IJTIHAD
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqh
Yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI
Oleh :
SALMA NIAWATI (NIM 20170703022189)
SIFAUR RODIYAH (NIM
20170703022194)
SITTI MUTMAINNAH (NIM
20170703022202)
SULFATUL ISNIATI
(NIM
20170703022208)
WINA QONITA
JAMIL (NIM
20170703022223)
ARINAL LAILATUL
MAGHFIROH (NIM 20170703022223)
HALIMATUL ZAHROH
(NIM
182014020200780)
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGAERI
2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb
Alhamdulillah
segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayahnya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW., keluarga, sahabat, dan seluruh kaum muslimin dan muslimat
yang setia istiqomah mengikuti petunjuknya.
Berkat
rahmat dan pertolongan Allah SWT., penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ushul Fiqh”.
Penyusun
menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Besar
harapan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Pamekasan, 16 April 2018
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
i
DAFTAR ISI..................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................
1
A.
Latar Belakang.............................................................................
1
B.
Rumusan Masalah........................................................................
1
C.
Tujuan Penulisan..........................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
3
A.
Pengertian ijtihad.........................................................................
3
B.
Syarat-Syarat Mujtahid................................................................
3
C.
Tingkatan Mujtahid......................................................................
7
D.
Lapangan Ijtihad..........................................................................
9
E.
Metode Ijtihad............................................................................
11
F.
Hukum Berijtihad.......................................................................
19
BAB III PENUTUP......................................................................................
21
A.
Kesimpulan.................................................................................
21
B.
Saran...........................................................................................
22
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ijtihad
merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah
SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in
serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu
apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi
pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai
dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan,
untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam
hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam
kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain
sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu
masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru
dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala
lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi
“tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan
terlepas dari belenggu kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad
satu-satunya jalan yang harus dilakukan secara maksimal. Dengan ijtihad,
reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap actual dan dapat dipertahankan
dalam kehidupan praktis.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan dibahas mengenai
pengertian ijtihad, syarat-syarat mujtahid, tingkatan-tingkatan mujtahid,
lapangan ijtihad, metode ijtihad dan hukum mujtahid.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
2.
Apa saja syarat-syarat menjadi seorang
mujtahid?
3.
Apa saja tingkatan-tingkatan mujtahid?
4.
Apa yang dimaksud dengan lapangan
ijtihad?
5.
Apa saja metode ijtihad?
6.
Apa hukum berijtihad?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2.
Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid.
3.
Untuk mengetahui tingkatan-tingkatan mujtahid.
4.
Untuk mengetahui lapangan ijtihad.
5.
Untuk mengetahui metode ijtihad.
6.
Untuk mengetahui hukum berijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, “ijtihad”
berasal dari kata jahada yang berarti
mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “ijtihad” dipakai mengikuti wazan Ifti’al yang berarti bersangatan dalam
pekerjaan. Oleh sebab itu, kata “ijtihad”
berarti mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbutaan. Dengan demikian
kata “jihad” dan “ijtihad” berasal dari kata yang sama.
Hanya saja, kata “ijtihad” bergerak
dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata “jihad” bergerak dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku
dalam skala yang lebih luas.[1]
Menurut istilah agama, ijtihad
adalah mencurahkan kesanggupan yang ada dalam membahas (menyelidiki) suatu
masalah untuk mendapatkan suatu hukum yang sulit bertitik tolak kepada Kitab
dan Sunnah.[2]
B.
Syarat-Syarat Mujtahid
Orang-orang yang melakukan ijtihad dinamakan Mujtahid. Dan seorang
mujtahid harus memiliki beberapa persyaratan, baik yang bersifat umum, utama
maupun pendukung, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1.
Persyaratan
umum
Seorang
mujtahid pertama-tama harus memiliki persyaratan umum, yaitu sebagai berikut:
a.
Baligh
Persyaratan
baligh bersifat mutlak, sebab untuk menjadi seorang mujtahid diperlukan
kematangan dalam berpikir, sedangkan anak-anak belum memiliki kematangan
berpikir. Itulah sebabnya anak-anak itu tidak dibebani tanggung jawab hukum
(tidak mukallaf).
b.
Berakal
c.
Memiliki bakat
kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan
abstrak. Sebab, kegiatan ijtihad tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kemampuan nalar yang tinggi.
d.
Memiliki
keimanan yang baik, dalam arti,
keimanannya tidak berdasarkan taqlid, sebagaimana keimanan orang yang awam.
Sebab, orang yang tidak memiliki persyataran ini, tidak memiliki kedalaman
spiritual dan integritas moral. Akan tetapi, persyaratan yang keempat ini
banyak diperdebatkan ulama, terutama jika yang dimaksudkan dengan keimanan yang
baik adalah menguasai ilmu kalam secara mendalam.
a.
Mengerti bahasa
Arab
Syarat
ini disepakati oleh ulama, karena kedua dasar hukum yakni Al-Qur’an dan Hadits
adalah berbahasa Arab. Al-Ghazali mewajibkan mengertahui perkataan/ kalam yang sarfih dan zahir, mujmal, hakikat, majaz, ‘am, khas, muhkamah, mutsyabihat, muthlaq,
muqayyad mafhum dan lain-lain.
b.
Memahami
tentang Al-Qur’an dan Nasikh Mansukh
Yang
mensyaratkan demikian termasuk Imam Syafi’i, mengingatkan bahwa ayat-ayat
Al-Qur’an tidak semuanya jelas dan terperinci. Lagi pula untuk membedakan ayat
hukum dengan yang bukan, tentu harus mengetahui secara keseluruhan, demikian
kata Imam Asnawi. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’I mensyaratkan harus hafal
seluruh ayat Al-Qur’an, sedang sebagian ulama tidak mensyaratkan yang demikian.[3]
c.
Mengerti
tentang Sunah
Syarat
ini di sepakati oleh ulama dan harus mengetahui pula jalan riwayat dan kekuatan
perawinya. Tetapi karena sekarang sudah banyak kitab mengelompokkan hadits yang
sah dan yang tidak, maka mujtahid cukup mengetahui riwayat dan keadaannya
secara global. Demikian Abu Zuhra.
Para
ulama sepakat tentang syarat ini, tetapi tidak mesti harus menghafal semua
masalah yang sudah di-ijma’-kan. Yang
penting adalah mengetahui masalah-masalah yang di-ijma’-kan dan yang di-ikhtilaf-kan.
Walaupun demikian Imam Syafi’I mewajibkan untuk mengetahui pendapat-pendapat
mujtahid yang menyalahinya.
Menurut
Imam Syafi’i, syarat ini sangat penting karena qiyas sangat identik dengan ijtihad, bahkan ijtihad sering disebut qiyas. Karena mujtahid harus mengetahui
kaidah qiyas dan berhubungan
dengannya.
Seorang
mujtahid harus mengerti tentang maksud dan tujuan syariat, yang mana harus
bersendikan pada kemaslahatan umat. Syarat demikian ini sangat di dukung oleh
Asyatiby.
Syarat
ini bertujuan untuk lebih mengarahkan dalam membedakan pendapat yang kuat dan
yang lemah. Dalam hal ini Imam Asnawi menambahkan bahwa mujtahid harus pula
menguasai ilmu mantiq agar terhindar dari kesalahan dalam mengemukakan
cara-cara atau metode berpikir.
h.
Sebagian ulama
ada juga yang mensyaratkan bahwa seorang mujtahid harus berhati bersih dan
berniat lurus karena hal tersebut dapat mempermudah pemecahan masalah.[4]
3.
Persyaratan
pendukung
Selain
beberapa persyaratan utama di atas, seorang dipandang memiliki keahlian sebagai
mujtahid jika telah melengkapi dirinya dengan beberapa persyaratan pendukung
sebagai berikut:
a.
Mengetahui ada
atau tidak ada dalil al-qath’i yang
mengatur hukum masalah yang sedang dibahas.
Dengan
kata lain, seorang mujtahid haruslah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang
didasarkan atas an-nashsh al-qath’i atau
ijma’ (ma’rifat mawadhi’ al-ijma’), khususnya yang berkaitan dengan
masalah yang menjadi objek ijtihad.
b.
Mengetahui
persoalan-persoalan hukum yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama (ma’rifah mawardhi’ al-khilaf).
Sejalan
dengan persyaratan pendukung yang pertama di atas, maka dengan mengetahui
persoalan-persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama, seorang akan
terhindar dari kegiatan ijtihad yang bersifat tahshil al-hashil (mengulangi penemuan yang telah di temukan
hukumnya).
c.
Memiliki sifat
taqwa dan keshalihan (shalah al-mujtahid wataqwah)
Persyaratan
ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan kegiatan ijtihad, tetapi justru
terhadap hasil ijtihad itu sendiri. Dalam hal ini, hasil ijtihad yang di-fatwa-kan akan dengan mudah diterima
masyarakat, jika si mujtahid memiliki sifat shaleh dan taqwa yang tinggi. [5]
Beberapa
syarat bagi mujahid yang diperselisihkan ulama di antaranya seperti syarat
tentang:
a.
Pengetahuan
tentang ilmu furu' atau fiqh.
Al-Ghazali
rnencantumkan syarat ini untuk orang yang akan berijtihad di masa kini,
meskipun tidak diperlukan pada masa sahabat. Menurut Salam Madzkur, di antara
ulama yang tidak mempersyaratkan penguasaan ilmu fiqh adalah Abu Ishak
al-Asfarini dan Abu Manshur. Pendapat ini memang masuk akal karena ilmu fiqh
merupakan hasil karya ijtihad.[6]
b.
Pengetahuan
tentang ilmu manthiq, untuk dapat menghasilkan kesahihan pemahaman dan kebaikan
perhitungan. Namun sebagian ulama tidak mensyaratkannya dengan alasan bahwa
kalangan sahabat, tabi'in dan imam-imam mujahid dapat melakukan ijtihad padahal
pada waktu itu ilmu manthiq itu belum populer.[7]
c.
Pengetahuan
tentang ilmu ushul al-Din juga ada yang menganggapnya sebagai salah satu syarat
dalam ijtihad. Ulama Mu'tazilah cenderung kepada pendapat ini. Namun ulama
jumhur tidak mensyaratkannya. Al-Amidi dalam haI ini mengatakan bahwa
disyaratkannya ilmu ushul al-Din adalah untuk yang bersifat dharuriyat seperti tentang adanya Allah
SWT. dengan segala sifat-Nya, tetapi tidak diperlukan pengetahuan yang mendalam
tentang ilmu tersebut.[8]
C.
Tingkatan Mujtahid
Mujtahid
dibagi menjadi dua tingkatan, antara lain sebagai
berikut:
1.
Mujtahid Muthlaq
Sebelum
menjelaskan tentang mujtahid muthlaq,
kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu ijtihad muthlaq. Ijtihad Muthlaq ialah, kegiatan seorang
mujtahid yang bersifat mandiri dalam berijtihad menemukan ‘illah-‘illah hukum dan ketentuan hukumnya dari nash Al-Qur’an dan Sunah, dengan
menggunakan rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara’, baik rumusan-rumusan tersebut merupakan hasil karyanya
sendiri ataupun karena mengikuti (ittaba’)
metode mujtahid lain, serta setelah terlebih dahulu mendalami
persoalan-persoalan hukum, dengan bantuan disiplin ilmu-ilmu lain. Dengan kata
lain. Ijtihad muthlaq ialah,
kemampuan untuk menggali hukum-hukum yang bersifat parsial (furu’) dari dali-dalilnya, dan kemampuan
untuk menggunakan perangkat ushul fiqh yang dijadikan landasan ijtihadnya.
Orang yang mempunyai kemampuan tersebut disebut mujtahid muthlaq. Mujtahid muthlaq dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu sebagai berikut:
a.
Mujtahid Muthlaq Mustaqil,
yaitu mujtahid yang secara mandiri merumuskan dan menyusun kaidah-kaidah ushul
fiqh madzhabnya, tanpa bertaqlid dan mengikuti (duna taqlid wa la ittiba’) kepada mujtahid lainnya. Di samping itu,
ia berijtihad menemukan hukum syara’
dengan cara menerapkan sendiri ushul fiqh yang dirumuskannya. Yang termasuk
dalam kelompok mujtahid muthlaq mustaqil ini antara lain, imam madzhab yang
empat (Imam Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’I dan Ahmad bin hambal), Imam al-Laits
bin Sa’ad, al-Awza’I dan Sufyan ats-Tsauri.
b.
Mujtahid Muthlaq Muntasib,
ialah mujtahid yang melakukan ijtihad secara mandiri dalam menemukan
hukum-hukum syara’ yang bersifat
parsial, tanpa taqlid dan mengikuti mujtahid lainnya tetapi tidak merumuskan
sendiri metode istinbath hukumnya,
melainkan mengikuti istinbath hukum
yang telah dirumuskan mujtahid kelompok pertama mujtahid muthlaq mustaqil. Yang termasuk dalam kelompok ini, antara
lain: dari madzhab Hanafi: Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan Zufar. Dari mahzab Maliki:
Abdurrahman bin al-Qasim dan Abdullah bin Abdul Wahhab. Dari madzhab
asy-Syafi’i: al-Buwaithi, az-Za’farani, dan al-Muzani.
2.
Mujtahid fi al-Madzhab
Sebelum
menjelaskan tentang mujtahid fi al-Madzhab,
kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu ijtihad fi al-Madzhab Adapun yang dimaksud dengan ijtihad fi
al-Madzhab ialah, suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang ulama’
mengenai hukum syara’, dengan
menggunakan metode istinbath hukum
yang telah dirumuskan oleh mujtahid muthlaq mustaqil (imam madzhab).
Secara lebih sempit ijtihad fi al-Madzhab dikelompokkan kepada tiga
tingkatan.
a.
Mujtahid at-Takhrij
Pada
tingkatan ini, mujahid terbatas hanya pada masalah-masalah yang di-fatwa-kan imam madzhabnya, ataupun yang
belum pernah di-fatwa-kan murid-murid
imam madzhabnya. Ulama’ yang termasuk dalam tingkatan ini, antara lain, dari
kalangan madzhab Hanafi: al-Hasan bin Ziyad, al-Karakhi dan ath- Thahawi. Dari
kalangan madzhab Maliki: al-Abhari dan Ibnu Abi Zaid. Sedangkan dari kalangan
madzhab asy-Syafi’i: Abu ishaq asy- Syairazi dan al-Maruzi.
b.
Mujtahid at-Tarjih
Mujahid
yang melakukan pemilahan pendapat yang dipandang lebih kuat diantara
pendapat-pendapat imam madzhabnya, atau antara pendapat imam madzhabnya dan
pendapat imam madzhab lainnya.
c.
Mujtahid al-Futya
Mujahid
yang menguasai dalam bentuk seluk beluk pendapat-pendapat hukum imam madzhab
dan ulama’ madzhab yang dianutnya, dan mem-fatwa-kan
pendapat-pendapat tersebut kepada masyarakat.[9]
Pada dasarnya
ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak
dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Dengan demikian, secara
sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah
yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.[10]
Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam Al-Qur’an dan Hadits itu
dapat dilihat dari dua segi:
1.
Al-Qur’an dan
Hadits secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan
dan tidak pula sebagiannya.
2.
Secara jelas,
langsung dan menyeluruh memang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan
Hadits, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya.[11]
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa ijtihad itu berlaku dalam
masalah-masalah yang belum ada nash-nya,
juga berlaku dalam masalah-masalah yang telah ada nash-nya namun belum pasti untuk masalah itu.[12]
Ketidakpastian tersebut dapat dilihat dari segi keberadaannya
sebagai dalil (wurud-nya). Ketidakpastian
tersebut, dapat pula dilihat dari segi penunjukannya terhadap hukum, yang
disebut dilalah-nya. Ketidakpastian dilalah itu berarti mengandung
kemungkinan arti yang lain dari itu. Dengan demikian, ketidakpastian itu dapat
dirinci menjadi tiga jenis, yaitu:[13]
1.
Tidak pasti
keberadaannya sebagai nash, namun
pasti penunjukkannya terhadap hukum. Umpamanya Hadits Nabi dari Syurhabil
menurut kelompok perawi Hadits selain Muslim tentang ucapan Ibnu Mas’ud dalam
hal kewarisan, “Saya menetapkan atas
dasar apa yang ditetapkan oleh Nabi, yaitu untuk seseorang anak perempuan
setengah, untuk cucu perempuan seperenam untuk melengkapi dua pertiga dan
selebihnya untuk saudara perempuan.”[14]
2.
Tidak pasti
penunjukkan terhadap hukum (zhanni
al-dilalah) tetapi pasti keberadaan sebagai dalil nash (qath’i al-wurud).
Umpamanya Firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah
(2):228
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفًسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
“Istri-istri yang tertalak hendaklah ber’iddah selama tiga kali
quru’”.[15]
3.
Tidak pasti
keberadaannya sebagai dalil atau nash dan
tidak pasti pula penunjukannya terhadap hukum (zhanni al-wurud wa al-dilalah). Umpamanya Hadits Nabi dari Aisyah
yang dikeluarkan empat perawi hadits selain al-Nasa’i, bahwa Nabi bersabda:
“Perempuan
mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal”.[16]
Telah dijelaskan bahwa masalah-masalah yang tidak ada sama sekali
dalilnya merupakan lapangan bagi ijtihad. Demikian pula dengan masalah-masalah
yang meskipun sudah ada nash yang
menetapkannya, namun tidak meyakinkan karena mengandung ketidakpastian, baik
dari segi keberadaannya (wurud)-nya
atau dari segi penunjukannya terahadap hukum (dilalah) yang terkandung di dalamnya. Ijtihad dalam hal ini dapat
menghasilkan hukum yang berbeda dengan hukum yang pernah ditetapkan oleh
mujahid lainnya.[17]
Bila suatu masalah telah ada dalilnya, baik dalam bentuk nash maupun dalam bentuk ijma’ tentang keberadaannya sebagai
dalil adalah pasti (qath’i al-wurud) seperti
dalil Al-Qur’an, hadits mutawatir dan
ijma’ sahabat yang dinukilkan secara
mutawatir, begitu pula pasti penunjukannya terhadap hukum (qath’i al-dilalah), maka hukumnya pun sudah pasti. Dalam hal ini
tidak berlaku lagi ijtihad; artinya, masalah ini bukan menjadi lapangan
ijtihad.[18]
Setiap hukum yang telah ditetapkan melalui dalil yang qath’i dari segi wurud dan dilalah-nya
bukan merupakan lapangan ijtihad yang akan menghasilkan hukum yang berbeda dari
ketentuan nash yang sudah pasti
tersebut. Dalam hal ini para fuqaha menetapkan sebuah kaidah:
لاَمَسَاغٌ
لِلْاِجْتِهَادِ فِي مَوْضِعِ النَّصِ الصَّرِيْحِ
“Tidak ada lapangan untuk berijtihad dalam hal yang sudah
ditetapkan dengan nash yang jelas.”[19]
Metode ijtihad yang dimaksud dalam bahasan ini
adalah thariqah (طريقة), yaitu jalan
atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan,
dan merumuskan hukum syara'.[20]
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad itu pada dasarnya adalah usaha untuk
memahami, menemukan, dan merumuskan hukum syara'.
Bagi hukum yang jelas terdapat dalam nash,
usaha yang dilakukan oleh mujtahid adalah memahami nash yang berisi hukum itu dan merumuskannya dalam bentuk rumusan
hukum yang mudah dilaksanakan secara operasional. Bagi hukum yang tidak
tersurat secara jelas dalam nash,
kerja ijtihad adalah mencari apa yang terdapat di balik nash tersebut, kemudian merumuskannya dalam bentuk hukum. Bagi
hukum yang sama sekali tidak ditemukan petunjuknya dalam nash, tetapi rnujahid menyadari bahwa hukum Allah SWT. pasti ada,
maka kerja ijtihad adalah menggali sampai menemukan hukum Allah SWT., kemudian
merumuskannya dalam rumusan hukum yang operasional. Diantara ulama ada yang
menganggap bentuk terakhir inilah yang disebut ijtihad dalam arti sebenarnya;
Sedangkan ulama lain menganggap semua kegiatan untuk menemukan hukum Allah SWT.
tersebut dapat disebut ijtihad.[21]
Dalam
pengertian ijtihad di atas, ushul fiqh membahas tentang langkah yang harus
dilakukan oleh seorang mujtahid. Hadits yang sangat populer tentang dialog Nabi
dengan Mu'adz ibn Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman untuk menjadi wali,
merupakan dasar dari langkah ijtihad. Langkah Mu'adz ibn Jabal dalam menghadapi
suatu masalah hukum adalah: pertama, mencari jawabannya dalam Al-Qur'an; kedua,
jika tidak menemukan dalam Al-Qur'an, ia mencarinya dalam Sunah Nabi; ketiga,
bila dalam sunah juga tidak ditemukan, maka ia menggunakan akal (ra'yu).[22]
Kronologis
langkah yang dilakukan oleh Mu'adz ibn Jabal itu diikuti pula oleh ulama yang
datang sesudahnya, termasuk imam madzhab terkemuka yang populer. Namun mereka
berbeda dalam cara memahami Al-Qur'an; berbeda dalam penerimaan hadits-hadits
tertentu serta pemahaman maksudnya; begitu pula mereka berbeda mengenai kadar
penggunaan akal dalam menetapkan hukum. Perbedaan tersebut menyebabkan
perbedaan dalam menetapkan fiqh yang mereka rumuskan dan pada akhirnya
menghasilkan beberapa madzhab fiqh yang satu sama lainnya memiliki perbedaan,
tetapi semuanya diakui keberadaannya dalam Islam.[23]
Di bawah ini
akan diuraikan secara singkat mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh
seorang mujtahid dalam istinbath hukum.
1.
Langkah pertama yang harus dilakukan mujtahid adalah
merujuk pada Al-Qur'an. Bila menemukan dalil atau petunjuk yang umum dan lahir,
maka si mujtahid harus mencari penjelasannya, baik dalam bentuk lafadz khas yang akan men-takhsis-kan; lafadz muqayyad
yang menjelaskan kemutlakkannya; qarinah
(petunjuk) yang akan menjelaskan maksudnya. Selanjutnya, dalam meneliti ayat
Al-Qur'an yang mengandung hukum tersebut perlu dipilah-pilah antara lafadz-nya yang Zhahir, nash, mufassar, dan muhkam. Perlu dipilah pula antara penunjukannya secara haqiqat dan majaz; antara yang sharih
dan kinayah, Kemudian diteliti
penunjukan secara 'ibarah, isyarah',
iqtidhah, dan dilalah. Diperiksa
pula manthuq-nya dan dicari mafhum yang terdapat di balik manthuq-nya itu.[24] Hukum
dalam Al-Qur'an itu dianalisis dari segala seginya. Bila mujtahid tidak
menemukan jawaban hukumnya dari apa yang tersurat secara jelas dalam teks atau manthuq Al-Qur'an, ia mencarinya dari
pengertian yang terkandung (tersirat) di balik teks Al-Qur'an. Dari pengkajian
dan penelitian terhadap Al-Qur'an secara menyeluruh, mujtahid akan menemukan
hukum Allah SWT. yang terkandung dalam Al-Qur'an.[25]
2.
Kalau tidak menemukan hukumnya dalam Al-Qur'an,
mujtahid melangkah ke tahap berikutnya, yaitu merujuk kepada Sunah Nabi.
Mula-mula mujtahid mencarinya dari Sunah yang mutawatir, kemudian dari sunah yang
tingkat kesahihannya berada di bawah mutawatir.
Bila tidak menemukan dari yang tersurat dalam lafadz hadits, mujtahid mencarinya dari apa yang tersirat di balik lafadz itu.[26]
3.
Langkah selanjutnya, mujtahid mencari jawabannya
dari kesepakatan ulama sahabat. Bila dari sini ia menemukan hukum, maka ia
menetapkan hukum menurut apa yang telah disepakati ulama sahabat tersebut.
Kesepakatan ulama tersebut dinamai ijma'.[27]
4.
Bila tidak ada kesepakatan ulama sahabat
tentang hukum yang dicarinya, maka mujtahid menggunakan segenap kemampuan daya
dan ilmunya untuk menggali dan menemukan hukum Allah SWT. yang ia yakini pasti
ada, kemudian merumuskannya dalam formulasi hukum yang kemudian disebut fiqh.[28]
Meskipun ulama sepakat untuk menjadikan
Al-Qur'an sebagai rujukan utama, namun dalam cara memahami Al-Qur'an untuk
menemukan hukum dari Al-Qur'an, mereka berbeda pendapat. Demikian juga, meskipun
secara prinsip mereka sepakat menggunakan Sunah Nabi sebagai rujukan kedua,
namun dalam menetapkan dan menilai suatu hadits untuk dijadikan rujukan, mereka
berbeda pendapat karena berbeda dalam melihat kesahihan hadits. Selanjutnya,
meskipun mereka sepakat menerima kebenaran sebuah hadits, tetapi dalam memahami
maksudnya belum tentu sependapat.[29]
Dalam menggunakan ra'yu (nalar) sebagai
alat dan rujukan dalam berijtihad, terdapat perbedaan yang meluas sekali.
Mereka berbeda dalam cara dan langkah-langkah yang digunakan, dan berbeda dalam
melihatnya sebagai suatu kekuatan dalam menetapkan hukum.[30]
Meskipun secara prinsip ulama mujtahid
sependapat dalam penggunaan tiga sumber di atas (Al-Qur'an, Sunah, dan Ijma'), namun dalam penempatan urutan
penggunaannya terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan dalam urutan ini terlihat
ketika ditemukan perbenturan antara satu petunjuk dengan petunjuk lain. Dalam
hal ini timbul masalah yang diperbincangkan ulama mengenai petunjuk mana yang
diutamakan dalam pengamalannya. Umpamanya:[31]
a.
Apakah ijma'
harus didahulukan atas hadits ahad (yang dilalah-nya
zhanni) dengan pertimbangan bahwa ijma' itu dhilalah-nya qath'i
sedangkan hadits ahad dilalah-nya zhanni, atau hadits ahad harus
didahulukan atas ijma' dengan
pertimbangan bahwa hadits itu merupakan sandaran ijma'.[32]
b.
Demikian pula dalam hal mendahulukan ijma' atas qiyas. Ada yang mendahulukan ijma'
atas qiyas dengan pertimbangan
isyarat Firman Allah SWT. dalam surat an-Nisaa
(4): 59, yang menyebutkan "ketaatan
kepada ulil amri (ijma')" lebih dahulu atas "mengembalikan hal yang
diperdebatkan kepada Allah SWT. dan Rasul (qiyas)". Ada juga yang
mendahulukan qiyas atas ijma' dengan pertimbangan Hadits Nabi
yang memuji sikap Mu'adz yang langsung menyebutkan ijtihad (qiyas) sesudah Al-Qur'an dan Hadits
dalam menetapkan hukum.[33]
Di samping empat
rujukan tersebut (Al-Qur'an, Sunah, ijma'
dan qiyas) yang disepakati secara
prinsip, di antara ulama mujtahid ada yang menggunakan cara-cara lain secara
tersendiri yang antara seorang mujtahid dengan yang lainnya belum tentu sama.
Ide dan cara yang digunakan oleh seorang mujahid di luar empat rujukan di atas
ada yang diikuti oleh mujtahid lain dan banyak pula mujtahid yang menolaknya.
Perbedaan dalam segela segi yang disebutkan di atas menyebabkan hasil ijtihad
temuan setiap mujtahid pun terdapat perbedaan dan masing-masing diikunci oleh
orang-orang yang menganggapnya benar.[34]
Langkah dan
metode istinbath yang dilakukan Abu
Hanifah adalah sebagaimana yang tampak dalam ucapannya yang populer dan dikutip
hampir semua kitab ushul fiqh, yaitu: mengambilnya dari Al-Qur'an sejauh yang mungkin
saya temukan. Kalau tidak saya temukan dalam Al-Qur'an saya ambil dari Sunah
Nabi dan atsar-nya yang sahih yang tersebar luas di kalangan
orang-orang yang tepercaya. Kalau tidak saya temukan dalam kitab Allah SWT. dan
Sunah Nabi, saya ambil dari ucapan para sahabat Nabi yang saya kehendaki dan
saya tingggalkan ucapan sahabat yang tidak saya kehendaki. Kemudian saya tidak
akan keluar dari ucapannya untuk mengambil ucapan sahabat yang lain. Bila
berakhir suatu urusan kepada pendapat Ibrahim, Hasan, Ibnu Sin-in, Sa'id ibn
al-Musayyab, dan Iain-lain melalui ijtihadnya, saya akan berijtihad sebagaimana
mereka melakukan ijtihad. Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dirumuskan
mengenai metode ijtihad yang ditempuh oleh empat imam madzhab yang empat, yaitu:[35]
1.
Metode ijtihad Imam Abu Hanifah, adalah sebagai
berikut:
Al-Qur'an; Sunah Nabi dengan caranya yang ketat
dan hati-hati; pendapat sahabat; qiyas
dalam penggunaan yang luas; istihsan
dan helah syariat. Tidak disebutkannya ijma'
dalam rumusan itu bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma' tetapi menggunakan ijma'
sahabat yang tergambar dalam ucapannya di atas.[36]
2.
Imam Malik menggunakan metode dengan mengikuti
langkah sebagai berikut:
Al-Qur'an, Sunah Nabi, amal ahli Madinah, maslahat mursalah, qiyas dan Saddu al-Zari'ah. Amal ahli Madinah yang dimaksudkan di
sini berarti ijma' dalam artian umum.[37]
3.
Imam Syafi'i menempuh langkah dan metode
ijtihad sebagai berikut:
Al-Qur'an, Sunah Nabi yang sahih, meskipun menurut periwayatan perorangan (ahad); ijma' seluruh mujtahid umat Islami dan qiyas. Al-Qur'an dan Sunah dijadikannya dalam
satu level sedangkan ijma' sahabat
lebih kuat dari ijma' ulama dalam
artian umum. Langkah terakhir yang dilakukannya adalah istishab.[38]
4.
Imam Ahmad ibn Hambal dalam berijtihad menempuh
langkah sebagai berikut:
Mula-mula mencarinya dalam nash Al-Qur'an dan Sunah; kemudian mencarinya dalam fatwa sahabat (yang dimaksud fatwa sahabat di sini ialah fatwa sahabat dalam keadaan pendapat
mereka sama, yakni ijma' sahabat)
kemudian memilih di antara fatwa
sahabat bila di antara fatwa itu
terdapat beda pendapat; selanjutnya mengambil hadits mursal dan hadits yang tingkatnya diperkirakan lemah; baru terakhir
menempuh jalan qiyas.[39]
Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode
yang mereka gunakan dalam berijtihad. Dalam pembahasan ini akan diuraikan
tentang beberapa metode ijtihad, diantaranya:
1.
Istihsan
Secara
etimologi istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik atau
mengikuti sesuatu yang lebih baik”. Sedangkan secara istilah, ulama ushul
berbeda pendapat akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang
disepakati semua pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam
pengalamannya, yaitu:[40]
a.
Ibnu Subki
mengajukan dua definisi istihsan
1)
Istihsan adalah beralih dari penggunaan
suatu qiyas kepada qiyas yang lain yang lebih kuat dari padanya (qiyas
pertama).
2)
Ihtisan adalah beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu
kemaslahatan.[41]
b.
Istilah Istihsan di kalangan Ulama Malikiyah di antaranya adalah
sebagaimana yang dikemukakan al-Syatibi (salah seorang pakar Malikiyah):
” istihsan adalah menggunakan kemaslahatan
yang bersifat juz’i sebagai pengganti
dalil yang bersifat kulli”.[42]
c.
Menurut
kalangan ulama Hanabilah istihsan adalah apa-apa yang dianggap lebih
baik oleh seorang mujtahid berdasarkan pemikiran akalnya.[43]
d.
Kalangan ulama
Hanafiyah mengemukakan istihsan adalah dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap
dalil itu, namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu
dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa
dalil yang menyalahi qiyas itu lebih
kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.[44]
2.
Mashlahah
Mursalah
Maslahah
mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan
keduanya dalam bentuk sifat maushuf, atau
dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari mashlahah. Mashlahah dalam bahasa
Arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam
arti umum yaitu setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam
arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan,
dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau
kerusakan.[45]
Sedangkan mursalah adalah isim
maf’ul (objek) dari fi’il madhi
(kata dasar) dalam bentuk tsulasi
(kata dasar yang tiga huruf). Secara etimologis mursalah adalah terlepas
atau bebas. Sehingga mashlahah mursalah adalah terlepas atau bebas dari
keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.[46]
3.
Istishhab
Secara
etimologis istishhab berasal dari kata is-tash-ha-ba dalam sighat is-ti’fal
yang berarti selalu menemani atau selalu menyertai. Sedangkan menurut
terminologis ada beberapa ulama yang merumuskan, diantaranya:
a.
Syekh Muhammad
Ridha Mudzaffar dari kalangan Syi’ah
Istishhab
adalah mengukuhkan apa yang pernah ada.
b.
Al-Syaukani
dalam Irsyad al-Fuhul
Istishhab
adalah apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada
prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang.
c.
Ibn al-Qayyim
al-Jauziyah
Istishhab
adalah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan
meniadakan apa yang sebelumnya tiada.[47]
4.
‘Adat atau ‘Urf
Kata
‘urf berasal dari kata ‘arafa,
ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf”
dengan arti “sesuatu yang dikenal”.[48] Dari
adanya ketentuan bahwa ‘urf atau ‘adat adalah sesuatu yang harus telah
dikenali, diakui, dan diterima oleh banyak orang, terlihat ada kemiripannya
dengan ijma’.[49]
5.
Madzhab Shahabi
Madzhab
shahabi adalah fatwa sahabat secara perseorangan. Penggunaan kata fatwa dalam definisi ini mengandung arti
bahwa fatwa itu merupakan suatu
keterangan atau penjelasan tentang hukum syara’
yang dihasilkan melalui usaha ijtihad. Dengan demikian, apa yang disampaikan
seorang sahabat dan dijelaskannya sebagai berasal dari Nabi tidak dinamakan madzhab
shahabi tetapi disebut Sunah, sedangkan usaha sahabat yang menyampaikan itu
disebut periwayatan.[50]
6.
Syar’u Man
Qoblana (Syariat Sebelum Kita)
Para
ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita ialah hukum-hukum yang telah
disyari’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul
terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya
syari’at Nabi Muhammad SAW.[51]
7.
Saddu
Al-Dzari’ah
Secara
lughawi (bahasa), al-Dzari’ah itu
berarti jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik
atau buruk. Arti lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan
penilaian kepada hasil perbuatan. Pengertian netral inilah yang diangkat oleh
Ibnu Qayyim ke dalam rumusan tentang dzari’ah,
yaitu apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu. Sedangkan Badran
memberikan definisi yang tidak netral terhadap dzari’ah, yaitu apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang
yang mengandung kerusakan.[52]
Yang dimaksud
dengan hukum berijtihad disini ialah hukum dari orang yang melakukan ijtihad,
baik dari tujuan hukum taklifi maupun hukum wadh’i. Hukum
berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari dua segi:
1.
Dari segi hasil
ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti
menentukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat.
2.
Dari segi bahwa
mujtahid itu adalah seorang mufti yang
fatwa-nya akan diamalkan oleh umat
atau pengikutnya.[53]
Selanjutnya
hukum berijtihad seorang faqih dapat
dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum, tanpa memandang kepada
keadaan dan kondisi apa pun, atau dengan melihat kepada keadaan dan kondisi
tertentu.[54]
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya,
seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya
secara jelas dan pasti.[55]
Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami dari Firman
Allah SWT. dalam Al-Qur’an:
1.
Surat al-Hasyr 59:2
فَاعْتَبِرُوْايَاأُوْلِى
الْاَبْصَارِ
“Maka ambil iktibarlah hai orang-orang yang punya pandangan.”
2.
Surat an-Nisa’ 4:59
فَإِنْتَنَازَعْتُمْ
فِيْ شَيْءٍ فَرُدّْوْهُ إِلَى اللَّهِ والرَّسُوْلِ...
“…Maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)...”[56]
Adapun
landasan ijtihad yang berasal dari hadits, misalnya, riwayat yang menceritakan
dialog antara Rasullah SAW. dan Mu’az bin Jabal ketika Rasulullah SAW. mengutus
Mu’az ke Yaman, sebagaimana disebutkan terdahulu. Demikian juga hadits riwayat
Abu Hurairah, sebagai berikut.
Dari
Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia
berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Tetapi jika ia
berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala”.
Bila
seorang faqih ditanya tentang hukum
suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya faqih yang dapat melakukan ijtihad dan
ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus
tersebut luput dari hukum, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib’ain.[57]
Bila
seorang faqih ditanya tentang hukum
suatu kasus yang berlaku, sedangkan ia adalah satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus
tersebut dari hukum, atau pada waktu itu ada beberapa orang faqih yang mampu melakukan ijtihad, maka
hukum berijtihad bagi faqih tersebut
adalah wajib kifayah.[58]
Bila
keadaan yang dinyatakan kepada faqih
tersebut belum terjadi secara praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan
hukumnya untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut, maka ijtihad dalam hal
ini hukumnya hanyalah sunat.[59]
Berijtihad
itu hukumnya haram untuk kasus yang
telah ada hukumnya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath’i atau
bila orang yang melakukan ijtihad itu belum mencapai tingkat faqih. Jadi, haramnya hukum ijtihad
dalam hal ini adalah pertama karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah
ada nash yang sharih san qath’i yang
mengaturnya, kedua karena orang yang berijtihad tidak (belum) memenuhi syarat
yang dituntut untuk ijtihad.[60]
Dalam
menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam kenyataan atau belum terjadi,
dan kasus tersebut belum diatur secara jelas dalam nash Al-Qur’an maupun Sunah, sedangkan orang yang memiliki kualifikasi
sebagai mujtahid ada beberapa orang, maka dalam hal ini hukum berijtihad bagi
seorang faqih hukumnya mubah.[61]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, “ijtihad” berasal dari kata jahada
yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan.
Menurut istilah agama, ijtihad adalah
mencurahkan kesanggupan yang ada dalam membahas (menyelidiki) suatu masalah
untuk mendapatkan suatu hukum yang sulit bertitik tolak kepada Kitab dan Sunah.
2.
Syarat-syarat Mujtahid
a.
Persyaratan Umum: Baligh, Berakal,
Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang
pelik dan abstrak dan memiliki keimanan yang baik.
b.
Persyaratan Utama
1)
Mengerti bahasa Arab
2)
Memahami tentang Al-Qur’an dan Nasikh Mansukh
3)
Mengerti tentang Sunah
4)
Mengetahui hal-hal yang di-Ijma’-kan dan di-Ikhtilaf-kan
5)
Mengerti tentang qiyas
6)
Mengetahui maksud-maksud hukum
7)
Memiliki pemahaman dan penilaian yang
benar
8)
Sebagian ulama ada juga yang
mensyaratkan bahwa seorang mujtahid harus berhati bersih dan berniat lurus
karena hal tersebut dapat mempermudah pemecahan masalah
3.
Tingkatan Mujtahid ada dua yaitu, Mujtahid Muthlaq dan Mujtahid fi al-Madzhab.
4.
Lapangan Ijtihad
Pada
dasarnya ijtihad itu dilakukan dalam
menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an
maupun Hadits Nabi. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa
lapangan ijtihad itu adalah
masalah-masalah
yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
5.
Metode Ijtihad
Metode
ijtihad yang dimaksud dalam bahasan ini adalah thariqah (طريقة), yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang
mujtahid dalam memahami, menemukan, dan merumuskan hukum syara'.
a.
Istihsan
b.
Maslahah Mursalah
c.
Istishhab
d.
Adat atau ‘Urf
e.
Mazhab Shahabi
f.
Syar’u Man Qoblana (Syariat Sebelum
Kita)
g.
Saddu Al-Dzari’ah
6.
Hukum berijtihad
Yang dimaksud dengan hukum berijtihad disini ialah
hukum dari orang yang melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi
maupun hukum wadh’i. Hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat
dari dua segi:
a.
Dari segi hasil ijtihadnya itu adalah
untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti menentukan arah kiblat
pada waktu akan melakukan shalat.
b.
Dari segi bahwa mujtahid itu adalah
seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat
atau pengikutnya. Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib.
B. Saran
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang mendasar pada makalah ini, karena kami masih merupakan
mahasiswa yang baru berproses sehingga makalah ini sebatas pengetahuan kami
bersama dan dibantu dengan referensi dari beberapa buku yang kami kumpulkan.
Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta masukan
yang dapat membangun kami. Masukan konstruktif dari pembaca sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry,Nazar.
Fiqh dan ushul Fiqh. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2003.
Dahlan
,Abd.rahman. Ushul fiqh. Jakarta: Amzah, 2010.
Djalil,A. Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu Dan Dua. Jakarta: Kencana Prenada Media,
2010.
Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana, 2008.
[4] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu Dan Dua
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 178-180.
[8]Ibid. hlm. 302.
[20]Ibid. hlm. 323.
[21]Ibid.
[22]Ibid. hlm. 324.
[23]Ibid.
[24]Ibid.
[25]Ibid. hlm. 325.
[26]Ibid.
[27]Ibid.
[28]Ibid.
[29]Ibid.
[30]Ibid. hlm. 326.
[31]Ibid.
[32]Ibid.
[33]Ibid.
[34]Ibid.
[35]Ibid. hlm. 327.
[36]Ibid.
[37]Ibid.
[38]Ibid.
[39]Ibid. hlm. 328.
[40]Ibid. hlm. 347.
[41]Ibid.
[42]Ibid. hlm. 348.
[43]Ibid.
[45]Ibid. hlm. 368.
[46]Ibid. hlm. 377.
[47]Ibid. hlm. 388-389.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar