedang sebagian ulama tidak mensyaratkan
yang demikian.[25]
c.
Mengerti
tentang sunah
Syarat ini di sepakati oleh ulama dan harus mengetahui pula jalan
riwayat dan kekuatan perawinya. Tetapi karena sekarang sudah banyak
kitabmengelompokkan hadis yang sah dan yang tidak, maka mujtahid cukup
mengetahui riwayat dan keadaannya secara global. Demikian Abu Zuhra.
Para ulama sepakat tentang syarat ini, tetapi tidak mesti harus
menghafal semua masalah yang sudah di ijma’kan.
Yang penting adalah mengetahui masalah-maslah yang di ijma’kan dan yang di ikhtilafkan.
Walaupun demikian Imam Syafi’I mewajibkan untuk mengetahui pendapat-pendapat
mujtahid yang menyalahinya.
Menurut Imam Syafi’i, syarat ini sangat penting karena qiyas sangat identik dengan ijtihad,
bahkan ijtihad sering disebut qiyas.
Karena mujtahid harus mengetahui kaidah qiyas
dan berhubungan dengannya.
Seorang mujtahid harus mengerti tentang maksud dan tujuan syariat,
yang mana harus bersendikan pada kemaslahatan umat. Syarat demikian ini sanagat
di dukung oleh Asyatiby.
Syarat ini bertujuan untuk lebih mengarahkan dalam membedakan
pendapat yang kuat dan yang lemah. Dalam hal ini Imam Asnawi menambahkan bahwa
mujtahid harus pula menguasai ilmu mantiq agar terhindar dari kesalahan dalam
mengemukakan cara-cara atau metode berpikir.
h.
Sebagian
ulama ada juga yang mensyaratkan bahwa seorang mujtahid harus berhati bersih
dan berniat lurus karena hal tersebut dapat mempermudah pemecahan masalah.[26]
3.
Persyaratan
pendukung
Selain beberapa persyaratan utama di atas, seorang dipandang
memiliki keahlian sebagai mujtahid jika telah melengkapi dirinya dengan
beberapa persyaratan pendukung sebagai berikut.
a.
Mengetahui
ada atau tidak ada dalil al qath’i yang mengatur hukum masalah yang sedang
dibahas.
Dengan kata lain, seorang mujtahid haruslah
mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang di dasarkan atas an-nashsh al qathi’i atau ijma’
(ma’rifat mawadhi’ al ijma’),
khususnya yang berkaitan dengan masalah yang menjadi objek ijtihad.
b.
Mengetahui
persoalan-persoalan hukum yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama (ma’rifah mawardhi’ al khilaf).
Sejalan dengan persyaratan pendukung yang
pertama di atas, maka dengan mengetahui persoalan-persoalan yang mnejadi objek
perbedaan pendapat ulama, seorang akan terhindar dari kegiatan ijtihad yang
bersifat tahshil al hashil
(mengulangi penemuan yang telah di temukan hukumnya).
c.
Memiliki
sifat taqwa dan keshalihan (shalah al mujtahid wataqwah)
Persyaratan ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan kegiatan
ijtihad, tetapi justru terhadap hasil ijtihad itu sendiri. Dalam hal ini, hasil
ijtihad yang difatwakan akan dengan mudah diterima masyarakat, jika si mujtahid
memiliki sifat shaleh dan taqwa yang tinggi. [27]
Beberapa syarat bagi mujahid yang diperselisihkan ulama di
antaranya seperti syarat tentang:
a.
Pengetahuan
tentang ilmu furu' atau fiqh.
Al- Ghazali rnencantumkan syarat ini untuk
orang yang akan berijtihad di masa kini, meskipun tidak diperlukan pada masa
sahabat. Menurut Salam Madzkur, di antara ulama yang tidak mempersyaratkan
penguasaan ilmu fiqh adalah Abu Ishak al-Asfarini dan Abu Manshur. Pendapat ini
memang masuk akal karena ilmu fiqh merupakan hasil karya ijtihad.
b.
Pengetahuan
tentang ilmu manthiq, untuk dapat menghasilkan kesahihan pemahaman dan kebaikan
perhitungan. Namun sebagian ulama tidak mensyaratkannya dengan alasan bahwa
kalangan sahabat, tabi'in dan imam-imam mujahid dapat melakukan ijtihad padahal
pada waktu itu ilmu manthiq itu belum populer.
c.
Pengetahuan
tentang ilmu Ushul al-Din juga ada yang menganggapnya sebagai salah satu syarat
dalam ijtihad.
Ulama Mu'tazilah cenderung kepada pendapat ini. Namun ulama jumhur
tidak mensyaratkannya. Al-Amidi dalam haI ini mengatakan bahwa disyaratkannya
ilmu ushul al-din adalah untuk yang bersifat dharuriyat seperti tentang adanya
Allah dengan segala sifat-Nya, tetapi tidak diperlukan pengetahuan yang mendalam
tentang ilmu tersebut.[28]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas
suatu urusan agama. Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat Nabi
Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad atau
umat Islam. Pandangan Imam al-Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi'i yang
menetapkan ijma' itu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan
pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara
keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi'i ini mengalami
perubahan dan perkembangan di tangan pengikutnya di kemudian hari.
B.
Saran
Sumber hukum tidak semuanya berasal dari Al
Qur’an dan hadis tetapi bisa juga lewat ijtihad para ulama maupun para
sahabat. Jadi saat Al Qu’an dan hadis tidak bisa menjawab problamtika maka
dalam islam masih ada ijma’, qiyas dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir,
Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000).
Kholil, Rusydi, Ushul Fiqh, (Bata bata pers: 2013).
Syafi’e,
Rachmat, Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia: 1999).
Firdaus,
Ushul Fiqh, (Jakarta, Zikrul Hakim: 2014).
Al Qur’an dan Terjemahan
Anna’im, Abudullah ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta,
LKiS: 2001).
[1] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 276 277
[2] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 295
[3] Rachmat
Syafi’e, Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia: 1999), hlm. 72
[4] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 299
[6] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 300
[7] Firdaus, Ushul
Fiqh, (Jakarta, Zikrul Hakim: 2014), hlm. 45 46.
[8] Firdaus, Ushul
Fiqh, (Jakarta, Zikrul Hakim: 2014), hlm. 45 46.
[9] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta,
KENCANA: 2000), hlm. 283.
[11] Rusydi Kholil,
Ushul Fiqh, (Bata bata pers: 2013), hlm. 61.
[13] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 287.
[15] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 289 290.
[16] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 292 294.
[17] Rusydi Kholil,
Ushul Fiqh, (Bata bata pers: 2013), hlm. 61.
[18] Firdaus, Ushul
Fiqh, (Jakarta, Zikrul Hakim: 2014), hlm. 51.
[19] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jus. 1, (Jakarta, KENCANA: 2000), hlm. 282.
[20] Rusydi Kholil,
Ushul Fiqh, (Bata bata pers: 2013), hlm. 64.
[21] Rachmat
Syafi’e, Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia: 1999), hlm. 72
[26] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu Dan Dua
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 178-180
[27] Abd. Rahman
Dahlan, Ushul fiqh, (Jakarta:Amzah,2014), hlm.352
[28]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 301-302